tirto.id - Tak ada makan siang gratis. Begitu pula dengan keterlibatan industri raksasa rokok dalam pendanaan berbagai penelitian rendah hingga bebas tar (residu tembakau) yang menopang bisnis dan citra rokok elektronik atau vape.
Periode 2018-2019 adalah masa keemasan industri vape di Indonesia. Seturut data Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), konsumennya naik dua kali lipat dari 800 ribu menjadi 1,8 juta dalam waktu setahun saja. Dalam keadaan krisis seperti sekarang, mereka berani mengklaim masih punya lebih dari 1 juta konsumen setia.
Maka tak mengherankan jika jenama besar industri tembakau berlomba masuk. Ceruk bisnis electronic nicotine delivery systems (ENDS) ini terlalu menjanjikan untuk diabaikan. Salah duanya Phillip Morris International (PMI) dan JUUL Labs. Pada 2019 lalu mereka mengutarakan rencana mendirikan pabrik cairan (likuid) dan pod kepada APVI. Nilai investasinya diperkirakan mencapai 50 juta dolar AS atau setara Rp708 miliar.
“Untuk JUUL sudah stop tahun lalu (2020) karena pusatnya mengurangi penjualan. Sementara PMI jalan terus,” jelas Ketua Umum APVI Aryo Andrianto kepada Tirto, Rabu (21/7/2021).
Perusahaan vape asal Cina RELX Technology juga sudah masuk sejak 2019. Dengan popularitas dan rekam jejak sebagai pemain besar ENDS dunia, terutama di kawasan Asia, mereka berambisi untuk memimpin penjualan vape di Indonesia.
British American Tobacco (BAT) tak mau kalah langkah. Korporasi raksasa ini melakukan survei pasar ENDS Indonesia pada 2019 lalu. “Tim mereka sudah datang ke saya dan kita masih terus berkontak sampai beberapa bulan lalu. Ancang-ancang melihat pasar yang sudah ada,” kata Aryo. Bentoel Group, perusahaan rokok terbesar keempat Indonesia, merupakan bagian dari BAT Group.
APVI bisa dibilang penjaga gerbang industri vape di Indonesia sebab setiap jenama yang hendak ekspansi ke negara ini selalu mendekati mereka. “Koordinasi,” sebut Aryo. “Kerja sama bagaimana caranya grab market di sini.”
Selain getol mengampanyekan produk dari segi kesehatan, selama ini APVI bersama Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) juga mengusahakan regulasi khusus vape. Menurut mereka, produk hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) harus punya regulasi terpisah dengan rokok konvensional, baik dari segi cukai, iklan, maupun ruang konsumsi. APVI pernah beberapa kali meminta simplifikasi cukai dari 57 persen menjadi 20 persen. Alasannya karena pertimbangan kesehatan, plus embel-embel usang soal penyerapan tenaga kerja.
“Harusnya pemerintah lihat ini produk less harmfull. Kami enggak bilang 100 persen nol risiko, tapi 95 persen lebih rendah resiko,” tutur Aryo.
Buat Satu, Tumbuh Seribu
Banyak pihak tampak terus berkampanye tentang kelebihan vape dibanding rokok biasa sejak komoditas ini mulai populer. Namun, kalau mau sedikit menyigi, kita bisa menemukan fakta bahwa organisasi-yayasan-koalisi provape di Indonesia diisi orang yang itu-itu saja. Dimotori oleh APVI dan YPKP, mereka kemudian beranak-pinak—memunculkan persepsi gerakan provape dimotori banyak orang.
Pada 2019 lalu, misalnya, APVI bersama YPKP, Asosiasi Vaper Indonesia (AVI), dan Asosiasi Vaporizer Bali (AVB) membentuk koalisi bernama Gerakan Bebas Tar dan Asap Rokok (GEBRAK!). Aryo Andrianto menjadi ketua koalisi. Ada pula Koalisi Indonesia Bebas Tar (KABAR) yang beranggotakan YPKP dan Perhimpunan Dokter Kedokteran Komunitas dan Kesehatan Masyarakat Indonesia (PDK3MI).
KABAR disebut didanai oleh Yayasan Gandeng Tangan, PT HM Sampoerna Tbk., dan APVI. Tapi di situs resminya KABAR hanya mencatat APVI dan Yayasan Gandeng Tangan sebagai donatur tetap. Tak ada informasi khusus terkait Yayasan Gandeng tangan, selain bahwa platform ini memberikan pinjaman finansial berbasis peer-to-peer lending.
Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) sebelumnya pernah diklaim sebagai anggota–bersama dengan Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI). Namun nama kedua organisasi tersebut dihapus dari situs KABAR.
“Pernah ketemu, sebentar, singkat, bicara soal pengurangan tar. Tapi itu pun sudah lama, tidak ada tindak lanjut atau laporan sama sekali,” Hananto Seno, Ketua Umum PDGI, memberi klarifikasi, Rabu (21/07/2021). Sikap PDGI sendiri tegas: Tidak menyarankan konsumsi rokok maupun vape.
Lalu, jika mereka memang satu-dua kelompok yang sejatinya sama tapi tampil di hadapan publik dengan wajah berbeda-beda, apa masalahnya mengampanyekan “vape lebih sehat” dan minta keistimewaan regulasi?
Si Pemegang Kunci
APVI, seperti tampak dalam pernyataan Aryo, dipepet oleh banyak perusahaan besar ENDS–yang notabene merupakan pemain lama industri rokok. Salah satunya PMI, yang pada Mei 2005 mengakuisisi mayoritas (92,5 persen) saham PT HM Sampoerna Tbk, satu dari sedikit korporasi rokok di Indonesia.
