Menuju konten utama
Panglima TNI Baru

Tantangan Penanganan Konflik Papua di Bawah Panglima TNI Yudo

Adriana berpendapat pemerintah perlu menghadapi TPNPB ideologis untuk bicara, bukan baku muntah pelor.

Tantangan Penanganan Konflik Papua di Bawah Panglima TNI Yudo
Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono (kanan) melakukan salam komando dengan pejabat lama Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa (kiri) usai Upacara Serah Terima Jabatan di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Selasa (20/12/2022). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wsj.

tirto.id - Laksamana Yudo Margono resmi menjadi Panglima TNI menggantikan Andika Perkasa. Sejumlah persoalan yang belum terselesaikan kini menjadi tanggung jawab Yudo, salah satunya soal penyelesaian masalah Papua. Presiden Joko Widodo pun meminta Yudo agar tegas terhadap kelompok pro kemerdekaan Papua.

“Harus tegas. Kalau tidak tegas di sana, kelompok bersenjata selalu berbuat seperti itu, tidak akan selesai masalahnya,” kata Jokowi usai melantik Yudo di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (19/12/2022).

Jokowi juga meminta agar TNI mengedepankan pendekatan humanis dalam menangani masalah keamanan di Papua. “Saya kira pendekatan humanis, pengurangan prajurit TNI di Papua juga baik, tapi juga harus tegas.”

Hal yang sama juga diungkapkan anggota Komisi I DPR RI, Dave Akbarshah Fikarno Laksono. Ia mengingatkan Yudo untuk segera menangani kasus kekerasan yang ada di Papua dan yang melibatkan kelompok bersenjata. Meski durasi jabatan yang diemban Yudo tergolong singkat, hal itu bukan alasan untuk menangani sejumlah konflik yang ada di Papua.

“Durasi beliau berdinas tidak menjadi kendala. Karena ini adalah proses berkelanjutan,” kata Dave saat dihubungi Tirto, Rabu, 21 Desember 2022.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar itu mengingatkan, penanganan sejumlah kasus kekerasan di Papua harus dengan pendekatan humanis, namun hal itu tidak berlaku kepada mereka yang melakukan kekerasan.

Pada 6 Desember, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) diduga menembak tiga tukang ojek di Kabupaten Pegunungan Bintang. Tepat sepekan kemudian, Kalenak Murib menembak seorang pegawai Bank Papua, Darius Julius Yumame, di Pasar Sinak, Kabupaten Puncak, ketika hendak membeli nasi kuning.

Kalenak Murib merupakan tahanan Lapas Kelas II A Abepura, lalu dia kabur pada 28 Juli 2021 dengan alasan ingin menjenguk istrinya yang sakit. Kalenak teridentifikasi berdasarkan keterangan para saksi. Polisi menyebut Kalenak dikenakan sanksi adat oleh Goliat Tabuni dan Lekagak Telenggen, pimpinan TPNPB wilayah Puncak dan Puncak Jaya, lantaran menembak sesuka hati.

Respons TPNPB soal TNI Harus Tegas ke Kelompok Pro Kemerdekaan

Juru Bicara TPNPB, Sebby Sambom merespons perihal TNI di bawah kepemimpinan Yudo harus tegas terhadap kelompoknya. “Di Papua tidak ada kelompok bersenjata, di Papua ada orang-orang asli Papua yang hidup dari tahun ke tahun, hidup di atas tanah sendiri,” ucap dia kepada reporter Tirto, Rabu (21/12/2022).

“Tidak ada teroris kelompok bersenjata di Papua, teroris ada di Indonesia. TNI dan Polri ini termasuk teroris kelompok bersenjata. Di Papua itu ada organisasi sipil yang berjuang untuk kemerdekaan Papua dan sayap militer,” sambung Sebby.

Dia bilang bila aparat keamanan Indonesia tahu medan perang di Bumi Cenderawasih, maka silakan melawan pihaknya. “Kalau tidak, sama saja omong kosong.”

Bahkan Sebby tak yakin TNI dan Polri masuk ke hutan untuk mengejar mereka karena perbedaan kebiasaan dan penguasaan geografis, yakni personel TPNPB memang menetap di hutan, sementara aparat keamanan Indonesia tinggal di kota.

Dia juga klaim pihaknya tidak gentar melawan TNI dan Polri. “Jokowi harus berani turun ke meja perundingan dengan kami, untuk bicara hak kemerdekaan Papua,” kata Sebby.

SERTIJAB PANGLIMA TENTARA NASIONAL INDONESIA

Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono (kiri) menerima bendera Panji TNI Tri Dharma Eka Karma dari pejabat lama Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa (kanan) saat Upacara Serah Terima Jabatan di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Selasa (20/12/2022). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wsj.

Kedua Pihak Mesti Memahami Konvensi Jenewa 1949

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua menyatakan sejak 2018 hingga sekarang konflik bersenjata antara TNI dan Polri versus TPNPB terus terjadi. Karena itu, kedua pihak yang bertikai harus memahami Konvensi Jenewa 1949.

Secara garis besar terbagi dua bentuk kasus, yaitu pembunuhan atau penembakan oleh aparat keamanan Indonesia terhadap orang asli Papua dan/atau TPNPB terhadap masyarakat sipil non asli Papua dan; pengungsian masyarakat sipil yang berada di sekitar area konflik.

Area konflik seperti di Kabupaten Nduga (2018), Kabupaten Intan Jaya (2019 – 2020), Kabupaten Mimika (2020), Kabupaten Maybrat (2020), Kabupaten Puncak Papua (2021), Kabupaten Tambrauw (2021), Kabupaten Pegunungan Bintang (2021) dan Kabupaten Yapen Waropen (Desember 2022).

“Apabila TNI dan Polri melawan TPNPB di Papua mengedepankan prinsip Konvensi Jenewa 1949, tentu tidak banyak masyarakat sipil Papua maupun non-Papua yang menjadi korban,” kata Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay, dalam keterangan tertulis, Rabu, 14 Desember 2022.

Sebab, lanjut dia, ketentuan perihal perlindungan hukum terhadap masyarakat sipil dalam daerah konflik bersenjata secara tegas diatur pada Pasal 3 angka 1 Konvensi Jenewa 1949. [PDF]

Ketegasan terhadap TPNPB tetap harus terukur, dalam artian, menjamin tidak ada warga sipil yang terkena dampak secara langsung maupun tidak langsung atas “ketegasan” yang dijalankan. Hal ini dilontarkan oleh Wakil Koordinator II Kontras Rivanlee Anandar.

Sebab, kata Rivanlee, konflik bersenjata TNI dan Polri vs TPNPB kerap menghadirkan eksternalitas yang berakibat pada pengungsian, warga sipil menjadi korban jiwa, dan secara jangka panjang memicu trauma dan ketakutan warga untuk menjalani kehidupan.

“Sisi lain, dampak yang timbul selama ini pun tidak mendapat pemulihan yang efektif dari negara. Ini juga yang mesti diperhatikan, selain upaya tegas terhadap kelompok bersenjata di Papua yakni menjamin kelangsungan hidup dari warga sipil yang terdampak,” ujar Rivanlee kepada reporter Tirto, Rabu, 21 Desember.

Perihal pengurangan pasukan militer di Papua, kata dia, itu patut dilakukan sebagai bagian konkret untuk menurunkan eskalasi yang selama ini terjadi. Pengurangan jumlah TNI menjadi salah satu langkah awal yang perlu juga diikuti dengan langkah lainnya dalam konteks sosial, politik, dan lainnya.

Rivanlee berpendapat humanis bisa berindikator seperti menjamin tidak ada warga sipil yang terkena dampak, tidak menjalankan stigma terhadap orang asli Papua, dan menjamin pemulihan terhadap para terdampak konflik.

Soal pendekatan humanis penanganan konflik Papua juga pernah diucapkan oleh Andika Perkasa ketika menjalani uji kelayakan dan kepatutan sebagai calon Panglima TNI pada 2021. Selain berfungsi sebagai penjaga keamanan, para prajurit juga diproyeksikan akan melakukan tugas-tugas sosial, seperti menjadi pendidik dan juga tenaga kesehatan.

Namun, pengamat militer sekaligus peneliti di Yusof Ishak Institute Singapura, Made Supriatma mengatakan, meski Andika sempat menyatakan soal pendekatan humanis dalam mengurus Papua, tapi tidak berarti pengerahan pasukan berhenti. TNI hanya mencoba mengubah strateginya.

“Yang dilihat oleh Andika bukan pengurangan pasukan, tapi mungkin penambahan pasukan dan yang lebih penting lagi adalah penambahan teritorial. Jadi penambahan Kodim dan Koramil, kemudian menempatkan itu sehingga bisa memberikan basis permanen di Papua," kata Made.

Pola Sama, Hasil Tak Signifikan

Peneliti pada Pusat Penelitian Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Adriana Elisabeth berujar, pendekatan humanis oleh tentara dimulai sejak era Moeldoko menjadi Panglima TNI –yang kala itu disebut ‘pendekatan kesejahteraan’—, maka tak ada yang berbeda sejak saat itu hingga kini.

“Harus jelas rumusan humanis tapi tegas,” ucap Adriana kepada reporter Tirto, Rabu, 21 Desember 2022.

Dalam tubuh TPNPB pun terbagi dalam sejumlah kelompok: ada kelompok pragmatis, ideologis, dan yang hanya ingin bertindak kriminal. Perbedaan kelompok ini mesti dipahami oleh TNI dan Polri; pihak yang paling sulit dihadapi yaitu kelompok ideologis alias yang bertentangan dengan kemauan pemerintah Indonesia.

Lantas humanis model apa guna menghadapi TPNPB ideologis ini, jika berunding saja mereka emoh?

Pada 11 November lalu, Komnas HAM, United Liberation Movement for Papua, Majelis Rakyat Papua, dan Dewan Gereja Papua, menandatangani kesepakatan Jeda Kemanusiaan Bersama di Jenewa, Swiss, tapi aparat keamanan Indonesia dan TPNPB sebagai pihak-pihak yang berseteru tidak dilibatkan. Mereka angkat senjata, mereka menyebabkan ketakutan warga Papua karena sebagai korban konflik, tapi para jagoan-jagoan ini tidak ikut serta dalam penandatanganan.

“Jeda kemanusiaan baru bisa dilakukan bila pihak-pihak yang berkonflik di lapangan diberitahu, terutama diajak. Kelompok-kelompok yang punya senjata ini yang harus diajak berhenti,” tutur Adriana.

Bila jeda kemanusiaan dilaksanakan, maka pemerintah bisa mengurus korban konflik. Aparat keamanan Indonesia dan TPNPB yang berkonflik, mereka tak mungkin melakukan pendekatan kemanusiaan, maka perlu ada pihak khusus yang dipercaya oleh mereka.

Adriana berpendapat pemerintah perlu menghadapi TPNPB ideologis untuk bicara, bukan baku muntah pelor. “Ini saya sebut toxic conflict. Karena semua pihak jadi korban, siklus kekerasan tak berhenti, konflik berlangsung meluas. Lalu pendekatan humanis seperti apa yang dimaksud?”.

Baca juga artikel terkait KEWENANGAN PANGLIMA TNI atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Politik
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz