tirto.id - Rebo Wekasan adalah tradisi yang diadakan pada hari Rabu terakhir pada bulan Safar. Kata Safar ini identik dengan bahasa Arab syafar yang berarti bulan Arab yang kedua.
Selain itu, kata syafar juga identik dengan kata sapar atau nama bulan Jawa yang kedua dan jumlah bulan yang dua belas.
Tradisi Rabu Wekasan yang biasa dilakukan antara lain tahlilan, berbagi makanan baik dalam bentuk gunungan maupun selamatan, sampai salat sunah lidaf’il bala (tolak bala) bersama.
Di Yogyakarta, Rebo Wekasan atau Rabu Pungkasan diadakan di Alun-Alun Jejeran, Wonokromo, Bantul.
Upacara tersebut dilakukan pada Rabu akhir dari bulan Safar karena pada tanggal tersebut, Kyai Usman Faqih (tokoh agama di Pleret) mengadakan pertemuan dengan Sri Sultan Hamengkubuwono I.
Di Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi, Rebo pungkasan dianggap sebagai perayaan berlimpahnya ikan. Perayaan ini juga dianggap sebagai upaya menolak bala bagi para nelayan selama melaut.
Asal-Usul Rebo Wekasan
Menurut laman Kemdikbud, sejarah hadirnya tradisi ini ditelaah dalam berbagai versi. Pertama, Rebo Wekasan sudah ada sejak tahun 1784 dan sampai sekarang upacara ini masih tetap dilestarikan.
Pada waktu itu hidup seorang kyai yang bernama Mbah Faqih Usman. Ia kemudian lebih dikenal dengan nama Kyai Wonokromo Pertama atau Kyai Welit.
Diceritakan, Mbah Kyai ini memiliki kelebihan ilmu yang sangat baik di bidang agama maupun bidang ketabiban atau penyembuhan penyakit. Masyarakat Wonokromo meyakini, Mbah Kyai mampu mengobati penyakit.
Metode yang digunakan Mbah Kyai dalam pengobatan adalah dengan cara disuwuk, yakni dibacakan ayat-ayat Alquran pada segelas air yang kemudian diminumkan kepada pasiennya sehingga pasien tersebut dapat sembuh.
Berkat ketenaran Mbah Kyai Faqih, maka lama kelamaan sampai terdengar oleh Sri Sultan HB I. Untuk membuktikan berita tersebut, HB I mengutus empat orang prajuritnya supaya membawa Mbah Kyai ke Keraton Yogyakarta. Ternyata ilmu Mbah Kyai mendapat sanjungan dari Sri Sultan HB I.
Sepeninggal Mbah Kyai, masyarakat meyakini bahwa mandi di pertempuan Kali Opak dan Kali Gajahwong dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan mendatangkan berkah ketenteraman, sehingga setiap hari Rebo Wekasan masyarakat berbondong-bondong untuk mencari berkah.
Tradisi Rebo Wekasan
Selain versi tersebut, ada versi lain dari sejarah Rebo Wekasan, yaitu berkaitan dengan upacara adat yang diselenggarakan sejak tahun 1600.
Pada masa pemerintahan Kerajaan Mataram, muncul wabah penyakit atau pagebluk. Kemudian diadakan ritual untuk menolak bala wabah penyakit ini dan Rebo Pungkasan ini diadakan sebagai wujud doa.
Versi ketiga, yaitu Kyai Muhammad Faqih yang pekerjaannya adalah membuat welit atau atap dari rapak (daun tebu). Masyarakat mendatangi Kyai Welit untuk minta dibuatkan tolak bala yang berbentuk wifik atau rajah yang bertuliskan Arab.
Rajah ini kemudian dimasukkan ke dalam bak yang sudah diisi air lalu dipakai untuk mandi dengan harapan supaya yang bersangkutan selamat. Adat tersebut kemudian dinamai malam Rebo Pungkasan.
Sebelum proses adat ini dilakukan biasanya terdapat pasar malam di Lapangan Desa Wonokromo yang diadakan seminggu sebelum malam puncak Rabu Pungkasan.
Upacara tersebut tersusun atas sambutan takmir masjid, pembacaan sholawat, dan doa bersama yang dipimpin salah seorang sesepuh desa Wonokromo.
Setelah doa bersama, lemper raksasa yaitu sebuah tiruan lemper yang berukuran tinggi 2,5 meter dengan diameter 80 cm dan Gunungan diarak dari Masjid Karanganom hingga ke Balai Desa Wonokromo.
Setibanya di balai desa Wonokromo, Lemper dan Gunungan dinaikkan ke atas pendopo balai desa. Di hadapan pendopo telah menunggu ribuan warga dari berbagai wilayah untuk berebut lemper dan gunungan tersebut.
Makna yang terkandung tradisi ini adalah Tolak Balak dan Ngalap Berkah. Tolak Balak adalah upaya untuk menghindari berbagai malapetaka yang mungkin muncul.
Editor: Iswara N Raditya