PMI memproduksi Marlboro. Sementara Sampoerna punya produk Sampoerna A, Sampoerna Kretek, Sampoerna U, dan Dji Sam Soe.
Dalam semesta relasi PMI-Sampoerna-APVI, YPKP tak luput ambil bagian. YPKP misalnya menjadi tuan rumah acara pengurangan bahaya rokok berskala internasional seperti Asia Harm Reduction Forum (AHRF) 2017-2018. Tentu patut dipertanyakan bagaimana mungkin organisasi profesi yang beranggotakan peneliti, dokter, atau praktisi kesehatan dapat menyelenggarakan acara berskala besar ini.
“Di balik ketiganya (APVI, YPKP, KABAR) ada Sampoerna,” kata seorang sumber yang menjadi pelaku di antara tiga organisasi.
Untuk menemukan dan memperjelas keterlibatan korporasi, kami mulai dengan menelisik kiprah para pembicara di AHRF. Dengan melihat daftar nama di situs resmi AHRF, kami menemukan beberapa yang juga bertalian dengan donor PMI di organisasi lain.
Salah satunya Emeritus Ok-Ryun Moon, Ketua Korea Harm Reduction Association (KHRA), asosiasi serupa YPKP di Korea Selatan. KHRA adalah tuan rumah AHRF 2019 di Seoul. Sebelumnya, pada 2017, YPKP menggarap AHRF di Jakarta dan AHRF 2018 di Manila–bersama Harm Reduction Alliance of the Philippines (HARAP).
Satu lagi sampel pembicara yakni Ron Christian G. Sison, asisten profesor di Departemen Teknologi Medis Universitas Santo Tomas, Filipina. Ia bertindak sebagai Ketua HARAP dan pembicara tetap di AHRF 2017-2019. Sison juga menghadiri Global Forum on Nicotine (GFN) di Polandia pada 2019.
Keduanya tercatat sebagai anggota The Coalition of Asia Pacific Tobacco Harm Reduction Advocates (CAPHRA), aliansi gabungan kelompok pro-pengurangan risiko tembakau alias pendukung ENDS/Heated tobacco products (HTPs) di kawasan Asia Pasifik. CAPHRA merupakan anggota International Network of Nicotine Consumer Organizations (INNCO), jaringan internasional yang mempromosikan ENDS/HTPs sekaligus menerima hibah dari Foundation for a Smoke-Free World (FSFW).
Sejak 2018, FSFW memodali studi dan pembangunan beberapa pusat penelitian untuk mendukung pengurangan dampak buruk tembakau secara global. Selain INNCO, hibah FSFW mengalir juga ke program beasiswa Tobacco Harm Reduction Scholarship Program. Beasiswa tersebut diluncurkan oleh Knowledge Action Change Limited (KAC), gerakan pengurangan bahaya rokok yang berbasis di London bersama GFN–forum yang pernah dihadiri para pembicara AHRF, termasuk Achmad Syawqie dari YPKP. Forum internasional ini membahas isu keberlangsungan nikotin alternatif.
PMI juga menyokong finansial FSFW, donatur di balik berkelindannya hibah-pendanaan-beasiswa riset atau operasional organisasi-organisasi tersebut. Publikasi tentang GFN bahkan tersedia di situs resmi PMI.
Fakta keterlibatan industri rokok raksasa dalam pasar ENDS/HTP menguatkan dugaan bahwa sejatinya kampanye ENDS/HTP sebagai “produk lebih sehat” hanyalah trik jualan semata. Industri rokok raksasa paham betul mereka harus terus berinovasi dan beradaptasi untuk menarik konsumen anyar.
Rokok bakar sebagai jualan utama mereka sudah terlalu usang dan digempur banyak penolakan. Dari sisi kesehatan, jelas produk ini berbahaya. Rokok konvensional juga sudah terhimpit regulasi pembatasan iklan, kenaikan cukai, serta ruang konsumsi.
Ketua Bidang Media Center Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibisono selaras menimpali. Baginya kehadiran produk-produk tembakau anyar hanyalah proses evolusi, dari semula kretek beralih mild lalu kiwari menjadi vape dan kawan sejenisnya.
“Industri ini pasti melakukan riset produk baru yang sesuai dengan pasar sekarang. Bahwa propaganda ‘lebih sehat’ itu cara agar produk bisa dikenal publik saja,” tandas Hananto yang meyakini produk ENDS/HTP sebagai komplementer alih-alih substitusi rokok bakar.
Kami telah menghubungi PT HM Sampoerna Tbk. selaku bagian dari PMI untuk mengetahui seluk beluk pendanaan riset dan operasional kelompok provape. Namun lewat dari sebulan permohonan wawancara belum juga direspons.
Sementara Aryo sebagai pucuk kongsi provape GEBRAK! mengamini ketika kami membeberkan fakta-fakta keterlibatan industri raksasa rokok dalam pasar ENDS/HTP. Namun menurutnya tak ada masalah dengan itu. Asalkan produk yang dibikin “baik”, konsumen tutup mata dan telinga soal aktor utama di balik industri besar ini.
“Memang super big tobacco semua yang main karena mereka sadar pergeseran tren. Tapi harusnya yang dilihat risikonya, bukan pemainnya. Seburuk apa pun [perusahaan rokok] kalau barangnya berguna untuk masyarakat [tidak masalah],” katanya.
Editor: Rio Apinino