tirto.id - Beberapa video yang memperlihatkan aksi perundungan atau bullying jadi obrolan warganet. Pelakunya mulai dari bocah SMP hingga mahasiswa. Widi, 26 tahun, sempat menonton tayangan itu dan langsung mengernyit. Ia adalah satu dari sekian korban yang pernah merasakan tak enaknya mengalami perundungan hingga kekerasan fisik.
“Aku dulu sering dipukul sama anak-anak di komplek. Dicegat pas pulang sekolah, sampai rumah aku dilempar batu. Itu membekas sampai sekarang, jadi bikin aku selalu skeptis ke orang,” kata Widi kepada Tirto.
Saat itu ia masih duduk di bangku sekolah dasar, pelakunya kebanyakan berumur 2-3 tahun lebih tua darinya. Perlakuan buruk tersebut harus ditelannya selama bertahun-tahun lantaran tak ada teguran serius dari para orang tua pelaku. Ia dan keluarga sempat melaporkan tindakan kekerasan tersebut kepada para orang tua pelaku. Hasilnya malah respons acuh bahkan seperti permisif bagi sang anak.
“Mereka menanggapi itu sambil tertawa, 'Namanya juga anak-anak, maklumi saja'."
Apa yang terjadi pada Widi barangkali dirasakan oleh anak-anak sekolah lainnya yang tak beruntung karena mengalami bullying hingga kekerasan fisik. Ini menggambarkan bahwa perilaku dari para pelaku perundungan tak terpisahkan dari penerapan pola asuh orang tua. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Mutiara Pertiwi dan Juneman pada 2012 dalam jurnal Kementerian Sosial menjelaskan korelasi keduanya. Penelitian ini dilakukan terhadap 189 siswa-siswi SMA di Jakarta.
Hasilnya, ada lima kesimpulan yang dapat ditarik. Pertama, pola asuh otoriter atau sewenang-wenang menunjukkan kecenderungan anak menjadi pelaku bullying sebagai kecenderungan perilaku tertinggi. Pada pola asuh ini, kecenderungan perilaku terendah yang terjadi pada anak adalah menjadi korban bullying.
Temuan kedua, menyasar pola asuh otoritatif yang memberikan kebebasan kepada anak untuk berkreasi dan eksploratif. Anak-anak yang tumbuh dengan pola asuh orang tua jenis ini, cenderung tidak terlibat dalam tindakan bullying, sebagai pelaku maupun korban. Sebab, dalam pola asuh yang otoritatif, kebutuhan anak terakomodasi dengan baik. Pola asuh ini juga menghargai dan menghormati perbedaan sehingga orang dapat berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Penelitian ini juga menemukan bahwa semakin otoritatif pola asuh yang diterapkan oleh orang tua, maka kecenderungan anak untuk menjadi pelaku bullying terbuka akan semakin rendah.
Temuan selanjutnya, adalah pada pola asuh permisif-mengabaikan yang menunjukkan kecenderungan anak tidak terlibat dalam tindakan pembulian sama sekali, baik sebagai pelaku maupun korban. Pola asuh permisif, biasanya tidak menerapkan batasan-batasan aturan yang jelas pada anak. Meski begitu, ada baiknya pola asuh ini tidak diterapkan pada anak.
Sebab, penerapan pola asuh ini membawa dampak tingkah laku lain anak yang tidak kalah mengkhawatirkan. Anak yang diasuh dengan pola asuh permisif memiliki masalah perilaku berupa internalizing symptoms/problems. Simtom internalisasi yang dimaksud adalah depresi, kecemasan, penarikan.
Temuan keempat adalah pada pola asuh permisif-memanjakan, yang juga turut menghasilkan kecenderungan remaja menjadi pelaku bullying. Pola asuh semacam ini memberikan kebebasan pada anak untuk melakukan tindakan agresi pada orang lain. Orang tua tanpa disadari membenarkan perilaku agresif dengan tidak menghukum anak mereka ketika melakukan tindakan agresif pada orang lain.
Temuan lain adalah bahwa pola asuh tak terbedakan (undifferentiated), menunjukkan kecenderungan remaja bukan sebagai pelaku maupun korban bullying. Namun, peneliti menggarisbawahi, mereka belum mengetahui jenis pola asuh tak terbedakan yang menghasilkan prediksi kecenderungan tersebut.
Baca juga: Mencegah Anak-anak Melakukan Bulling Berbasis Sara
Peran dari Orang Tua
Tindakan bullying biasa dilakukan secara berulang oleh pihak yang kuat, menyasar fisik maupun psikis pihak yang lemah. Prevalensi intimidasi yang dilakukan oleh dan anak-anak memang cukup tinggi. Dalam beberapa penelitian, sekitar setengah dari anak-anak adalah pelaku, dan setengahnya lagi adalah korban.
Umumnya para pelaku memiliki prilaku yang agresif, tangguh, kuat, percaya diri, dan impulsif. Sementara korban merupakan individu yang tidak populer, kesepian, ditolak, cemas, depresi, enggan membalas, dan kurang percaya diri. Bullying terjadi terutama di tempat dan waktu ketika pengawasan orang dewasa minim.
Perilaku bullying sangat sulit untuk diputus mata rantainya. Sebab, sejatinya perilaku ini merupakan manifestasi pola asuh orang tua yang kemungkinan akan diteruskan secara turun temurun. Hal ini terlihat pada hasil penelitian sebelumnya oleh David P. Farrington dalam jurnal University of Chicago.
Ia menunjukkan bahwa pola asuh orang tua yang otoriter punya kemungkinan terbesar membuat kecenderungan perilaku anak menjadi pelaku bullying. Dalam penelitian, Farrington menemukan bahwa remaja yang menjadi pelaku bullying tidak hanya cenderung tumbuh menjadi orang tua yang melakukan penganiayaan. Selain itu juga memiliki anak yang memiliki kecenderungan untuk menjadi pelaku bullying.
Sejatinya, mata rantai ini bisa diputus dari keluarga masing-masing khususnya para orang tua. Menerapkan pola asuh yang tepat untuk memperkecil kemungkinan anak Anda menjadi pelaku bullying. Memberikan hukuman yang wajar kepada anak yang terlanjur melakukan bullying patut dipertimbangkan.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Suhendra