tirto.id - Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan menuai kritik. Penyebabnya, Luhut menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak perlu melakukan upaya penindakan lewat Operasi Tangap Tangan (OTT). Sebab, OTT merusak citra negara Indonesia.
“OTT itu tidak bagus sebenernya, buat negeri ini jelek banget. Tapi kalau kita digital life siapa yang akan lawan kita?” ujar Luhut dalam acara Aksi Pencegahan Korupsi 2023-2024 di Jakarta, secara daring, Selasa (20/12/2022).
Mantan Menko Polhukam itu lantas meminta KPK memperbaiki kinerjanya. Ia tidak ingin komisi antirasuah lebih sering melakukan OTT dan berupaya toleran.
“Jadi KPK jangan pula sedikit-sedikit tangkap tangkap, ya lihat-lihatlah. Jadi kalau kita mau bekerja dengan hati, ya kalau hidup-hidup sedikit bolehlah, kita kalau mau bersih-bersih amat di surgalah kau,” kata Luhut.
Luhut kemudian menceritakan, dirinya sempat diundang untuk diwawancarai salah satu media di London, Inggris. Dia mengatakan Indonesia dipuji usai berhasil menyelenggarakan KTT G20 di Bali pada November lalu.
Dalam kesempatan wawancara tersebut, Luhut bahkan menyampaikan Indonesia memiliki empat pilar dalam pembangunan. Dari keempat yang disampaikan itu, dia menyebut digitalisasi merupakan kunci kemajuan bangsa.
“Jadi kalau digitalisasi ini sudah jalan tidak akan bisa main-main,” kata Luhut menambahkan.
Pernyataan Luhut didukung Menkopolhukam Mahfud MD. Eks ketua Mahkamah Konstitusi itu menilai digitalisasi lebih baik daripada pelaksanaan OTT yang kerap menghebohkan publik.
“Tak salah dong Pak Luhut. Daripada kita selalu dikagetkan oleh OTT, lebih baik dibuat digitalisasi dalam pemerintahan agar tak ada celah korupsi,” kata Mahfud MD lewat akun instagramnya.
Mahfud mengakui bahwa arah pemerintah memang digitalisasi. Oleh karena itu, pemerintah pernah mengajukan RUU Pembatasan Transaksi Uang Tunai. Hal itu dilakukan agar transaksi tak bisa memberi celah pada korupsi.
“Saat ini kita juga sedang menunggu Perpres tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Pekan ini Men-PANRB sudah mengirimkan draf SPBE kepada presiden untuk ditandatangani sebagai bagian dari upaya penyelenggaraan pemerintahan secara digital agar tak mudah untuk berkorupsi,” kata Mahfud.
“Jadi Pak Luhut benar. Apanya yang salah?” kata Mahfud MD balik bertanya.
Salah Kaprah & Kontraproduktif
Peneliti PUKAT UGM Yogyakarta, Zaenur Rohman menilai, pernyataan Luhut bersifat kontraproduktif dan tidak baik bagi pemberantasan korupsi. Pertama, ia mengingatkan bahwa penindakan seperti OTT adalah sebuah keharusan bila ada pelanggaran hukum.
“Menurut saya pernyataan ini tidak tepat dan juga punya nada yang kontraproduktif dalam pemberantasan korupsi. Mengapa saya katakan demikian? Karena OTT itu merupakan satu keharusan jika telah terjadi tindak pidana. Artinya OTT itu bukan merupakan opsi, tetapi OTT itu merupakan keharusan,” kata Zaenur kepada Tirto, Selasa (20/12/2022).
Zaenur mengingatkan, OTT itu adalah kewajiban penegak hukum jika ada tindak pidana. Penegak hukum harus menegakkan hukum untuk mewujudkan keadilan.
“Artinya dalam konteks itu bukan lagi memikirkan apa namanya cost atau benefitnya, tetapi memang itu sebuah keharusan,” kata Zaenur.
Kedua, kata Zaenur, OTT juga punya tujuan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku maupun pihak lain yang akan melakukan tindak pidana dalam konteks ini adalah tindak pidana korupsi. Ketiga, OTT juga dalam rangka memproses tindak pidana korupsi yang dilakukan serta mengembalikan kerugian keuangan negara.
“Menurut saya, OTT itu sekali lagi bukan merupakan opsi, OTT itu tidak bisa dilawankan, diversuskan dengan pencegahan. Itu tidak bisa. OTT itu adalah satu-satunya keharusan yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum jika telah terjadi tindak pidana itu, sehingga itu tidak bisa diversuskan dengan pencegahan,” kata Zaenur.
Pernyataan Luhut, kata Zaenur, memang bisa dilihat secara positif karena digitalisasi memang bisa digunakan untuk mencegah korupsi, memperbaiki sistem dan mempersempit upaya korupsi. Pemerintah sudah membuat online single submission (OSS), ecatalog, dan sistem digital lain.
Akan tetapi, korupsi tetap terjadi. Oleh Karena itu, kata dia, jika perbaikan sistem sudah dilakukan, digitalisasi dilakukan, program-program pencegahan dilakukan masih terjadi tindak pidana, maka mau tidak mau satu-satunya langkah harus melakukan penindakan dan itu bukan opsi.
