tirto.id - “Ini pekerjaan yang sulit.”
Pernyataan itu keluar dari mulut gadis berusia 14 tahun bernama Tiyamike. Di umurnya yang masih belia, ia harus mendapati fakta bahwa dirinya tak bisa hidup layak seperti anak-anak sepantarannya. Tiyamike terpaksa berpanas-panasan di ladang, membajak tanah dengan cangkul yang berat lalu mengairinya berkali-kali, hingga memastikan tanaman yang ditancapkannya tumbuh subur.
Dunia Tiyamike tak mengenal buku, sekolah, senda gurau bersama kawan-kawannya sehabis pelajaran usai, maupun cita-cita untuk jadi perawat. Baginya, beban kerja yang begitu brutal—dan seharusnya tidak ia lakoni—adalah kenyataan yang setiap harinya berdiri di depan mata.
Tiyamike hanyalah salah satu dari sekian banyak anak di Malawi, Afrika Timur, yang terpaksa mengubur dalam-dalam cita-cita masa kecil demi bekerja di ladang tembakau. Ladang yang menghasilkan batang rokok yang setiap saat diproduksi dan dikonsumsi jutaan orang di dunia.
The Guardian dalam laporan khususnya yang disusun Sarah Boseley berjudul “The Children Working the Tobacco Fields: ‘I Wanted to Be A Nurse’” mengatakan sebanyak 57% populasi anak di bawah usia 14 tahun di dua wilayah penghasil tembakau terlibat sebagai pekerja.
Keterlibatan anak-anak di ladang tembakau disebabkan oleh banyak faktor: mulai dari kemiskinan akut, jerat utang kepada tuan tanah, hingga tuntutan keadaan. Maka, bersama keluarganya, anak-anak ini mau tidak mau mesti menanggung beban di luar kemampuannya. Sementara permintaan rokok dunia semakin tinggi dan keuntungan yang dihasilkan korporasi kian berlipat, nasib anak-anak justru berbalik 180 derajat; mereka tak sekolah serta bekerja tanpa bayaran alias gratis.
Di Malawi, setiap kilo tembakau bisa dibuat menjadi 1.200 batang rokok. Dari satu kilo tersebut, para petani yang menyewa ladang dari tuan tanah cuma memperoleh pendapat sekitar 200 kwacha (30 sen). Setelah disetorkan petani, tembakau itu lantas dijual kembali oleh tengkulak kepada korporasi besar. Tercatat, nama-nama yang dianggap ‘bermain’ dalam mata rantai ini antara lain Alliance One, Universal, Japan Tobacco International (JTI), British American Tobacco (BAT), sampai Philip Morris.
Saat dikonfirmasi The Guardian, masing-masing perusahaan menolak produk mereka dikaitkan dengan eksploitasi anak. Mereka sama-sama bersikukuh bahwa praktik yang dilakukan perusahaan “sesuai prosedur” serta benar-benar melindungi kepentingan anak.
“Kami menganggap masalah pekerja anak sangat serius dan setuju bahwa anak-anak tidak boleh dieksploitasi, terkena bahaya, atau bahkan tidak mendapatkan akses pendidikan,” kata seorang juru bicara BAT. “Kami tidak mempekerjakan anak-anak di seluruh wilayah operasi kami dan telah memperjelas kepada semua petani dan pemasok bahwa kami tidak mentolerir pemberian kontrak kepada pekerja anak, yang nantinya rentan dieksploitasi.”
Ketua Pansus Konvensi Pengendalian Tembakau WHO, Vera Da Costa e Silva, mengungkapkan setidaknya ada 1,3 juta anak yang bekerja di ladang tembakau pada 2011. Bukannya menurun, jumlah anak yang bekerja di ladang tembakau tiap tahunnya, menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO), “malah semakin meningkat.”
“Tidak ada tindakan efektif yang diambil guna menghentikan skenario macam ini,” ujarnya. “Apa yang terjadi adalah ladang tembakau memberikan keuntungannya kepada industri tetapi memberi penghasilan yang sangat rendah kepada petani tembakau itu sendiri.”
