tirto.id - Istilah Rebo Wekasan mungkin masih terasa asing bagi sebagian orang, namun Rebo Wekasan telah menjadi tradisi dan kepercayaan bagi sebagian masyarakat serta umat Islam di Nusantara.
Dikutip laman NU Online, Rabu terakhir bulan Safar (kalender Islam) di bumi Nusantara disebut dengan istilah rebo wekasan, rebo kasan, rebo pungkasan, atau istilah lain yang merujuk pada maksud yang sama yaitu hari Rabu akhir di bulan Safar.
Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah Arba Mustamir.
Ada beberapa amalan yang biasa dilaksanakan pada hari tersebut yang mencakup salat, zikir, doa, dan menyebut asma Allah atau ayat-ayat al-Quran yang dikenal dengan ayat Selamat.
Beberapa amalan tersebut dilakukan sebagai bentuk permohonan kepada Allah SWT agar terhindar dari segala macam musibah dan cobaan.
Meski demikian, keputusan musyawarah NU Jawa Tengah tahun 1978 di Magelang menegaskan bahwa shalat khusus Rebo Wekasan hukumnya haram, kecuali jika diniati salat sunah muthlaqah atau niat salat hajat.
Hari Rabu pungkasan di bulan Safar juga dipercaya sebagian masyarakat sebagai hari pertama Nabi Muhammad jatuh sakit dan berlangsung selama 12 hari berturut-turut hingga Rasulullah wafat.
Selain itu, sebagian orang ahli makrifat termasuk orang yang ahli mukasyafah mengatakan setiap tahun Allah menurunkan bala (bencana) yang berjumlah 320.000. Kesemuanya diturunkan pada hari Rebo yang terakhir di bulan Safar.
Asal Usul Tradisi Rebo Wekasan
Dalam buku Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 (1984) karya Karel A. Steenbrink dijabarkan bahwa tradisi ini sudah muncul sejak awal abad ke-17, khususnya di Aceh, Sumatera, dan Jawa, juga di sebagian wilayah Riau, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, bahkan Maluku.
Bagi warga Muslim di Aceh Selatan, istilah Rebo Wekasan dikenal sebagai tradisi “makmegang” yang diadakan pada hari Rabu terakhir di bulan Safar.
Ritual tolak bala ini berupa doa bersama di tepi pantai yang dipimpin oleh seorang teungku dan diikuti oleh para tokoh agama, tokoh masyarakat, dan sebagian warga.
Bergeser ke Pulau Jawa, umumnya tradisi Rebo Wekasan lebih banyak dilakukan, terutama oleh masyarakat di tepi pantai.
Daerah-daerah yang melakukan tradisi ini kebanyakan adalah daerah pesisir, yang relatif lebih dulu, kuat, dan kosmopolit keislamannya dibanding daerah pedalaman.
Sementara cara masyarakat dalam menyikapi Rebo Wekasan di masing-masing daerah di Jawa berbeda-beda.
Contohnya, sebagian warga Muslim di Banten dan Tasikmalaya juga beberapa daerah lainnya di Jawa Barat, yang biasanya menunaikan salat khusus bersama di pagi hari pada Rabu terakhir bulan Safar itu.
Di Bantul, Yogyakarta, tepatnya di Desa Wonokromo, tradisi tolak bala terkait Rebo Wekasan diterapkan dengan pembuatan lemper raksasa yang nantinya dibagi-bagikan kepada warga atau orang-orang yang hadir dalam acara itu.
Sedangkan di ujung timur Jawa, Banyuwangi, diadakan tradisi petik laut untuk memperingati Rebo Wekasan oleh sebagian masyarakat pesisir di Pantai Waru Doyong.
Kemudian di Banyuwangi, ada pula komunitas warga yang melakukan tradisi tolak bala dengan makan nasi yang dibuat khusus, bersama-sama di tepi jalan.
Sementara sebagian warga Muslim di Kalimantan Selatan menyikapi Arba Mustamir atau Rebo Wekasan dengan beberapa cara, di antaranya adalah dengan salat sunah disertai doa tolak bala, selamatan kampung, tidak bepergian jauh, tidak melanggar pantangan, hingga mandi Safar untuk membuang sial.
Bahtiar L dan kawan-kawan dalam jurnal penelitian sosial-keagamaan Kontekstualita (Volume 24, Nomor 2, Desember 2008) terbitan IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, ritual mandi Safar juga diterapkan oleh sebagian masyarakat Muslim di Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, hingga Maluku.
Editor: Iswara N Raditya