tirto.id - Hujan turun semakin lebat. Aliran sungai yang deras turut membawa sampah-sampah hingga menggumpal dan tersangkut di pintu air. Seorang pemuda setempat yang kelak kita kenal dengan nama Ganong, bermain dengan santai mengikuti derasnya arus. Dengan cepat ia lantas membelah arus, menggapai pinggiran sungai, dan lalu mentas.
Bagi para orang tua, hujan kerap membuat mereka was-was. Jika sungai tak lagi sanggup menampung debit air, biasanya akan meluber dan membanjiri permukiman warga. Sementara, bagi anak-anak dan remaja, saat itulah mereka dapat bermain dengan puas.
Seperti Ganong misalnya. Ia begitu senang ketika hujan turun selepas ia pulang mengamen. Sebab ia tak perlu repot-repot menyusuri jalanan panjang untuk sampai ke rumah. Dengan satu lompatan, ia akan menceburkan diri dan membiarkan arus membawanya hingga sampai ke tepian kampung.
“Pulangnya kayak dianterin sama air. Jadi tinggal lompat, byur, dan renang udah sampai pinggir rumah. Anak-anak di sini biasa seperti itu,” kata remaja yang baru berusia 20 tahun itu.
Celetukan Ganong itu segera disambar dengan nada sinis oleh para orang tua yang tengah meringkuk melawan dinginnya malam. Sebab jika air sungai telah membuncah, akses satu-satunya menuju luar kampung sudah pasti akan putus dan mereka tak bisa pergi bekerja.
“Banjirnya bisa setinggi leher orang dewasa. Kami terpaksa terisolasi di sini. Tidak bisa kerja, tidak bisa kemana-mana sampai banjir surut. Kami kok enggak tahu ya, indahnya hujan itu sebelah mana?” kata Sigit Santoso alias Mamik, disambut gelak tawa warga lainnya.
Negara Yang Tak Hadir
Meskipun belum diresmikan sebagai kampung, Kampung 1001 Malam memiliki jumlah penghuni yang cukup banyak. Tercatat ada 180 kepala keluarga dan dihuni hampir lima ratus jiwa. Lantaran memiliki jumlah warga yang ‘lumayan’, kampung tersebut kerap menjadi salah satu titik destinasi safari politik para politikus yang sedang menggalang suara, terutama saat musim pemilu.
Alih-alih menyematkan harapan, warga justru merasa lelah dengan kunjungan para caleg, yang kerap datang membawa bermacam janji.
“Dan hampir semuanya adalah omong kosong. Janji-janji itu, enggak ada wujudnya,” kata Mamik yang menjadi pengurus Kampung 1001 Malam.
Meskipun kerap dikunjungi anggota dewan, tetapi sepanjang pengalaman Mamik, tak ada walikota Surabaya yang pernah sowan ke kampungnya. Baik ketika Surabaya berada di tangan Tri Rismahirini, hingga walikota anyar yang dilantik pada awal 2021 silam, Eri Cahyadi, sama sekali belum pernah menapakan kakinya di Kampung 1001 Malam.
“Padahal ya, jika hujan deras itu, Bu Risma itu sering ke pintu air. Masa sih dia enggak tahu? Kita kadang merasa seperti anak tiri. Kadang pengin teriak ‘Hei! Disini juga ada wargamu lho, bu!’. Kenapa ya [kok tidak pernah mampir] di kampung kami? Apakah mereka melihat bahwa kampung kami seolah adalah tanah kutukan,” kelakar Mamik.
“Lho, karena kita memang sudah kaya. Makanya tidak pernah dibantu Negara, ya, mas?”
Tawa warga lalu meledak.
Sebetulnya, berkali-kali Mamik melayangkan surat ke walikota. Tetapi tak satupun surat-surat itu terbalas. Pihak walikota pimpinan Tri Rismaharini, baru menggubris tatkala Mamik baru membuka mulut bahwa pemerintah kota Surabaya tak pernah mengunjungi kampungnya di salah satu saluran televisi nasional.
“Jadi ada sekitar 30 staff-nya Bu Risma, datang ke saya, mencari-cari saya. Dia mempermasalahkan statement saya tentang walikota yang absen datang ke kampung kami. Saya tidak takut waktu itu, karena itulah yang terjadi. Itu bisa ditanyakan ke seluruh warga sini, apakah walikota pernah hadir di kampung kita?”
Tujuan Mamik bisa bertemu dengan Tri Rismaharini adalah untuk mengupayakan legalitas hunian mereka. Agar perasaan bayang-bayang penggusuran yang terus menguntit bisa segera ia usir. Sebab, dengan dihuni ratusan manusia, tak jarang warga Kampung 1001 Malam tak memiliki identitas. Salah satunya adalah Ganong, yang kesulitan untuk mencari pekerjaan sebab tak memiliki Kartu Tanda Penduduk.
“Saya juga bingung, gimana mas cara nggurusnya? Orang alamat saya di sini, sejak lahir di sini, sedangkan di sini enggak punya surat-surat. Jadi saya terpaksa enggak bisa memiliki KTP. Mau minta pengakuan warga kampung seberang, juga enggak dibolehin sama RT-nya. Kan bingung,” ujar Ganong.
Tanpa memiliki identitas, Ganong menjadi kesulitan untuk mengakses pekerjaan formal. Ia terpaksa mengantungkan hidup di jalanan. Ia sehari-hari bekerja sebagai pengamen dan menyusuri sepanjang jalan kota Surabaya. Ia akan pulang ke rumah ketika mengantongi uang sekitar 75-100 ribu rupiah.
“Ya pokoknya bisa buat orang rumah beli makan, bisa buat beli rokok, udah pulang. Pengin juga sih punya kerjaan tetap kayak orang-orang. Tapi ngamen lumayan, lah. Daripada ngemis atau berbuat kriminal, kan?” kata Ganong.
Harapan Mamik terbit setelah ia membaca Draft RUU Pertanahan tahun 2019. Dalam pasal 22 ayat 1, dikatakan bahwa hak milik yang tidak dikuasai, digunakan, dimanfaatkan oleh pemegang haknya, dan dimanfaatkan oleh pihak lain secara itikad baik dapat mengakibatkan hak kepemilikannya dihapus. Sementara tanahnya dikuasai langung oleh negara. Hal itu dapat dilegalkan oleh orang-orang kampung 1001 Malam, sebab mereka telah menduduki tanah PT. Jasa Marga dalam kurun waktu 20 tahun—yang juga merupakan suatu syarat pengalihan kepemilikan tanah.
“Kami cuman berharap nanti kampung ini diakui, warga bisa hidup bebas tanpa rasa was-was, dan kita mudah kalau mengurus apa-apa. Saya pikir itu adalah salah satu cara agar hidup warga kedepannya lebih mudah,” kata Mamik.
“Kami selalu mengutamakan legalitas atas tanah [kampung kami]. Kamipun tau, itu bakalan sulit. Tetapi itu adalah titik awal kita untuk keluar kegelapan yang selama ini mempersulit hidup kita selama ini.”
Solidaritas Erat Antarwarga
Kampung 1001 Malam tergolong padat, dengan rumah warga yang berdempetan. Tak semua rumah memiliki toilet. Mereka yang tak memiliki itu harus berbagi hajat di toilet umum yang tersedia di beberapa titik. Kendati begitu, solidaritas warga tak perlu dipertanyakan.
Tatkala badai pandemi merebak—dan ketika mayoritas warga yang berprofesi sebagai pemulung terpapar virus COVID-19 - warga secara gotong royong mempersiapkan segala hal secara mandiri. Mulai dari obat-obatan, disinfektan, pembersih tangan, masker dan lain-lain.
Untuk mencukupi segala kebutuhan keamanan dari virus corona, warga menggalang dana secara kolektif untuk mengamankan kampung. Beberapa donasi mengalir dari sukarelawan swasta. Sementara, negara sama sekali tak hadir memberi bantuan untuk menolong warga yang tengah kembang kempis mempertahankan hidupnya.
Tak satupun Bantuan Langsung Tunai (BLT) mengalir di kantong warga kampung 1001 Malam. Meskipun terang dicatat sebagai warga miskin, tanpa identitas, warga kesulitan untuk mengakses bantuan pemerintah tersebut. Sementara, untuk rumah sakit, tak semua kampung 1001 Malam memiliki akses BPJS.
Untuk mengurus Kartu Indonesia Sehat, warga mesti menumpang di RT sebelah. Tetapi, pengajuan untuk tercatat sebagai warga di kampung lain untuk mengakses bantuan, tak sepenuhnya mulus. Ketua RT kampung tetangga kerap berbelit. Mamik yang menjadi ujung tombak warga untuk menggalang donasi pun harus mati-matian memperjuangkan hak warganya.
“Tidak tahu datangnya dari mana, tetapi soal vitamin, obat disinfektan, dan masker itu datang mengalir dari bantuan orang-orang yang peduli kepada kami. Bukan dari Negara. Kadang kalau orang kelurahan datang, kami malah kasih lebihan vitamin untuk mereka. Jengkel saya itu. Kenapa mereka begitu lamban,” ujar Mamik.
Miskan, seorang pria paruh baya berusia 52 tahun mengatakan bahwa sejatinya warga tak pernah berharap atas bantuan dana dari pemerintah. Sebab, berkali-kali mereka merasa dibohongi oleh janji-janji politisi. Ia mengatakan, bahwa lumrah belaka jika BLT tak sampai di kampung yang telah dihuninya selama lebih dari dua dekade itu.
“Satu-satunya harapan saya kepada pemerintah adalah segera melegalkan kampung hunian kami. Agar anak cucu saya, bisa damai hidupnya.”
Harapan yang sama, dirapal hampir seluruh warga kampung 1001 Malam. Mereka sempat mendengar, bahwa pihak PT. Jasa Marga berencana untuk mengubah kampung mereka untuk menjadi rest area jalan tol Dupak – Pelabuhan Tanjung Perak. Meskipun baru sekedar kabar burung, warga sudah kadung ketar-ketir.
“Jika saat itu tiba, kita telah bersepakat akan membuat tanah ini menjadi kuburan massal. Daripada kembali menggelandang, warga memilih itu bunuh diri beramai-ramai,” ujar Mamik seraya disambut anggukan kepala oleh warga lain yang pada malam itu turut dalam perbincangan.
“Silahkan bangun tol, program penghijauan, atau apapun itu. Tetap ingat, kelak kalian membangun itu di atas tubuh kami. Di atas mayat penghuni seluruh kampung sini,” tutup Mamik.
Penulis: Reno Surya
Editor: Adi Renaldi