tirto.id - Sebagai makhluk yang berpikir, manusia punya hasrat dan kemampuan untuk senantiasa mencari sekaligus memproduksi berbagai benda yang ia anggap lebih baik dari versi sebelumnya. Dalam upaya demikian, semacam pencarian akan kesempurnaan, manusia tak ubahnya seorang Sisifus. Makhluk mitologi Yunani itu dikutuk untuk mendorong batu ke atas gunung, menggelindingkannya lagi dan lagi, hari demi hari.
Meski filsuf Prancis Albert Camus menyebut kerutinan Sisifus itu sebagai kutukan, di sisi lain, kerutinan semacam itu pulalah yang membuat kehidupan berkembang. Manusia menciptakan berbagai benda, “mendorongnya ke atas puncak peradaban”, lalu mencampakkannya pada masa-masa yang kemudian, lantaran benda lain yang dianggap lebih maju dan relevan sudah muncul menunggu giliran.
Ketidakpuasan akan tandu dan kereta kuda membuat manusia menciptakan mobil dan motor, kereta, pesawat. Kebutuhan akan komunikasi yang cepat dan efektif membuat manusia menemukan morse, telegraf, telepon, ponsel, wifi, telepon pintar. Kita mengenal perkembangan itu semua dengan sebutan inovasi.
Contoh lain inovasi adalah panel surya. Alat itu mampu mengubah energi panas matahari menjadi energi listrik dengan menggunakan sel surya yang terbuat dari bahan semikonduktor, misalnya silikon. Panel surya lahir dari kebutuhan manusia akan energi bersih dan terbarukan, menjadi salah satu jawaban atas persoalan yang ditimbulkan sumber energi berbahan fosil.
Tentu panel surya hadir bukan tanpa kekurangan. Harganya yang tinggi, mulai dari Rp32,9 juta untuk kapasitas 1kWp, membuat produk ini sukar dijangkau setiap orang. Dengan demikian, tantangan ke depan adalah bagaimana menyediakan panel surya agar lebih bisa dinikmati setiap kalangan.
Di industri tembakau, inovasi ditunjukkan oleh Philip Morris International (PMI) dengan meluncurkan produk tembakau yang dipanaskan, bukan dibakar, pada tahun 2014 di Nagoya dan Milan.
CEO PMI Jacek Olczak menerangkan, ketika produk inovatif tembakau tersebut diluncurkan, PMI percaya bahwa sains berada di pihak mereka.
“Kami telah menginvestasikan banyak uang, banyak upaya ilmu pengetahuan dilakukan di balik produk ini agar benar-benar yakin bahwa produk ini mempunyai potensi mengurangi (risiko) menyakiti (reducing the harm),” ungkap Jacek di gelaran Technovation: Smoke-Free by PMI di Abu Dhabi, Rabu (11/12).
Jacek menambahkan, PMI mempelajari setiap elemen aerosol dalam produk IQOS hanya untuk memastikan bahwa segala sesuatunya bekerja dengan tidak meningkatkan risiko yang melekat pada rokok, tetapi benar-benar menguranginya dengan cara menekan paparan zat beracun apa pun terhadap senyawa karsinogenik yang lazim ditemukan pada asap tembakau.
“Jadi, sains ada di pihak kami,” ungkap Jacek.
PMI meyakini IQOS sebagai produk tembakau inovatif karena bebas asap, berbeda dengan rokok konvensional maupun vape. PMI mengklaim, dengan kontribusi lebih dari 1.500 ilmuwan, insinyur, dan teknisi, IQOS mampu mengurangi kadar zat berbahaya dan berpotensi berbahaya hingga 90-95 persen dibandingkan rokok biasa.
Selain itu, IQOS juga meninggalkan sedikit bau dibandingkan produk rokok yang dibakar. Dengan begitu, IQOS tidak tidak mengganggu orang di sekitar sebab tidak menghasilkan bau asap yang biasanya melekat di tangan, rambut, dan pakaian.
“Anggap saja inovasi merupakan hal yang biasa. Namun, yang membuat umat manusia berbeda dari spesies lainnya adalah inovasi. Salah satu alasan mengapa kita sangat berbeda dibandingkan spesies lain di bumi adalah karena sejak awal sejarah kita telah berinovasi,” ungkap Vice President International Communications and Engagement PMI, Tommaso Di Giovanni, di gelaran yang sama, Rabu (11/12).
Tomasso menyebut sabuk pengaman, pencetakan tiga dimensi (3D printing), daging alternatif atau daging nabati, makanan-ultra olahan, bir, hingga mobil listrik sebagai buah inovasi. Demikian pula IQOS. Kemunculan produk tembakau bebas asap ini juga diklaim PMI bertolak dari kesadaran untuk membuat produk inovatif yang menawarkan solusi.