Tersebar di Seluruh Dunia
ILO menegaskan bahwa istilah “pekerja anak” acapkali didefinisikan sebagai pekerjaan yang merampas waktu, potensi, maupun martabat anak-anak serta dapat menimbulkan dampak berbahaya bagi perkembangan fisik dan mental.
Guna mengatasi masalah tersebut, ILO telah mengeluarkan instrumen hukum berbentuk konvensi yang nantinya bisa diratifikasi tiap negara menjadi regulasi. Konvensi yang dibikin ILO bertujuan untuk menghapus total segala bentuk pekerja anak.
Ada dua konvensi yang dikeluarkan: Konvensi 182 yang melarang anak-anak dilibatkan dalam pekerjaan yang berpotensi memperburuk kondisi mereka, serta Konvensi 138 yang mengatur perihal usia minimum anak boleh bekerja (18 tahun untuk pekerjaan berat dan 13-15 tahun untuk pekerjaan ringan).
Kendati sudah ada regulasinya, namun eksploitasi anak berlandaskan motif ekonomi masih dijumpai di hampir seluruh belahan dunia. Apa yang dialami anak-anak di Malawi rupanya hanyalah titik kecil dari noktah yang begitu besar. Pekerja anak tak sebatas muncul di Afrika, melainkan juga di Asia, Amerika, hingga Eropa.
Di Amerika Serikat, misalnya, anak-anak berusia 12 tahun masih banyak dijumpai melakukan pekerjaan kasar di ladang tembakau—memetik daun, membajak tanah, atau mengendarai traktor. Hal ini sungguh ironis, mengingat regulasi AS melarang pekerja anak di pabrik, ladang, serta kawasan pertambangan berdasarkan UU Standar Ketenagakerjaan 1938.
Dijumpainya pekerja anak di ladang tembakau itu disinyalir karena minimnya pengawasan pemerintah terhadap proses produksi dari hulu sampai hilir. Ditambah lagi, pemerintah terkesan tak serius menindak tegas orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dengan kehadiran pekerja anak di ladang tembakau, mereka berpotensi keracunan pestisida, nikotin, serta zat kimia lainnya yang membahayakan dan mengancam nyawa mereka.
Situasi yang sama terlihat di Eropa. Komisioner HAM Majelis Eropa menyebut hampir tiap negara di Eropa punya masalah dengan pekerja anak, mulai dari Siprus, Yunani, Portugal, Bulgaria, Moldova, Montenegro, Rumania, Serbia, Turki, Ukraina dan banyak lagi. Di Georgia, 29% anak-anak berumur 7-14 tahun terpaksa bekerja. Di Albania ada 19% anak di bawah umur yang harus membanting tulang. Lalu di Italia, angka pekerja anak berkisar 5,2%. Di Rusia, muncul perkiraan pekerja anak menyentuh satu juta.
Besarnya jumlah pekerja anak di Eropa dipicu oleh kondisi perekonomian yang kurang baik. Tatkala pengangguran melambung, banyak keluarga di negara-negara Eropa mengirim anak-anak mereka untuk bekerja—saking tidak ada solusi lain yang bisa ditempuh.
Anak-anak ini bekerja di pelbagai bidang. Dari pertanian, konstruksi, atau pabrik kecil. Mereka, sekali lagi, terancam keselamatannya, mendapatkan beban kerja yang berat, hingga rentan dilecehkan dan dieksploitasi. (Di Bulgaria, anak bisa bekerja selama 10 jam sehari; di Moldova, ada sekolah yang meneken kontrak kesepakatan yang mengharuskan siswa-siswinya turun ke ladang membantu panen.)
Asia pun setali tiga uang. Catatan ILO menerangkan bahwa pekerja anak di Asia (5-14 tahun) merupakan yang terbesar di dunia. Persentasenya mencapai 18,8% atau setara dengan 650 juta anak. Pekerja anak di Asia menghadapi permasalahan yang lebih kompleks: perdagangan manusia, eksploitasi dan komersialisasi seksual, dijadikan tumbal perang, hingga kurir narkoba.
