tirto.id - Letak kampung Bong Suwung seolah tersembunyi dari mata, di balik gemerlap lampu Malioboro. Akses jalan ke kampung itu cuma gang sempit yang hanya bisa dilalui satu motor.
Awalnya Bong Suwung hanyalah deretan hunian liar di sepanjang rel kereta api di sebelah barat Stasiun Yogyakarta. Lambat laun, seiring bertambahnya manusia, area itu menjadi kampung dengan segala hiruk pikuknya.
Bagi masyarakat, nama Bong Suwung lekat dengan kehidupan dekaden: tempat persembunyian bandit dan prostitusi murah. Namun Bong Suwung kini mencoba berubah, meski keadaannya masih sama seperti dulu. Rumah-rumah berdinding anyaman bambu dan bedeng masih berderet, seolah tak terjamah perubahan zaman.
“Dulu, sekitar tahun 1970-an daerah sini serem. Orang-orang ga berani lewat sini. Nah, tahun 1980-an ada petrus kan, mulai sejak itu di sini bisa lebih tertata dan terkendali,” kata Nugroho, tetua kampung.
Para ibu yang kebetulan duduk di samping Nugroho menimpali cerita itu. Mereka masih ingat orang-orang yang hilang dalam operasi petrus yang digerakkan Soeharto di awal kekuasaannya.
“Wah, di sini dulu juga ada beberapa orang yang di tangkep, dibagori [dimasukkan karung], terus ya hilang enggak balik-balik lagi sampai sekarang mas. Pokokke serem kalau zaman dulu itu."
Kebanyakan warga Bong Suwung datang dari daerah luar Yogyakarta. Mereka datang dengan mimpi yang sama, namun nasib justru melempar mereka ke kampung itu. Mayoritas warga Bong Suwung bermata pencaharian sebagai pemulung. Tumpukan kardus bekas dan plastik menjadi pemandangan umum di setiap rumah.
“Dari hasil mulung bisa Rp10.000 sampai Rp15.000 per hari. Yang penting cukup untuk makan sehari-hari, kalau uang tidak cukup ya makan seadanya saja," kata Nugroho. “Di sini intinya tidak mau nganggur, kalau tidak ada penghasilan mau makan apa? Ya mulung jadi satu-satunya penghasilan untuk biaya hidup. Dan barang-barang rongsok juga memang laku kalau di jual lagi.”
Tanah Milik Sultan
Bong Suwung seolah menawarkan tempat berteduh bagi mereka yang tergusur. Damar, pria asal Cimahi, Jawa Barat sudah menghabiskan beberapa tahun belakangan di Bong Suwung. Sama seperti warga lain, ia bekerja sebagai pemulung lantaran sulit mencari pekerjaan lain.
“Sejak saya umur 15 tahun sudah meninggalkan rumah buat nyari kerja,” kata Damar, yang dalam sehari bisa mengantongi Rp50.000, sambil mengisap rokok Djarum 76.
Damar menjadi bagian dari masyarakat miskin kota, yang menurut Badan Pusat Statistik Yogyakarta berjumlah 34.070 pada 2021. Ia tak memiliki latar pendidikan tinggi yang membuatnya sulit bersaing dengan tenaga kerja lain. Ia memutuskan merantau, dari Pontianak, Banyuwangi, hingga Bali, untuk menjadi pemulung.
“Saya mah yang penting hidup, bisa makan, punya tempat tinggal seadanya, tidak merugikan dan tidak merepotkan orang lain,” tegas Damar.
Kampung Bong Suwung yang terdiri dari 60 kepala keluarga berada di atas Sultan Ground dan PT. KAI. Hal ini memicu kekhawatiran yang terus menghantui warga Bong Suwung apabila sewaktu-waktu digusur.
“Kalau tanah ini Sultan Ground dan hak penggunaan oleh PT. KAI. Ya di sini kami tinggal untuk mencari makan, mencari nafkah, bukan untuk melakukan kegiatan yang tidak baik. Dan kami di sini juga taat terhadap kebijakan Pemerintah. Ini lebih ke masalah kehidupan, pemerintah kayaknya juga tidak memberikan solusi yang pasti kalau bicara soal kehidupan,” tutur Nugroho, yang kerap ditunjuk untuk melakukan mediasi antara kampung dan pemerintah.
Wacana untuk menggusur Bong Suwung santer terdengar pada 2010 dan 2013. Sudah dua kali terjadi mediasi antara pemerintah kota, warga kampung, dan PT. KAI, namun hingga kini belum ada titik terang. Beberapa rumah yang berada di Bong Suwung sudah pernah digusur saat PT. KAI membangun kawasan parkir Stasiun Yogyakarta.
“Saya manut saja kalau tempat ini mau di gusur. Tetapi, apakah pihak terkait bisa memberikan kami tempat yang “layak”? Seumpama tidak bisa, masak kami mau tinggal di pinggir-pinggir ruko,” kata Nugroho.
Damar juga mengutarakan hal senada. Ia cuma bisa pasrah jika suatu hari huniannya digusur.
“Kalau rasa takut pasti ada, tapi ya mau gimana lagi, saya mah pasrah saja kalau tempat tinggal ini di gusur. Paling saya kembali lagi hidup di jalanan seperti dulu.” Kata Damar.
Berdasarkan hasil kajian Bappeda Kota Yogyakarta pada 2014, jumlah Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) sebanyak 3.304 unit yang tersebar di 45 Kelurahan. Angka itu turun menjadi 3.194 unit pada 2015.
“Bagi saya apapun hidupnya harus tetap disyukuri, saya banyak belajar ketika masih hidup di jalanan. Apa yang saya lihat, apa yang saya pegang, dan apa yang saya pijak itu menjadi pelajaran saya selama hidup. Harus bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitar,” kata Damar, sebelum suaranya hilang tertelan suara kereta api yang lewat.
Melestarikan Kampung Bong Suwung
Meskipun Kampung Bong Suwung tidak memiliki RT/RW yang jelas, Nugroho sebisa mungkin membuat Bong Suwung selayaknya kampung pada umumnya. Ia misalnya, menjabat sebagai "lurah" selain sebagai tetua.
“Saya disini merangkap jabatan, ya sebagai yang dituakan, ya jadi seperti lurahnya. Tapi, bedanya sama kampung-kampung lain, saya menjabat disini tidak di bayar sama sekali,” kata Nugroho sambil tertawa lepas.
Pembentukan paguyuban Bong Suwung dibentuk pada tahun 2010 pasca adanya isu penggusuran oleh Pemerintah Daerah. Tujuan dibentuknya paguyuban ini semata untuk menambah "nilai tawar" ketika berhadapan langsung dengan pemerintah kota.
Menurut warga, selama ini pemerintah seperti acuh dengan keadaan mereka. Perhatian terhadap keberlangsungan kampung justru datang dari mahasiswa dan aktivis yang rutin memberikan bantuan sosial dan pendidikan. Para mahasiswa rutin menggelar kegiatan belajar mengajar bagi anak-anak.
“Kami disini seperti selayaknya kampung biasa. Ada kegiatan-kegiatan, kami semua disini seperti layaknya saudara. Saya menganggap semua tetangga sudah bukan sekedar mengenalnya saja, tapi sudah seperti saudara bahkan keluarga sendiri," terang Nugroho.
Penulis: Adrian Juliano
Editor: Adi Renaldi