Menuju konten utama

Anak-Anak Albino: Rentan Dirisak karena Berbeda

Berkulit putih, bermata terang, dan berambut pirang, anak-anak albino rentan ditertawakan dan dijahili teman sepermainannya.  

Anak-Anak Albino: Rentan Dirisak karena Berbeda
Ilustrasi Kenya Gelar Kontes Kecantikan Albino Pertama di Dunia. [foto/shutterstock]

tirto.id - Joanne Dion adalah seorang model berusia 21 tahun asal London Tenggara. Kepada Metro, ia bercerita bahwa karier modelingnya menanjak semenjak ia dipotret saat sedang berada di toko Forever 21 tahun 2016.

“Dia berkata, ‘Bolehkah saya memfoto kamu?’ dan aku menjawab ‘Oke, boleh’. Sejak itu orang-orang memperhatikanku,” katanya.

Joanne kemudian mulai meniti karier di dunia modeling. Ia pun berkesempatan bekerja sebagai model merek-merek yang sebelumnya ia kagumi.

Namun, dunia modeling tak hanya soal pekerjaan semata. Bagi Joanne, profesi model memberinya kesempatan untuk membicarakan hal serius, yakni tentang perundungan, albinisme, dan kepositifan diri.

Ia dirundung oleh teman-temannya sedari kecil karena terlahir dengan albinisme. Metro melaporkan Joanne memiliki kulit pucat, mata berwarna terang, dan rambut pirang meski ia adalah perempuan keturunan Afrika (black woman). Makanya, Joanne kerap dijuluki hantu, bedak tabur, vampir, Shrek, dan Casper.

“Aku ingat sekali ada seorang anak cowok yang lebih tua dariku berumur 9 atau 10 tahun, ia mendorong, menertawakan, dan menarik rambutku tanpa alasan. Seorang guru melihat perbuatannya, tapi tidak melakukan apa-apa,” katanya.

Joanne mengalami perundungan saat ia masuk PAUD dan sejak saat itu ia sering menerima perlakuan tak mengenakkan dari teman-temannya. Joanne kecil yang percaya diri dan kuat, lambat laun berubah menjadi depresi dan serba khawatir. Bahkan ia pernah berpikir untuk bunuh diri.

“Aku benar-benar tak tahu harus ke mana dan tidak mendapatkan pertolongan sama sekali sehingga tak punya kepercayaan diri dan tidak dikelilingi orang-orang terdekat itu menyakitkan,” terangnya.

Di Indonesia, Rosanah (20) juga mengalami perundungan lantaran terlahir dengan albinisme. Seperti yang diberitakan ABC News, ia dirundung oleh teman-teman sekelas gara-gara berkulit putih. Rosanah sampai harus keluar dari sekolah sebab tak betah menerima ejekan.

Karena tak punya ijazah, Rosanah tidak bisa mendapatkan pekerjaan sehingga dirinya banyak bekerja di rumah. Keinginan menikah dan mempunyai anak pun belum terpikirkan sebab ia takut buah hatinya mengalami hal serupa, yakni terlahir sebagai albino.

“Terkadang sangat sulit menjadi orang berkulit putih. Aku sering diejek di sekolah. Gara-gara hal itu, aku sering merasa sedih,” katanya.

Apa yang dialami Rosanah tak terjadi pada sepupunya, Dewi Rasmana. Perempuan berusia 14 tahun tersebut hanya mempunyai sedikit pengalaman diejek karena perbedaan kondisi fisik. Ia masih bersekolah walau daya penglihatannya menurun sebagaimana albino pada umumnya.

Rosanah dan Dewi Rasmana adalah penduduk Desa Ciburuy, Bogor, Jawa Barat. Menurut ABC News, Desa Ciburuy merupakan salah satu kampung dengan tingkat kelahiran albino tertinggi di Indonesia. Nana Suryana, ayah Dewi Rasmana, mengatakan moyangnya adalah “orang putih” dan keluarganya telah tinggal di Ciburuy berabad-abad.

“Kami sudah berada di sini selama 149 generasi. Keluarga saya terkenal karena memiliki gen [orang] putih,” katanya.

Nana Suryana lalu menikah dengan Siti Rohma yang ternyata juga mempunyai gen albinisme. Walhasil, anak-anak mereka, termasuk Dewi Rasmana adalah albino.

Saat ini, mereka yang terlahir dengan albinisme di Ciburuy dikenal dengan sebutan Walanda Sunda atau Belanda Sunda.

Infografik Perundungan anak albino

Albinisme dan Perundungan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, albinisme adalah kondisi genetis tidak sempurna yang menyebabkan organisme tidak dapat membentuk pigmen. Orang dengan albinisme disebut albino. Seorang albino mengalami kekurangan pigmen melanin pada kulit, rambut, dan mata. Mereka yang terlahir sebagai albino kemungkinan besar mewariskan hal tersebut pada anaknya.

National Geographic melaporkan kulit, rambut, dan warna mata manusia dipengaruhi oleh beberapa gen yang menentukan jumlah dan tipe pigmen melanin yang dimiliki seseorang. Warisan mutasi genetik, dalam hal ini, dapat mengganggu proses pembentukan pigmen sehingga melanin yang dihasilkan sedikit atau tidak ada sama sekali.

Manusia pada dasarnya memiliki dua jenis melanin, yakni eumelanin hitam kecoklatan dan pheomelanin kuning kemerahan. Perpaduan keduanya menentukan warna kulit seseorang. Melanin memiliki fungsi penting, yakni melindungi kulit manusia dari sinar matahari. Ia menyerap sinar ultraviolet yang dapat menimbulkan penyakit kanker dan lain-lain.

Menurut karya tulis Niken Satuti Nur Handayani, Feri Sukmawati, dan Rarastoeti Pratiwi, albinisme dibagi menjadi dua kelompok besar berdasarkan ciri fenotipe, yaitu Ocular Albinism (OA) dan Oculocutaneous Albinism (OCA). Ocular Albinism (OA) dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe, yakni OA1, OA2, dan OA3. Sementara itu, Oculocutaneous Albinism (OCA) dapat dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu OCAIA, OCAIB, OCA2, OCA3, dan OCA4.

Orang dengan Ocular Albinism hanya mengalami kekurangan pigmen pada bagian mata sedangkan rambut dan kulit memiliki pigmen normal. Di sisi lain, seseorang dengan Oculocutaneous Albinism mengalami kekurangan pigmen di bagian kulit, rambut, dan mata.

Perbedaan kondisi fisik ini menyebabkan anak-anak dengan albinisme mengalami perundungan oleh teman bahkan keluarga. Under the Same Sun (UTSS), organisasi nirlaba yang fokus pada masalah diskriminasi pada orang dengan albinisme menjelaskan anak-anak albino di seluruh dunia rentan terhadap perilaku perundungan. Persoalan tersebut diulas oleh UTSS dalam laporan "Protecting Children with Albinism from Bullying" (PDF) yang dibuat untuk Marta Santos Pais, perwakilan khusus Sekretaris Jenderal PBB bidang Kekerasan terhadap Anak.

Menurut UTSS, anak-anak dengan albinisme dihina, diejek, dilecehkan, dan diintimidasi sebab memiliki kulit, rambut, dan mata yang sangat pucat dan penglihatan yang “kurang awas” atau low vision. Mereka juga terisolasi oleh stigma, mitos, dan prasangka kultural. Di beberapa tempat, anak-anak albino diserang dan dibunuh.

Pada 2014, UTSS mengumpulkan 182 julukan untuk orang dengan albinisme. Beberapa contoh yang telah diterjemahkan ke bahasa Inggris di antaranya adalah hantu (ghost), sabun (soap), orang aneh (freak), Si Hantu Casper (Casper the Ghost), musuh matahari (enemy of the sun), babi (pig), dan monyet putih (white monkey).

UTSS menilai perundungan menciptakan lingkatan setan ketidakpercayaan pada diri sendiri, putus sekolah, marjinalisasi, dan masalah emosi pada anak-anak albino. Hal ini bisa memberikan efek negatif bagi kemampuan anak untuk menyadari potensi dirinya.

Namun, UTTS berkata bahwa masalah di atas bisa dicegah. Oleh karena itu, organisasi tersebut memberikan beberapa rekomendasi agar persoalan perundungan anak-anak albino dapat teratasi. Saran pertama adalah perlunya investasi pendidikan untuk anak-anak dengan albinisme yang rentan. Selanjutnya, UTTS berpendapat pentingnya peningkatan kesadaran publik soal albinisme.

Kapasitas guru, orang terdekat, dan komunitas juga perlu diperbaiki untuk merespon isu perundungan anak-anak albino. Saran berikutnya adalah pengadaan investigasi dan pengumpulan data kasus perundungan. Terakhir, kerja sama budaya dengan produser untuk menghilangkan gambaran negatif orang dengan albinisme di film, televisi, dan internet.

Perundungan yang menimpa anak albino tak ditampik oleh anggota komunitas Albino Indonesia. Desi, admin Albino Indonesia, mengatakan perundungan seperti ditertawakan atau dianggap remeh turut mereka rasakan. ”Bahkan tidak jarang kami masih disangkutpautkan dengan sesuatu yang berbau mitos. Padahal bukan karena itu [mitos], tapi memang ada penjelasan medis mengenai keadaan kami,” katanya ketika dihubungi Tirto.

Ketika Tirto bertanya soal perbedaan perilaku perundungan antara di Indonesia dan negara lain, misalnya di Barat, Desi tak memberikan komentar. “Kami tidak bisa menjawab bagaimana, apakah sama atau tidak. Karena kami belum pernah berkomunikasi dengan orang albino di luar negeri,” ujarnya.

Meski begitu, satu hal yang pasti: perundungan membuat anggota komunitas mengalami tekanan dan merasa rendah diri. Tapi, Desi dan teman-teman Albino Indonesia memilih untuk tak menyerah pada keadaan.

“Kami ingin mencoba membuktikan kalau kami juga mampu seperti mereka yang tidak albino. Kami berusaha mengesampingkan dan tidak terlalu memedulikan apalagi memasukkan ke hati pembicaraan miring tentang kami. Tidak sedikit dari kami yang sudah mendulang kesuksesan dengan usaha sendiri. Masalah kami hanya pada penglihatan yang rabun jauh atau low vision. Selebihnya kami normal," pungkas Desi.

Baca juga artikel terkait PERUNDUNGAN atau tulisan lainnya dari Nindias Nur Khalika

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Maulida Sri Handayani