Wilayah yang cukup signifikan menyumbang angka pekerja anak di Asia adalah Nepal. Data Nepal Child Labor Report mengatakan ada kurang lebih 1,6 juta pekerja anak di kawasan dekat Himalaya tersebut. Kebanyakan dari mereka masih berusia di bawah 14 tahun dan bekerja sebagai kuli, tukang listrik, mekanik mobil, pekerja pabrik, hingga buruh tani.
Walaupun pekerja anak dilarang dan pemerintah sudah berjanji untuk menghapuskannya pada 2020 mendatang, namun tidak sedikit pihak yang meragukan komitmen tersebut. Alasannya: sejauh ini, tidak ada upaya nyata yang diambil pemerintah guna merealisasikan hal tersebut.
Martijn Boersma dalam “Global Supply Chains Link Us All to Shame of Child and Forced Labour” yang terbit di The Conversation menjelaskan fenomena pekerja anak dapat disudahi asalkan, pertama, pemerintah terus aktif berkoordinasi bersama pihak-pihak terkait di lingkup lintas sektoral, regional, maupun internasional. Kedua, ada produk hukum yang tegas menentang eksploitasi pekerja dan minim celah. Serta ketiga, yakni mempromosikan, melindungi, dan memajukan hak-hak pekerja.
Pekerja Anak di Indonesia
Meski pemerintah Indonesia sudah menerbitkan regulasi yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, namun hal itu bukanlah jaminan bahwa anak-anak dapat terlindungi dari pekerjaan yang buruk.
Susianah Affandy, Komisioner KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) mengatakan kepada Tirto beberapa faktor yang menyebabkan munculnya pekerja anak di Indonesia adalah kondisi ekonomi yang kurang baik serta anggapan masyarakat bahwa “anak merupakan urusan privat” sehingga keluarga bersangkutan bebas melakukan apapun tanpa kecuali—termasuk melibatkan mereka dalam perburuhan.
Walhasil, jadilah anak-anak di bawah umur bekerja di bidang-bidang yang semestinya tidak mereka masuki. Human Rights Watch dalam “‘Panen dengan Darah Kami’: Bahaya Buruh Anak di Pertanian Tembakau di Indonesia,” mencatat bahwa ribuan anak di Indonesia bekerja dalam kondisi yang membahayakan kesehatan di berbagai lahan pertanian tembakau. Mereka, setiap hari, “terpapar nikotin, menangani bahan kimia beracun, menggunakan benda tajam, mengangkat beban berat, dan bekerja di panas yang ekstrem.”
Selain di ladang tembakau, pekerja anak juga di Indonesia bisa ditemukan di perkebunan sawit. Dalam “Lembar Fakta Perlindungan Buruh Sawit Indonesia 2018” dijelaskan beban kerja terlampau tinggi dan target yang kerap tak manusiawi membuat orangtua yang bekerja di perkebunan sawit turut mengajak anaknya (yang notabene di bawah umur) untuk bekerja. Hal itu dilakukan guna memenuhi target harian yang ditetapkan perusahaan.
Respons perusahaan kian memperkeruh situasi mengingat mereka tidak melarang orangtua mengajak anaknya bekerja. Perusahaan cenderung memperbolehkan karena mendapat tambahan pekerja yang bisa dibayar rendah atau bahkan tidak dibayar sama sekali.
Pada akhirnya, seperti diakui Susianah, memutus mata rantai perdagangan anak di Indonesia merupakan tantangan yang berat. Perlu langkah-langkah yang konsisten, riil, dan tepat sasaran agar anak tak lagi dikorbankan demi kepentingan ekonomi.
“Kita harus memotong di bagian hulu dengan cara edukasi maupun pemberdayaan keluarga. Selain itu, koordinasi lintas sektoral juga mesti ditingkatkan,” katanya. “Selama ini, salah satu yang menimbulkan masalah pekerja anak adalah karena kita acuh. Masyarakat acuh atas situasi yang ada. Ini tidak boleh terjadi. Semua punya peran untuk menghentikan ini semua.”
Editor: Windu Jusuf