“Saya melihat memang ya pernyataan menko marves ini mengecilkan kontribusi upaya penindakan dalam pemberantasan korupsi, seakan-akan pemberantasan korupsi itu hanya bisa dilakukan dengan baik jika melalui upaya pencegahan. Padahal menurut saya antara penindakan dan pencegahan itu bak dua sisi mata uang dalam satu keping yang tidak bisa dipisahkan,” kata Zaenur.
“Jadi saya tidak sepakat ketika upaya penegakan hukum dalam bentuk penindakan itu dihadap-hadapkan secara diametral dengan upaya pencegahan. Pencegahan dan penindakan itu harus satu tarikan napas yang tidak bisa dipisahkan, termasuk penindakan semata pun tanpa pencegahan itu juga tidak akan efektif,” kata dia.
Zaenur mengingatkan penindakan menimbulkan shock terhadap kondisi yang berubah. Pencegahan masuk sebagai upaya memperbaiki tata kelola yang sebelumnya dianggap bermasalah. Oleh karena itu, sinergi pencegahan dan penindakan dalam pemberantasan korupsi adalah satu kesatuan.
Zaenur berharap, pernyataan Luhut tidak membuat KPK gentar. KPK harus tetap berjalan karena tidak bisa diintervensi pemerintah. KPK harus menggenjot pencegahan dan penindakan secara bersamaan.
Terkesan Menoleransi Praktik Korupsi
Pendapat Luhut dan Mahfud tidak sejalan dengan para tokoh antikorupsi dan pegiat hukum. Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M. Isnur menilai, pernyataan Luhut sebagai bukti eks menkopolhukam itu toleran dengan aksi korupsi dan berbahaya bagi Indonesia.
“Dari pernyataan tersebut kita bisa menilai bahwa Pak Luhut itu mentolelir korupsi agar nggak ditindak. Ini sangat berbahaya pernyataanya karena kemudian bisa menjadi legitimasi untuk orang nggak ditangkap,” kata Isnur.
Isnur juga menilai ujaran Luhut membuktikan bahwa politik pemerintahan Jokowi tidak serius dalam upaya pemberantasan korupsi. Ia mengingatkan, tidak ada semangat antikorupsi melanggar aturan seperti itu Undang-Undang Dasar 45, UU Tindak Pidana Korupsi dan UU KPK.
“Jadi ini tentu sangat mengecewakan dan semakin menunjukkan pola pemerintahan yang koruptif,” kata Isnur.
Sementara itu, Ketua Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani malah meminta agar Luhut mengkritik langsung Presiden Jokowi. Ia beralasan, Jokowi lah yang mendorong revisi Undang-Undang KPK hingga menempatkan pimpinan KPK.
“Jadi apa yang terjadi di KPK, bagaimana sikap tindakan KPK yang dia komentari itu soal sedikit-sedikit segala macam nama Indonesia buruk, ya akibat presidennya sendiri. Kalau nggak sepakat, dia tegur dong presidennya. Kenapa KPK seperti itu?” kata Julius.
Julius juga menegaskan pertanyaan bukan pada sedikit-sedikit KPK melakukan OTT, tetapi bagaimana upaya pemerintah dalam menjawab penyelesaian masalah kultur koruptif di berbagai sektor. Ia menyebut sistem peradilan, kepolisian, kejaksaan, Mahkamah Agung kemudian sampai ke kementerian dan lembaga masih korup.
“Kalau itu (pemberantasan kultur koruptif) juga nggak dibangun, maka ya sama saja dia akan terus-terusan mengomentari KPK, menjelek-jelekin OTT, tapi nggak membangun sistem yang antikorupsi. Persoalannya juga kan selalu begitu,” kata Julius.
Ia mengutip momen ketika ada eks menteri Jokowi tersandung kasus korupsi. Pengganti menteri yang korup diduga masih punya masalah dan diduga terlibat pada kasus penitipan kursi di kampus.
Oleh karena itu, Julius menilai, persoalan bukan pada masalah penggunaan teknologi digital, tetapi masalah sistem yang sudah koruptif dan instansi menjadi ladang korupsi. Hal itu ditambah dengan aksi korupsi berawal dari perilaku. Di sisi lain, mekanisme koordinasi supervisi KPK tidak berjalan.
Ia menilai, Jokowi harus memperkuat KPK dengan memperluas wewenang lembaga antirasuah. KPK tidak boleh lagi hanya sekadar supervisi dan koordinasi pencegahan korupsi. Ia mendorong KPK diperkuat dengan diperbolehkan masuk ke kementerian-lembaga dan mendorong pelaksanaan sistem elektronik dengan baik di instansi-instansi tersebut.
Di sisi lain, Jokowi harus bisa negur Mahfud dan Luhut. Ia mencontohkan teguran pada Luhut bisa soal alasan pihak asing kurang berminat investasi di Indonesia karena korupsi masih tinggi dan sistem Indonesia bobrok. Sementara kepada Mahfud, Jokowi bisa menyoalkan agar para penegak hukum tidak memainkan perkara, kriminalisasi hingga tidak ada pungli dalam perkara.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz