tirto.id - Suara Santi terdengar lirih. Ibu dari dua orang anak itu, tidak bisa lagi menyembunyikan kesedihannya. Hubungan dengan sang suami retak. Sementara ia harus menanggung beban dan menghidupi kedua anaknya yang masih berusia tujuh dan lima tahun seorang diri.
Dalam satu waktu, ia bercerita tidak memiliki uang simpanan. Sedangkan posisi sang anak jatuh sakit dan harus dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUS). Tidak ada pilihan lain. Jalan pintas diambil dengan mengunggah aplikasi pinjaman online (pinjol) di salah satu Playstore androidnya.
Tidak butuh waktu lama, setelah seluruh data terisi dengan benar, ia langsung mengajukan pinjaman tenor satu bulan dengan jumlah pinjaman sebesar Rp1 juta. Namun ia hanya menerima sekitar Rp950 ribu atau dipotong biaya layanan. Sedangkan selisih bunga pinjaman mencapai Rp200 ribu.
Pikirnya saat itu sederhana, bagaimana yang penting sang anak bisa dirawat di rumah sakit. Tanpa memikirkan jangka panjang untuk membayar pinjamannya setelah itu. Karena ia sendiri merupakan ibu rumah tangga dan tidak memiliki sumber pendapatan atau bergantung dengan orang lain.
“Awalnya enggak ada pilihan lain, karena mau minta ke saudara malu, kan," ujarnya bercerita kepada reporter Tirto, Rabu (21/12/2022).
Waktu berjalan. Setelah anaknya sembuh, ia mulai kelimpungan untuk membayar pinjaman tersebut. Sementara waktu batas pembayaran saat itu tinggal seminggu lagi. Alhasil dia mengunggah aplikasi pinjol lain dengan berpikir untuk menutupi pinjaman sebelumnya.
"Sampai saat ini saya harus gali lubang tutup lubang untuk lunasi pinjaman saya," imbuhnya.
Cerita lainnya, Listia Nursapitri bahkan hampir mengakhiri hidupnya. Dia tak pernah membayangkan hidupnya akan amburadul. Hubungan dengan suami tak harmonis, keluarga diambang kehancuran, kasih sayang ke anak minim, utang puluhan juta menggunung.
Tak tanggung, 12 aplikasi pinjaman online mengejarnya bak hantu. Sejak Desember 2021, total utangnya mencapai Rp48 juta beserta dengan bunganya. Sebagian telah dilunasi, kendati memakai pinjaman dari orang tua dan mertua.
“Saya stres, bahkan pernah untuk percobaan bunuh diri," ujarnya menceritakan.
Berdasarkan Statistik Fintech Lending Indonesia yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) outsanding pinjol atau pinjaman yang masih beredar mencapai Rp27,9 triliun pada Oktober 2021. Angkanya meningkat 1,45 persen dari bulan sebelumnya yang sebesar Rp27,5 triliun.
Outsanding pinjol terus meningkat sejak awal tahun. Outstanding pinjol pada Oktober 2021 meningkat 57,49 persen jika dibandingkan pada Januari 2021 yang sebesar Rp16,1 trilun.
Outstanding pinjol tersebut mengalir ke 19,94 juta rekening penerima pinjaman aktif. Secara rinci, 19,94 juta merupakan penerima pinjaman perseorangan, dan 2,78 ribu merupakan badan usaha.
Berdasarkan kualitas pembiayaannya, outstanding pinjol senilai Rp25,39 triliun merupakan pinjol lancar dengan pembayaran sampai dengan 30 hari. Sisanya, Rp1,91 triliun merupakan pinjaman tidak lancar dengan pembayaran terlambat 30-90 hari, serta ada Rp593 miliar pinjol yang macet atau lebih dari 90 hari.
Berdasarkan jenis kelamin penerima pinjaman perseorangan, secara nilai outstanding pinjol dari perempuan mendominasi dengan jumlah Rp12,41 triliun. Namun, jumlah rekening penerima pinjaman aktif perempuan lebih sedikit daripada laki-laki, yakni 9,07 juta rekening.
Sementara itu, nilai outstanding pinjol dari laki-laki tercatat sebesar Rp11,12 triliun. Outstanding pinjol tersebut mengalir ke 10,86 juta rekening penerima pinjaman aktif.
Adapun dari sisi kelompok umur, milenial usia 19-34 tahun mendominasi outstanding pinjol sebesar Rp15,56 triliun. Diikuti kelompok umur 35-54 tahun dengan outstanding pinjol sebesar Rp7,17 triliun.
Perempuan Paling Rentan Terjerat Pinjol
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Wahyu Kustiningsih mengatakan, perempuan terutama ibu rumah tangga adalah kelompok yang rentan terjerat pinjaman online. Menurutnya ada banyak faktor yang melatarbelakangi perempuan begitu rentan terhadap hal ini.
“Karena keterdesakan kebutuhan ekonomi, di sisi lain secara administratif, pinjol yang mudah diakses untuk membantu mereka,” kata Wahyu seperti dilansir Antara.
Selama pandemi COVID-19, kata Wahyu, tidak sedikit perempuan, terutama ibu rumah tangga yang harus menerima kenyataan suaminya yang bekerja di sektor informal, pendapatannya mengalami penurunan. Sementara kebutuhan seperti pendidikan anak, dan lainnya semakin bertambah.
Kondisi inilah, kata Wahyu, yang kemudian menjawab mengapa mayoritas perempuan, terutama di pedesaan menjadi korban pinjol. Mereka mau tidak mau mengambil jalan pintas melalui pinjol yang memberikan pinjaman dengan persyaratan dan ketentuan yang mudah dan cepat proses pencairan dananya. Berbeda dengan mengambil pinjaman di bank dengan persyaratan dan proses pengajuan yang tergolong rumit dan memakan waktu panjang.
