Menuju konten utama

Menyikapi Kekerasan di Tempat Kerja & Urgensi Lindungi Korban

Pemerintah harus buka mata dan evaluasi mekanisme penanganan kasus kekerasan di tempat kerja yang berlaku selama ini.

Menyikapi Kekerasan di Tempat Kerja & Urgensi Lindungi Korban
Ilustrasi Pelecehan Seksual. foto/IStockphoto

tirto.id - Kasus kekerasan di tempat kerja masih menjadi batu sandungan dalam upaya menciptakan iklim kerja yang kondusif, aman, dan nyaman di Indonesia. Tidak sedikit pula korban kekerasan yang memilih untuk diam atau takut melaporkan. Kondisi ini tentu harus menjadi atensi bersama seluruh pihak terkait.

Baru-baru ini, publik dihebohkan dengan kasus dugaan kekerasan yang dilakukan oleh Cherry Lai terhadap karyawan Brandoville Studios. Cherry Lai adalah istri pendiri sekaligus CEO Brandoville Studios, Ken Lai. Cherry Lai juga merupakan Co-Owner perusahaan animasi dan game tersebut.

Cherry Lai diketahui berasal dari Cina. Dia didugatelah bertahun-tahun melakukan kekerasan fisik dan mental, manipulasi psikologis, hingga perbudakan di perusahaannya.

Dia disebut kerap menghukum karyawannya dengan memaksa mereka melakukan kekerasan pada diri sendiri, seperti menampar diri sendiri sebanyak 100 kali, membenturkan kepala ke meja, hingga merusak handphone.

Cherry Lai juga diduga melakukan sistem kerja yang lebih mirip dengan perbudakan karena durasi kerja yang di luar nalar. Karyawannya dikatakan harus bekerja terus menerus dengan waktu tidur hanya satu jam selama berbulan-bulan. Dia juga menganggap karyawannya sebagai properti.

Kasus kekerasan yang dilakukan Cherry Lai terjadi sejak 2022 lalu. Hal itu diketahui setelah polisi mendapatkan keterangan dari salah satu korban berinisial CS.

Korban mengaku kekerasan yang dialaminya sejak 2022 sampai bulan Agustus 2024,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Jakarta Pusat, Ajun Komisaris Besar Muhammad Firdaus, dalam keterangan tertulis, dikutip Tirto, Kamis (19/9/2024).

Kasus kekerasaan yang terjadi di Brandoville Studios itu menambah panjang daftar kekerasan di lingkungan kerja di Indonesia. Kondisi itu bahkan sempat terekam dalam Survei Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja Indonesia 2022 (PDF)yang dibuat Organisasi Buruh Internasional (ILO).

Survei tersebut mengungkap sejumlah temuan penting terkait pengalaman pekerja di Indonesia dalam kurun 2020-2022.

ILO memotret bahwa bentuk kekerasan dan pelecehan berdimensi fisik masih sering terjadi di dunia kerja. Di antaranya berupa pukulan (28,81 persen), tamparan (15,13 persen), tendangan (10,97 persen), keroyokan (9,68 persen), serangan fisik lainnya (62,23 persen), hingga dengan percobaan pembunuhan (9,03 persen).

Tidak jarang, bentuk kekerasaan itu dianggap sebagai tindakan disiplin. Padahal, tindakan yang dianggap bentuk pendisiplinan itu belum tentu tertulis secara resmi dalam peraturan kedisiplinan di institusi kerja tersebut.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arif Maulana, mengatakan bahwa tindakan kriminal berupa kekerasan maupun eksploitasi tidak boleh terjadi dalam hubungan kerja. Hal itu jelas melanggar standar hak-hak pekerja dalam ketentuan peraturan perundang- undangan.

Hak-hak pekerja untuk mendapatkan jaminan kesehatan dan keselamatan kerja harus dijamin oleh perusahaan. Pemerintah harus melakukan pengawasan untuk memastikan hal tersebut dijalankan perusahaan,” jelas Arif kepada Tirto, Kamis (19/9/2024).

Arif menyebutkan bahwaPasal 86 dan 87 UU Ketenagakerjaan telah mengatur secara tegas hak pekerja terhadap perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja maupun perlakuan yang sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan dan nilai-nilai agama. Hal ini ditujukan untuk mewujudkan produktivitas dan kesejahteraan pekerja.

Oleh karena itu, setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja. Jika ketentuan tersebut dilanggar, terdapat sanksi administratif terhadap perusahaan sebagaimana disebut dalam Pasal 190.

Sementara itu,hukuman bagi pelaku kekerasan diatur dalam berbagai pasal dalam UU KUHP, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, maupun UU khusus lainnya yang terkait.

Minimnya Implementasi K3 di Perusahaan

Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI), Mirah Sumirat, menilai bahwa banyaknya kasus kekerasan yang terjadi di dunia kerja adalah akibat dari pengabaian Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) oleh perusahaan. Padahal, prinsip K3 adalah kunci untuk membangun pendekatan yang inklusif, terpadu, dan responsif gender dalam mencegah dan menghapuskan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja.

Soal kekerasan ini masih ada hubungannya dengan K3,” kata dia kepada Tirto, Kamis (19/9/2024).

Seturut laporan terbaru dari ILO, kerangka K3 merupakan upaya mengatasi akar penyebab kekerasan dan pelecehan di tempat kerja. Implementasinya adalah dengan mengatasi risiko yang mendasarinya, seperti organisasi kerja yang tidak memadai, faktor-faktor yang terkait dengan tugas-tugas tertentu, dan kondisi kerja yang menghasilkan tingkat stres tinggi yang pada gilirannya menyebabkan kekerasan dan pelecehan.

Di 25 negara yang diteliti, ILO mendapati sekitar dua pertiga dari semua ketentuan hukum tentang kekerasan dan pelecehan di tempat kerja tercantum dalam undang-undang dan peraturan K3.

Kebijakan K3 lebih rinci dalam menguraikan strategi pencegahan dan mendefinisikan tanggung jawab pengusaha dan pekerja jika dibandingkan dengan pendekatan regulasi lainnya.

Jadi, memang ini [kasus kekerasan di tempat kerja] masih ada hubungannya dengan K3. [Penyebabnya] satu, minimnya pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki oleh pengusaha maupun juga pekerja. Ini terkait edukasi [K3],” jelas Mirah.

Minimnya edukasi dan implementasi K3 membuat pengusaha maupun pekerja pada akhirnya semena-mena dalam memperlakukan para pekerjanya karena tidak taat dengan aturan. Kondisi ini akhirnya membuat kekerasan di lingkungan kerja sering terjadi.

Maka dalam hal ini, pemerintah punya tanggung jawab besar untuk memberikan edukasi terkait dengan perlindungan ketenagakerjaan melalui pelaksanaan K3 kepada para pekerja dan pengusaha. Edukasi itu tidak hanya berupa pentingnya penerapan K3 saja, tapi juga bagaimana menerapkan aturan ketenagakerjaan yang berlaku.

Itu juga harus diberikan edukasi dari pemerintah. Semuanya itu dari pemerintah. Kalau misalnya pemerintah sekarang ini kesulitan, sambil menunggu karena tadi sistemnya adalah otonomi daerah, maka pemerintah merangkul perwakilan pekerja untuk bersama-sama memberikan edukasi kepada pengusaha. Dan juga tentu perwakilan pengusaha dirangkul,” jelas Mirah.

Dari sisi pemerintah, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) ikut mendorong perusahaan untuk membentuk Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan (RP3) di lingkungan kerja mereka. Ini perlu untuk mencegah terjadinya kekerasan di tempat kerja.

Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA, Ratna Susianawati, menyebut bahwa pembentukan RP3 adalah amanat Peraturan Menteri PPPA Nomor 1 Tahun 2023.

Dalam pelaksanaannya, RP3 menyediakan tiga jenis pelayanan terhadap perempuan, yaitu pencegahan kekerasan terhadap pekerja perempuan, penerimaan pengaduan dan tindak lanjut, serta pendampingan.

"Hal ini penting untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman dan mendukung bagi semua karyawan, serta memastikan bahwa hak dan kesejahteraan pekerja perempuan terlindungi secara optimal," kata Ratna Susianawati dikutip dari Antara.

Perlu Ada Jaminan terhadap Korban atau Pelapor

Selain edukasi K3, Mirah mengatakan bahwa pemerintah perlu menjamin keselamatan para korban yang melaporkan dugaan kekerasan yang dialami di tempatnyabekerja. Pasalnya, tidak sedikit korban atau pekerja yang takut untuk melakukan perlawanan terhadap pengusaha yang melakukan tindak kekerasaan.

Hal itu terjadi karena pekerja atau korban merasa terancam dan takut kehilangan pekerjaanya.

Lagi-lagi mereka butuh pekerjaan. Kalau mereka melakukan penolakan, perlawanan, sedangkan mereka satu sisi butuh,” ujar Mirah.

Survei Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja Indonesia 2022 oleh ILO juga menunjukkan fenomena serupa.Kasus kekerasan yang terjadi di perusahaan ternyata bisa terjadi lantaran tidak kebijakan perlindungan yang kuat.

Survei ILO menyebut 34,53 persen responden menyatakan di perusahaannya tidak terdapat kebijakan antikekerasan dan antipelecehan. Sejalan dengan hal tersebut, 42,55 persen korban mengaku hanya bisa diam dan tidak tahu harus berbuat apa ketika mengalami kekerasan di tempat kerja.

Hal itu menyebabkan tidak semua korban dapat menempuh jalur-jalur formal untuk mendapat keadilan dan perlindungan. Survei menunjukkan bahwa hanya 10,94 persen korban yang melaporkan kasus ke pihak manajemen perusahaan dan hanya 1,80 persen korban yang melaporkan kasusnya ke kepolisian.

Maka kalau ingin membangun keberanian [korban], pastikan pemerintah buat satu jaminan kepada pelapor bahwa mereka tidak akan terdampak apa-apa setelah mereka lapor,” ujar Mirah.

Senada dengan Mirah, LBH juga mendorong pemerintah agar para korban yang melapor mendapatkan perlindungan dari ancaman PHK. Menurut Arif, peran pengawas ketenagakerjaan pada dinas maupun Kementerian Tenaga Kerja amat krusial dalam hal ini.

Sementara itu, peneliti sosial The Indonesian Institute (TII), Dewi Rahmawati Nur Aulia, mengatakan bahwa pemerintah harus membuka mata dan mengevaluasi mekanisme penanganan kasus kekerasan di tempat kerja yang berlaku selama ini.

Pemerintah harus memastikan pengaduan para pekerja yang mengalami tindak kekerasan diproses dengan baik, baik secara hukum maupun administratif.

Lalu, apakah para pelaku usaha telah diberikan sanksi jera. Misalnya, berupa dicabutnya izin usaha,” ujar Dewi kepada Tirto, Kamis.

Dewi juga menuturkan bahwa dalam upaya mencegah terjadinya kekerasan di tempat kerja, pemerintah sebenarnya memiliki kewenangan untuk melakukan assessmentterhadap pelaku usaha sebagai pemberi kerja dan proses bisnis secara keseluruhan.

Dengan begitu, pemerintah dapat memperoleh gambaran utuh ketika terjadi konflik antara perusahaan dan karyawan.

Hal itu tentunya harus dilakukan secara konsisten,” jelas Dewi.

Kepolisian sebagai penegak hukum, kata Dewi, juga harus bertindak secara profesional. Artinya, kepolisian harus dapat menjalankan peran dan fungsinya dengan memproses setiap laporan tindak kekerasan di tempat kerja berdasarkan fakta-fakta hukum.

Termasuk, mengecek izin pendirian usaha dan bahkan pelaporan pajak yang harus dibayarkan kepada negara.

Dengan profesionalitas kepolisian dalam menangani kasus kekerasan yang terjadi di tempat kerja, diharapkan para pelaku usaha dapat memahami pentingnya mematuhi regulasi yang ada,” ungkapannya.

Baca juga artikel terkait K3 atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi