tirto.id - Senyawa yang sering dikaitkan dengan bahaya rokok, nikotin, sebenarnya memiliki sejarah yang lebih kompleks daripada sekadar zat adiktif dalam tanaman tembakau. Komponen alami ini adalah zat omnipresent, ada di mana-mana, dan dikonsumsi oleh jutaan orang di seluruh dunia, tidak hanya perokok.
Nikotin adalah komponen alami, senyawa alkaloid, yang umumnya ditemukan dalam keluarga tanaman Solanaceae atau lebih dikenal dengan nama “nightshade”. Selain tembakau (Nicotiana tabacum), tanaman dalam keluarga ini termasuk tomat, kentang, hingga terong.
Sebagai contoh, tomat rata-rata memiliki kandungan nikotin sekitar 332 nanogram (ng), kentang di kisaran 675 ng, dan terong sekitar 525 ng. Sebuah studi menyebutkan bahwa secara kumulatif, rata-rata manusia mengonsumsi sekitar 1.400 ng nikotin per hari dari makanan saja.
Tembakau merupakan salah satu tanaman non-pangan yang diproduksi besar-besaran di seluruh dunia. Ini tentu saja tidak terlepas dari fungsinya sebagai bahan baku rokok. Tanaman satu ini awalnya dikultivasi di kawasan Amerika sekarang, sekitar 6.000 sebelum masehi. Penggunaannya bervariasi, mulai dari upacara ritual hingga tujuan medis.
Pada abad ke-16, tembakau diperkenalkan ke Eropa dan Asia, dan dengan cepat menyebar karena kandungan nikotin di dalamnya diketahui dapat meningkatkan fokus dan memberikan efek relaksasi.
Miskonsepsi atas Nikotin
Selama bertahun-tahun, nikotin dan tembakau dipandang sebagai simbol status dan digunakan dalam pengobatan tradisional untuk meredakan berbagai jenis penyakit. Para ilmuwan kemudian menemukan bahwa nikotin bekerja sebagai stimulan sistem saraf, yang memengaruhi produksi dopamin di otak, sehingga menciptakan perasaan kesenangan dan ketenangan.
Namun, meskipun manfaat nikotin pada awalnya dianggap positif, penggunaan tembakau sebagai bahan baku rokok mulai dianggap menjadi penyebab beberapa penyakit kronis. Pasalnya, pada akhir abad ke-19 dan sepanjang abad ke-20, risiko kesehatan dari rokok yang dibakar, seperti kanker, paru-paru dan penyakit jantung muncul.
Terlebih, masalah kesehatan ini umumnya dialami oleh kalangan pengguna tembakau. Alhasil, secara tidak langsung masyarakat luas bahkan profesional medis menarik kesimpulan bahwa nikotin adalah pemicu utama ketiga penyakit berbahaya tersebut.
Sebuah survei pada 2019 mencatat, mayoritas (>50 persen) orang dewasa di Afrika Selatan, India, AS, dan Norwegia meyakini bahwa nikotin adalah penyebab kanker. Bahkan, tercatat hampir 80 persen dokter di seluruh dunia juga mengamini nikotin sebagai penyebab kanker, terutama kanker paru-paru.
Akan tetapi, studi terbaru menemukan bahwa masalah kesehatan tersebut bukan disebabkan oleh nikotin, melainkan melalui pembakaran tembakau. Asap dari proses pembakaran tembakau mengandung lebih dari 100 bahan kimia berbahaya, seperti tar dan karbon monoksida.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) juga memberikan pernyataan serupa yang menyebut bahwa nikotin bukanlah aktor utama dibalik penyakit kanker, paru-paru, dan jantung.
“Nikotin, tidak secara langsung bertanggung jawab atas kanker, penyakit paru-paru, dan penyakit jantung akibat tembakau yang membunuh ratusan ribu orang Amerika setiap tahunnya,” jelas keterangan resmi FDA.
Nikotin adalah zat adiktif dan tentu tidak sepenuhnya aman. Penggunaan nikotin yang berkelanjutan dapat menyebabkan perubahan pada sistem otak yang mengarah ke withdrawal symptoms (gejala penarikan), seperti perasaan resah, kesulitan konsentrasi, dan rasa tidak nyaman.
Meskipun demikian, senyawa ini tidak bersifat karsinogenik yang artinya tidak memicu pertumbuhan sel kanker. Senyawa yang berbahaya umumnya muncul saat proses pembakaran tembakau.
Asap dari proses pembakaran tembakau tidak hanya memiliki sifat karsinogenik tetapi juga pemicu penyakit paru-paru kronis. Bahan kimia dan zat padat dalam asap tembakau diketahui merusak lapisan dalam paru-paru dan mengurangi elastisitasnya.
Lalu, terkait penyakit jantung, meskipun nikotin memengaruhi sistem kardiovaskular dengan meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah, efek ini tidak sama berbahayanya dengan racun dalam asap rokok.
Produk tembakau yang dibakar melepas zat seperti karbon monoksida. Apabila terhirup, maka dapat mengurangi kemampuan darah dalam membawa oksigen, yang tentu saja memperburuk sistem kardiovaskular dalam tubuh.
Bahaya asap rokok inilah yang kemudian mendorong berbagai perusahaan dalam beberapa tahun terakhir berlomba membuat produk nikotin yang tidak dibakar. Salah satunya adalah Philip Morris International (PMI) yang membuat produk smoke-free.
Menekan Jumlah Perokok
PMI sadar bahwa nikotin adalah bahan alami yang punya banyak manfaat. Karenanya mereka serius melakukan riset supaya bahan ini tetap bisa dikonsumsi, sambil menyingkirkan segala kandungan berbahaya yang berasal dari tembakau bakar. Riset itu sudah dilakukan PMI sejak 2014, dengan menggelontorkan dana yang tidak sedikit.
“Saat ini ini kita lebih beruntung sebab hidup pada masa ketika inovasi bisa datang lebih cepat dan dapat mempercepat penurunan angka kebiasaan merokok serta membantu mereka yang tidak bisa berhenti atau yang tidak berhenti merokok, untuk beralih ke produk yang lebih rendah risiko,” kata CEO PMI, Jacek Olczak di di acara Technovation: Smoke-Free by PMI di Abu Dhabi, Rabu (11/12).
Jacek menerangkan, jika saat ini lebih dari 50% volume produk tembakau dan nikotin yang masuk ke Jepang merupakan formula bebas asap rokok, itu merupakan buah dari upaya mengenalkan produk tembakau alternatif yang dilakukan PMI satu dasawarsa belakangan. Produk itu kini dikenal dengan IQOS, yang memungkinkan tembakau bisa dinikmati tanpa perlu dibakar.
“Kami memulainya di Jepang 10 tahun lalu, di Nagoya. Jumlah pengguna di Jepang yang sudah mulai berinteraksi dengan produk ini, menurut saya, sekitar 70 persen. Jadi, dalam waktu 10 tahun, Jepang hampir, tetapi belum, mencapai puncaknya menjadi negara bebas rokok,” sambung Jacek.
Jacek lantas memberi contoh produk lain di Swedia. Tembakau dikemas dalam kantong khusus yang tidak mudah terbakar, dan selama 20-30 tahun terakhir, produk itu membantu menurunkan tingkat merokok hingga 5%.
“Jadi sekarang, kita punya ilmu pengetahuan, bukti, untuk kasus 10 tahun terakhir. Jika Anda melihat di Swedia, buktinya selama 30 tahun terakhir, bahwa produk, format produk yang berbeda, dapat mengatasi masalah dengan sangat cepat,” sambung Jacek.
Vice President International Communications and Engagement PMI, Tommaso Di Giovanni, menekankan bahwa sebagian besar zat berbahaya yang timbul dari tembakau disebabkan oleh proses pembakaran, bukan lantaran kandungan nikotin di dalamnya.
“Pembakaranlah yang menghasilkan sebagian besar senyawa kuat yang ditemukan dalam asap,” kata Tommaso di Abu Dhabi, Rabu (11/12).
Tommaso menerangkan, pada rentang 1997, Focal Point PBB untuk Tembakau dan Kesehatan digelar dan meminta (para produsen–red) untuk mengurangi toksisitas produk tembakau. Selang 18 tahun kemudian, WHO membuat pernyataan serupa.
“Jadi, isu ini sudah ada sejak lama. Lalu, mengapa hal tersebut belum diatasi juga? Hanya karena kita tidak mempunyai teknologi, ilmu pengetahuan, inovasi, dan mungkin masyarakat juga belum siap. Masyarakat belum siap menghadapi itu saat itu. Tapi hari ini kita bisa,” sambung Tommaso.
Sejak 2014, PMI terus berupaya membuat produk tembakau dengan kadar bahan kimia berbahaya yang jauh berkurang, yang kerap ditemukan di produk rokok. PMI mengklaim, produk bebas asap (smoke-free) dan rokok tidaklah sama. Aerosol dari produk bebas asap rokok pada dasarnya berbeda dengan asap rokok dan meskipun tidak bebas risiko, potensi bahayanya jauh lebih kecil dibandingkan dengan asap rokok.
Sekarang, PMI punya tiga jenis produk nikotin smoke-free berdasarkan cara kerja dan bahan bakunya:
- Heated tobacco: cara kerjanya dengan memanaskan tembakau alih-alih membakarnya. Diklaim 95% lebih rendah kandungan kimia berbahaya dibanding rokok. Contoh produknya adalah IQOS.
- e-Vapor: bekerja dengan memanaskan cairan yang dikenal sebagai vapor, menciptakan kata kerja yang disebut sebagai vaping. Produk ini 99% lebih rendah kandungan kimia berbahayanya ketimbang rokok. Brand vape PMI ini diberi nama Veev.
- Oral smokeless: Ada dua jenis produk ini, yakni kantong nikotin (nicotine pouches) dan snus. Jika kantong nikotin dibuat dari nikotin dan perisa serta tanpa tembakau sama sekali, snus mengandung tembakau. Kedua produk ini sama-sama dibungkus kantong yang terbuat dari selulosa, digunakan dengan cara ditempel di dinding mulut. Produknya bernama ZYN.
Editor: Zulkifli Songyanan