“Dalam kondisi keterdesakan ekonomi yang dipilih masyarakat jalan pintas untuk menyambung hidup,” katanya.
Wahyu mengatakan saat sudah terjerat pinjol, biasanya perempuan tidak lepas dari adanya pelabelan atau stigma dari masyarakat. Beberapa stigma yang kerap muncul antara lain dianggap tidak mampu mengelola keuangan dengan baik, dianggap konsumtif, tukang utang dan lainnya.
Stigmatisasi yang muncul tersebut menjadikan perempuan korban pinjol tertekan hingga bunuh diri karena tidak kuat menahan malu, kata dia.
Adanya warga yang terjerat pinjol ini, lanjut Wahyu, menunjukan sistem sosial (supporting system) di masyarakat tidak bekerja. Korban merasa sendiri dan buntu di tengah desakan ekonomi, namun masyarakat tidak memberikan dukungan.
Oleh sebab itu, ia menekankan perlunya memperkuat supporting system di lingkungan masyarakat. Saat ada salah satu warga yang terjerat pinjol diharapkan tetangga dapat memberikan dukungan atau bantuan dalam mencari solusi.
“Masyarakat bisa menginisasi gerakan bersama menghadapi krisis saat pandemi termasuk persoalan ekonomi seperti pinjol semisal dengan membangun kelompok-kelompok usaha kecil. Kalau ini tidak dilakukan akan banyak yang tertekan sehingga solidaritas sosial penting,” urainya.
Lebih lanjut, Wahyu menjelaskan, perempuan memang rentan menjadi korban tindak kriminalitas, apalagi di era teknologi saat ini. Karena hingga saat ini masih ada gap penguasaan teknologi antara laki-laki dan perempuan.
Seperti diketahui pandemi COVID-19 mengubah seluruh aspek kehidupan dari aktivitas luring menjadi daring. Paparan terhadap pinjol di masyarakat pun menjadi semakin besar. Namun, kondisi ini belum diikuti dengan literasi dan edukasi yang baik bagaimana menggunakan teknologi secara bijak.
Untuk itu, literasi digital penting dilakukan untuk menekan risiko pinjol. Edukasi terkait dampak pinjol perlu diperkuat untuk menekan risiko munculnya korban-korban pinjol lainnya.
“Fenomena ini akan terus terjadi sehingga menjadi PR untuk bisa mendampingi masyarakat," kata dia.
Tak hanya itu, Wahyu mengatakan pemerintah perlu meningkatkan pengawasan pinjol, sebab mayoritas pinjol saat ini bersifat ilegal atau tidak terdaftar dan berizin OJK. Selain itu, penegak hukum diharapkan mampu merespons dengan cepat dan berinisiatif melindungi masyarakat korban jeratan pinjol.
“Masyarakat diharapkan juga bisa melakukan pengawasan, karena kekuatan terbesar di masyarakat melakukan pengawasan untuk melaporkan yang terjadi di lingkungannya," kata dia.
Solusi Terhindar dari Pinjol
Sementara itu, Perencana Keuangan Mitra Rencana Edukasi, Mike Rini Sutikno mengatakan, ada dua pendekatan agar ibu rumah tangga bisa terbebas dari jeratan pinjol. Pertama adalah pengendalian pengeluaran dan kedua memiliki sumber pendapatan baru.
“Pertama dulu, kita punya spending. Kembali lagi deh pada peraturan pertama selama pengeluaran kita lebih kecil dari penghasilan, kita punya kesempatan untuk bisa aman secara finansial. Tidak tergantung pada utang," jelasnya saat dihubungi.
Mike mengatakan, memang kedengarannya sederhana, namun dalam mengendalikan pengeluaran tidak mudah, tapi harus dilakukan. Menurutnya ada beberapa cara pendekatan untuk pengendalian pengeluaran tersebut. Pertama, harus memiliki mental dan memiliki pemikiran setuju bahwa pengeluaran lebih kecil dari penghasilan.
Kedua, perlu mengevaluasi pengelurannya secara rutin. Karena menurutnya banyak ibu rumah tangga pusing dan malas mengelola keuangan karena perintilannya banyak. Padahal hal tersebut perlu dilakukan untuk mengetahui pengeluarannya selama satu bulan kemana saja.
"Ibu secara sederhana ambil kertas sama pulpen dijabarkan begitu. Didata pengeluarannya apa saja kategorinya terlebih dahulu," imbuhnya.
Dari semua pengeluaran itu, maka nanti akan terlihat mana yang menjadi kebutuhan dan mana keinginan. Dari situ kemudian mudah mengatur dan melihat apa-apa saja membuat kebutuhan keseharian melonjakk.
"Karena suda mulai gampang karena ada peta keuangan, yang bikin kita terjerat keuangan karena kita tersesat kenapa? Karena kita tidak punya peta keuangan," ujarnya.
Selanjutnya jika cara-cara tersebut masih membuat kesulitan, maka pendekatan kedua harus dilakukan, yakni mempunyai sumber penghasilan sendiri. Menurutnya memiliki penghasilan sendiri saat ini cukup banyak caranya. Bisa bikin usaha tanpa modal besar atau paling sederhana saja bisa jualan secara online.
“Jualan secara online ini bisa jadi Anda membuat produk sendiri, bisa jadi Anda menjual produk orang lain. Bisa juga Anda menjual keahlian tertentu," katanya.
"Kita tidak lagi secara finansial itu tergantung satu sumber penghasilan. Ideal dalam rumah tangga punya dua atau tiga sumber penghasilan," kata Mike mengakhiri.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz