Menuju konten utama

Kampung 1001 Malam: Sarang Penyamun yang Bersalin Rupa

Kampung 1001 Malam di pinggir kali Morokrembangan, Surabaya dicap sebagai sarang penjahat. Warga terus berusaha melawan stigma itu.

Kampung 1001 Malam: Sarang Penyamun yang Bersalin Rupa
Kampung 1001 Malam, Surabaya. tirto.id/Ivan Darski

tirto.id - Kampung 1001 Malam terapung di antara gigir sungai Morokrembangan dan jalan tol Dupak – Pelabuhan Tanjung Perak. Letak kampung itu nyaris terisolasi, sebab tak ada akses jalan darat menuju ke sana. Satu-satunya cara untuk menggapai kampung yang mulai dihuni manusia pada akhir 80-an itu adalah menggunakan tambangan - sebuah perahu reyot yang ditarik oleh warga menggunakan kabel baja.

Setelah melintasi sungai, jalan setapak berangkal yang berlumpur mesti ditempuh. Setelahnya, sebuah lorong gelap selebar empat meter, dengan panjang tiga puluh meter, yang disebut warga sebagai terowongan Mina, bakal menyambut. Orang yang melintas, mesti melewati terowongan dengan kepala tertunduk. Tingginya sekira satu meter. Jika hujan lebat, terowongan itu akan tergenang. Warga mesti naik ke jalan tol, dan menyusuri tepian jalan untuk keluar kampung. Di sana, ada genangan setinggi mata kaki yang mengendap. Airnya berwarna coklat keruh, yang berasal dari sungai yang meluber akibat hujan semalam.

“Enggak hanya di Timur Tengah, tapi disini juga ada terowongan Mina. Ini adalah satu-satunya terowongan Mina yang di dalamnya ada gerejanya,” kelakar Sigit Santoso alias Mamik, si pengurus kampung.

Di terowongan itu setidaknya ada tujuh rumah berdiri yang dihuni 20-an orang. Sinar matahari tak pernah menyapa rumah-rumah itu, seolah kegelapan terperangkap kekal.

Nama kampung 1001 Malam terdengar asing bagi sebagian telinga warga Surabaya. Jika pun ada yang mengenal, kesan yang dibicarakan nyaris tak pernah lepas dari kriminalitas. Kampung yang berdiri di atas lahan seluas lima hektare itu kerap dikenal sebagai sarang penyamun, markas bajing loncat, serta orang-orang yang tersingkir dari kerasnya kehidupan kota.

Mamik terbiasa menanggapi kisah-kisah sumir seputar kampungnya dengan enteng. Namun ia mengakui bahwa kisah-kisah yang telah direproduksi secara turun-temurun itu kadang membuat hidup mereka lebih pelik, serta makin mempertebal keyakinannya bahwa ia hidup di bagian tergelap kota Surabaya.

Maka saking seringnya didera citra teruk dari kampung 1001 Malam, belakangan ia memilih menanggapinya hanya dengan senyuman.

“Tapi mereka yang cerita, apa pernah benar-benar ke sini, toh? Kami enggak menyangkal, memang itu terjadi. Tetapi itu di masa lalu. Hari ini, kami hidup normal. Orang-orang bekerja sebagai pengamen, pemulung, pengemis. Pokoknya kerja normal.”

Ia pun mengatakan, dampak dari stigma hidup di sarang penjahat kerap berdampak panjang. Ia mengisahkan, salah seorang anak muda di kampungnya, pernah dibatalkan pernikahannya lantaran dirinya warga kampung 1001 Malam.

“Orang tua yang pihak perempuan, mengatakan kalau anaknya menikah dengan orang kampung 1001 Malam, sama saja menikahi seorang kriminal. Mereka khawatir anaknya tidak diberi makan. Kami tak bisa berbuat banyak. Citra negatif terlanjur mengental di kepala masyarakat. Anaknya sekarang sudah pindah, dan berkeluarga sih sekarang,” kenang Mamik seraya meniupkan asap sebatang kretek dari celah giginya.

Kampung 1001 Malam Surabaya

Kampung 1001 Malam, Surabaya. tirto.id/Ivan Darski

Bayang-Bayang Penggusuran

Sebelum akhirnya menjadi kampung padat penduduk, kampung 1001 Malam tak ubahnya seperti belantara. Semak belukar tumbuh dengan subur. Seiring waktu, manusia mulai mendirikan bedeng-bedeng, bangunan semi permanen dan membabat tumbuhan liar yang tumbuh menjalar.

Menjelang akhir 1999, ia telah tampak seperti sebuah kampung: rumah-rumah dibangun berdekatan, berderet-deret, dan manusia mulai berdesakan tinggal di sana. Mayoritas penduduk memiliki alasan yang sama ketika akhirnya memutuskan untuk migrasi ke kampung itu: harga hunian di Surabaya semakin mahal, dan tak terjangkau masyarakat miskin kota.

Salah satunya adalah Misnan, seorang pria paruh baya berusia 52 tahun. Ia adalah seorang perantau dari kabupaten Malang Selatan, sebuah kota dingin yang berjarak sekitar 120 kilometer dari Kampung 1001 Malam.

Misnan turut dalam gelombang migrasi pertama. Saat itu, ia yang berprofesi sebagai pencari rongsokan besi, mendengar bahwa ada hunian murah di seberang sungai. Ia diberi tahu oleh rekan sesama pemulungnya. Saat itu, kebetulan, kontrakan yang ia huni harganya naik. Sementara pendapatannya tak cukup untuk memperpanjang kontrak.

“Saya ke sini dengan anak dan istri saya. Anak saya sekarang sudah besar, dan saya buatkan rumah di sini. Jadi di sini tanahnya gratis. Cuma pembangunannya kita cicil sedikit-sedikit. Akhirnya jadi rumah. Karena gimana lagi, pendapatan harian juga tidak tentu. Tapi harga ngontrak makin mahal. Di sini damai, tidak perlu khawatir mikir biaya kontrak,” kata Misnan.

Bagi masyarakat miskin kota seperti Misnan, membeli properti seolah adalah impian yang sulit digapai. Dan Kampung 1001 Malam, menawarkan solusi hunian murah, walau tak layak dan tanpa keabsahan dokumen. Berdasarkan hasil riset Survei Harga Properti Primer Bank Indonesia pada tahun 2017 silam, kota Surabaya mencatatkan pertumbuhan harga sebesar 6,8 persen. Angka itu, adalah yang tertinggi dari kota-kota lain di Indonesia. Sementara kenaikan kedua diduduki oleh Bandar Lampung, yang meningkat 3,34 persen.

Celakanya, pertumbuhan harga tertinggi itu terjadi pada tipe rumah kecil yang mencapai 10,45 persen. Sementara tipe menengah dan besar, kenaikannya masing-masing 5,61 dan 4,48 persen. Terang angka tersebut, ditambah dengan inflasi yang melambungkan harga bermacam kebutuhan hidup, adalah sebuah nestapa bagi orang-orang seperti Misnan. Masyarakat berpendapatan kecil, akhirnya perlahan terusir dan hidup di hunian-hunian ilegal.

Kampung 1001 Malam Surabaya

Kampung 1001 Malam, Surabaya. tirto.id/Ivan Darski

Misnan tahu betul konsekuensi tinggal di tanah tak bersertifikat. Bayang-bayang penggusuran senantiasa menguntit mereka. Surabaya di bawah rezim pemerintah Tri Rismaharini sudah kelewat karib dengan penggusuran. Eks-Walikota yang sekarang menjabat menjadi Menteri Sosial di kabinet periode kedua Presiden Joko Widodo itu begitu terobsesi dengan wilayah hijau.

Di sepanjang masa jabatannya, ada 576 taman kota, 189 taman aktif sementara 387 lainnya taman pasif dibangun dan dipugar. Taman-taman baru sebagian adalah alih fungsi wilayah kumuh, yang artinya ruang hidup sebagian warga Surabaya ada yang tergusur.

“Saya sih tahu kalau disini ancamannya adalah penggusuran. Tetapi selama hidup lebih dari dua puluh tahun disini, belum ada wacana itu. Dulu sempat ada dengar berita kalau sebagian kampung kami mau dibangun jadi rest area tol. Tapi alhamdulilah, sampai sekarang belum. Kalau bisa jangan. Kita mau tinggal dimana?” kata Mamik.

Sigit Santoso, alias Mamik, pengurus Kampung 1001 Malam mengatakan bahwa kehidupan warga sudah terlanjur mengakar. Jika digusur serta direlokasi, ia mengajukan tiga syarat. Yang pertama, adalah hunian layak, yang kedua adalah lapangan pekerjaan, dan yang ketiga, tidak mau jauh-jauh dari kampung mereka sekarang.

Namun Mamik buru-buru menambahkan, bahwa pindah ke rumah susun bukanlah solusi. Musababnya jelas. Menurut Mamik, mayoritas warga kampung adalah pemulung. Buat menaruh dan menyortir semua ‘hasil buruan’ mereka tentu memerlukan lahan luas. Rusun tak menawarkan pilihan itu.

“Kalau mau sih, semua warga diberi pekerjaan formal. Biar berhenti memulung. Karena mas tahu sendiri, kan? Banyak banget barangnya. Kalau tinggal begitu sama orang lain [di rumah susun], bisa bertengkar setiap hari mas. Sudah tidak damai lagi hidup kita,” terang Mamik.

Kampung 1001 Malam Surabaya

Kampung 1001 Malam, Surabaya. tirto.id/Ivan Darski

Stempel ‘Kawasan Merah’: Masa Lalu Kelam, dan Sulitnya Akses Pekerjaan

Sebelum akhirnya mendedikasikan hidupnya untuk mengurus kampung, Mamik mulanya adalah seorang bromocorah. Di masa mudanya, ia pernah wara-wiri hotel prodeo karena kasus curanmor. Pamornya sebagai bandit cukup mentereng di Surabaya.

Pada awal 2007 dia tertangkap.

Satu tahun sebelumnya, pada awal tahun 2006, Mamik dan kedua temannya ditetapkan sebagai target operasi polisi. Sebab, mereka adalah salah satu kelompok curanmor yang licin. Berkali-kali digerebek, mereka kerap lolos.

Hingga tiba pada suatu malam, ketika ruang persembunyiannya terendus aparat, markas Mamik dan kedua temannya, Edi dan Erik, digerebek. Mamik sedikit beruntung, karena ia berhasil lolos dari operasi penangkapan itu. Tetapi tidak dengan Edi dan Erik.

Kedua temannya itu, lantas diseret ke pinggir jalan tol yang tak jauh dari kediaman mereka. Di depan sebuah tiang lampu jalan, mata keduanya ditutup. Tangan dan kakinya diikat.

Mamik, yang bersembunyi di rimbunnya semak, melihat kejadian itu dengan hati getir. Tak berapa lama dua orang temannya itu tersungkur dibedil aparat. Mayat Edi dan Erik digeletakkan begitu saja di tepi jalan sekitar kampung. Warga kemudian geger. Ketakutan menyelimuti seisi daerah.

Mamik kira pencarian polisi bakal berakhir setelah itu. Pasca peristiwa penembakan itu, ia kemudian merantau sampai ke luar pulau. Setelah satu tahun pelarian, ia pikir, ia sudah pasti aman. Kasusnya mungkin sudah dilupakan aparat. Ia pun memutuskan pulang kampung.

Hingga kemudian pada suatu sore, tatkala sedang asyik menggiring bola di tanah lapang kampungnya, tiga orang berambut cepak seketika memasuki lapangan dan menghentikan pertandingan.

Ia kemudian mendengar suara bedil meletup. Dunia mendadak gelap. Ia kemudian merasakan hangat di betis sebelah kanan. Rasa sakit sedikit demi sedikit menghinggapinya. Ada aroma sangit menguar. Telapak tangannya basah oleh darah.

“Di saat seperti itu, saya masih bisa mengucap alhamdulilah. Setidaknya saya hanya dibikin pincang. Tidak sampai dihabisi. Pikiran saya waktu itu membayangkan istri saya. Yang saat itu masih mengandung delapan bulan. Anak pertama kami.”

Mamik divonis satu tahun delapan bulan. Tetapi ia hanya menjalani masa tahanan satu tahun tiga bulan karena mendapat remisi kelakuan baik. Pada Juli 2008, Mamik keluar. Anaknya telah lahir dan hampir berusia satu tahun. Ia memutuskan untuk tobat, dan berikrar mengabdikan sisa hidupnya pada kampung yang membesarkannya.

“Itu adalah masa-masa paling gelap di sepanjang hidup saya. Mereka adalah teman-teman kecil saya. Kami memang dulu kalau ‘bekerja’ bertiga. Saya satu-satunya yang tersisa. Allah kasih saya kesempatan untuk memperbaiki hidup artinya,” kenang Mamik.

Ia pun kemudian mengadvokasi kampung 1001 Malam, mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Kampung 1001 Malam dua tahun setelahnya. Tujuannya, adalah untuk membentengi kampungnya dari ancaman penggusuran belaka.

Setelah ia resmi menjadi ketua pengurus kampung, ia mulai mengupayakan kemudahan-kemudahan bagi kampungnya. Ia, selama sembilan tahun, berjuang untuk menyediakan akses saluran air bersih untuk seluruh warga. Ia pun memilih untuk meninggalkan pekerjaan utamanya sebagai kepala mekanik truk ekspedisi, dan memilih menjadi pengemudi ojek online. Agar waktunya lebih longgar mengurusi kampung.

“Sebelumnya warga itu mengandalkan semuanya dari air sumur. Tapi karena itu, warga sering bertengkar, dan kualitasnya juga tidak sebagus air PDAM. Jadi saya usahakan. Setelah lebih dari sepuluh tahun, pada tahun 2019 akhirnya upaya kami berhasil. Warga bisa mengakses air bersih dari Negara, yang seharusnya adalah hak kami sebagai warga negara,” terang Mamik.

Kampung 1001 Malam Surabaya

Kampung 1001 Malam, Surabaya. tirto.id/Ivan Darski

Ia pun berkelakar, warga kampung 1001 Malam terbiasa dengan pusparagam keruwetan hidup. Tak hanya urusan mencari pekerjaan, tetapi untuk mandi pun dipersulit. Tetapi, banyolan Mamik bukan omong kosong belaka. Ia mengatakan, bahwa warga kampung 1001 Malam begitu sulit mendapatkan pekerjaan. Sebab, stigma sebagai kampung yang dihuni penyamun, telah kadung melekat.

“Jadi misal interview pekerjaan. Pekerjaan kasar sekalipun. Ketika ngomong kalau warga 1001 Malam, langsung otomatis tidak diterima. Mereka kira kami semua bajingan apa,” celetuk Mamik.

Warga tak tinggal diam dengan pelabelan negatif yang memperkeruh kehidupan mereka. Untuk menghentikan kampung mereka sebagai sarang bajing loncat, mereka bahu membahu untuk menggasak segala jarahan para bajing loncat yang ‘mendarat’ di kampung mereka.

“Kan kebanyakan bukan anak sini yang beroperasi. Tapi orang luar. Karena kampung kita di samping tol, mereka ‘menurunkan’ hasil itu ke kampung kita. Nah, ketika hasil jarahan dilempar di kampung, orang-orang kampung rebutan ngambil,” kisah itu, kemudian ditertawakan oleh orang-orang lain yang turut nongkrong bersama kami. Jadi bajing loncatnya pulang dengan tangan kosong. Pulang cuman bawa dosa aja itu,” tawa Mamik terdengar semakin nyaring.

"Mau apa? Mau ngobrak-abrik kampung? Kan enggak berani mereka. Sejak saat itu, jadi mulai enggak berani ngelempar barang di kampung kami,” tukas Mamik.

Hujan lebat mulai turun. Air di sungai mulai meninggi. Di sebuah gubuk yang terletak di tengah kampung, mata Mamik menerawang ke air sungai. Ia tahu, bahwa upayanya ‘membersihkan’ nama kampung selama ini belum cukup. Namun ia percaya bahwa kelak kehidupan warga akan berubah dan membaik.

“Kampung 1001 Malam itu, filosofinya adalah kampung dengan 1001 wajah. Juga kampung dengan 1001 masalah,” kata Mamik seraya pandangannya memandang jauh menyusuri sungai.

“Bagi orang-orang seperti kami, masalah sudah menjadi seperti kawan. Daripada dibikin sedih. Enaknya ya kita tertawakan saja,” katanya sambil nyengir. Sementara gemuruh hujan terdengar semakin nyaring membentur atap seng berkarat, yang memayungi mereka.

Baca juga artikel terkait KAMPUNG KOTA atau tulisan lainnya dari Reno Surya

tirto.id - Indepth
Reporter: Reno Surya
Penulis: Reno Surya
Editor: Adi Renaldi