Lantas, Bagaimana Inovasinya?
Kebiasaan mengisap tembakau telah berumur panjang. Di Indonesia, perkenalan masyarakat dengan tembakau paling tidak eksis sejak abad ke-17. Menurut sejarawan Belanda Bernard Hubertus Maria Vlekke, tembakau pertama kali dikenalkan ke Asia lewat orang-orang Spanyol yang singgah di Filipina pada abad ke-16. Seiring waktu, tanaman itu kemudian tiba di Nusantara dan mulai ditanam dalam jumlah massif pada awal tahun 1600-an.
“Tak butuh waktu lama sampai komoditas ini menjadi populer sehingga timbul upaya monopoli oleh Kompeni di tahun 1626. Di saat bersamaan, kebiasaan mengisap lintingan tembakau yang disulut ujungnya sudah menjadi fenomena kebudayaan di kalangan elite lokal. Merokok dianggap dapat menunjukan status sosial,” tulis Indira Ardanareswari dalam tulisannya di Tirto.id, “Sejarah Tembakau Rakyat yang Membuat Petani Bisa Berhaji”.
Ketika nikotin dituding menjadi biang keladi berbagai penyakit yang disebabkan produk tembakau, Tommaso Di Giovanni menyangkal. Menurutnya, penyebab berbagai penyakit yang muncul dari produk tembakau bukan lantaran kandungan nikotin pada produk tersebut, melainkan karena proses pembakaran produk tembakau.
“Pembakaranlah yang menghasilkan sebagian besar senyawa kuat yang ditemukan dalam asap,” ungkap Tommaso.
Keterangan Tommaso sejalan dengan penelitian yang dilakukan Pieper, E., Mallock, N., Henkler-Stephani, F., & Luch, A. (2018). Simpulan mereka, “beralih dari penggunaan rokok konvensional ke produk tembakau yang dipanaskan (bukan dibakar) akan secara signifikan mengurangi paparan perokok terhadap berbagai zat berbahaya yang terkandung di dalam rokok konvensional.”
Penelitian yang sama menyebutkan, produk tembakau yang dipanaskan menghasilkan emisi dengan kadar zat berbahaya yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan rokok konvensional.
Namun demikian, kandungan nikotin yang dihasilkan dalam emisi produk tembakau yang dipanaskan memiliki kadar yang tidak jauh berbeda dengan rokok konvensional. Hal ini menunjukkan adanya potensi adiksi dari produk tembakau yang dipanaskan.
PMI mengimbau orang-orang yang bukan perokok agar tidak coba-coba menjadi perokok. Sedangkan saran bagi mereka yang merokok adalah berhenti. Namun, jika mereka tidak pula berhenti–bagi kebanyakan orang, perkara ini tak semudah membalik telapak tangan–hal terbaik yang bisa dilakukan sekarang adalah berubah, beralih ke produk yang jauh lebih baik karena tidak terbakar.
Inovasi Produk Bebas Asap
Menurut PMI, keunggulan produk tembakau tanpa asap yang mereka luncurkan adalah tetap bisa menghantarkan manfaat nikotin dengan jauh mengurangi level bahan kimia berbahaya yang kerap ditemukan pada produk rokok konvensional. Sekarang, PMI punya tiga jenis produk nikotin smoke-free berdasarkan cara kerja dan bahan bakunya:
- Heated tobacco: cara kerjanya dengan memanaskan tembakau alih-alih membakarnya. Diklaim 95% lebih rendah kandungan kimia berbahaya dibanding rokok. Contoh produknya adalah IQOS.
- e-Vapor: bekerja dengan memanaskan cairan yang dikenal sebagai vapor, menciptakan kata kerja yang disebut sebagai vaping. Produk ini 99% lebih rendah kandungan kimia berbahayanya ketimbang rokok. Brand vape PMI ini diberi nama Veev.
- Oral smokeless: Ada dua jenis produk ini, yakni kantong nikotin (nicotine pouches) dan snus. Jika kantong nikotin dibuat dari nikotin dan perisa serta tanpa tembakau sama sekali, snus mengandung tembakau. Kedua produk ini sama-sama dibungkus kantong yang terbuat dari selulosa, digunakan dengan cara ditempel di dinding mulut. Produknya bernama ZYN.
“Kapan pun ada inovasi, pasti ada skeptisisme dan perdebatan. Itu hal baik. Tapi, keduanya tidak boleh menghambat adopsi inovasi,” ungkap Tomasso.
Editor: Zulkifli Songyanan