tirto.id - Sebuah Video yang menampilkan seorang anak berkebutuhan khusus (ABK) atau difabel menjadi bulan-bulanan para rekannya sempat viral di media sosial. Dalam tayangan itu, tas korban ditarik oleh salah seorang temannya saat sedang berjalan. Teman yang lain sibuk menonton, menertawai, dan merekamnya. Korban sempat menghempaskan tangan untuk melepaskan tarikan. Tak cukup sampai di situ, ia melempar tong sampah yang semakin membuat gelak tawa, sorak-sorai.
Baca juga : Menghentikan Diskriminasi Penyandang Disabilitas
Kejadian perundungan yang tak patut itu terjadi di Univestitas Gunadarma, Depok, Jawa Barat. Perundingan atau yang lebih dikenal dengan bullying memiliki dampak lebih buruk ketimbang anak-anak normal lainnya. Beberapa di antaranya merasa depresi, kesepian, cemas, memiliki harga diri yang rendah, hingga berupaya bunuh diri. Efek lainnya bisa membikin sakit kepala, sakit perut, kelelahan, pola konsumsi buruk. Hingga menjadi tak nyaman bersekolah dan memiliki nilai akademis buruk. Bullying terhadap difabel terjadi di banyak negara termasuk negara-negara maju.
Dibandingkan dengan anak-anak normal, peluang difabel lebih besar menjadi korban perundungan. Dalam laporan The National Autistic Society, di Inggris sebanyak 40 persen anak autis dan 60 persen anak-anak dengan sindrom asperger melaporkan telah menjadi korban intimidasi. Ini diperkuat dengan survei The Anti-bullying Charity, Ditch the Label (2015), kemungkinan intimidasi kepada difabel didapati sebanyak 40 persen. Jumlah ini bertambah besar untuk anak dengan cacat fisik sebanyak 58 persen, anak dengan ketunaan belajar 62 persen.
Di Amerika Serikat, siswa difabel memiliki kemungkinan menjadi target bullying sebanyak dua hingga tiga kali lebih sering dibandingkan dengan teman sebayanya. Penelitian Ditch the Label, 2016 lebih lanjut dilakukan pada 9.000 pemuda berusia 12-20 tahun di seluruh Inggris. Hasilnya menunjukkan 10 persen responden menjadi korban intimidasi karena kekurangan pada tubuh yang dialaminya.
Bullying yang terjadi pada difabel harus dihentikan apalagi terjadi di sebuah lembaga pendidikan. Kasus di Kampus Gunadarma menunjukkan difabel belum terbebas dari ancaman bullying. Padahal mereka pun punya hak yang sama untuk mendapatkan akses pendidikan umum.
Baca Juga : Bullying dan Penindasan di Media Sosial
Hak Pendidikan Bagi Penyandang Disabilitas
Tindakan bullying terhadap difabel di lingkungan pendidikan harusnya tak perlu terjadi, apabila lembaga pendidikan benar-benar menerapkan perlindungan bagi siswa penyandang disabilitas. Kewajiban untuk memenuhi pendidikan pada sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dalam undang-undang tersebut juga dijelaskan, pemahaman toleransi kepada siswa penyandang disabilitas kepada peserta didik lainnya merupakan kewajiban dari pemerintah daerah dan satuan pendidikan yang bersangkutan.
Pada Pasal 10 undang-undang ini dijelaskan hak pendidikan untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak mendapatkan pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan secara inklusif dan khusus.
Baca juga : Mencegah Anak-anak Melakukan Bulling Berbasis Sara
Pendidikan secara inklusif artinya, para penyandang disabilitas berhak mengikuti proses pendidikan bersama anak-anak pada umumnya. Dalam Pasal 40 ayat (3), Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengikutsertakan anak penyandang disabilitas dalam program wajib belajar 12 tahun.
Agar penyandang disabilitas dapat mengikuti segala kegiatan pendidikan inklusif dengan kondusif. Maka pada Pasal 42 dipaparkan kewajiban Pemerintah Daerah dan satuan pendidikan untuk memfasilitasi pembentukan Unit Layanan Disabilitas. Tujuannya, guna mendukung penyelenggaraan pendidikan inklusif tingkat dasar, menengah, dan perguruan tinggi.
Baca juga : UU Baru Jamin Perlakuan Hukum Penyandang Disabilitas
Unit Layanan Disabilitas sebagaimana dimaksud berfungsi meningkatkan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan dalam menangani peserta didik Penyandang Disabilitas. Lalu mengoordinasikan setiap unit kerja yang ada di satuan pendidikan dalam Pemenuhan kebutuhan khusus peserta didik Penyandang Disabilitas.
Unit ini juga bertanggung jawab merujuk peserta didik yang terindikasi disabilitas kepada dokter, psikolog, atau psikiater. Dan memberikan sosialisasi pemahaman disabilitas dan sistem pendidikan inklusif kepada pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik. UU ini juga sudah mengatur soal sanksi.
Sanksi pada penyelenggara pendidikan yang tidak membentuk Unit Layanan Disabilitas terdapat pada Ayat (7) Pasal 42. Yakni sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. penghentian kegiatan pendidikan; c. pembekuan izin penyelenggaraan pendidikan; dan d. pencabutan izin penyelenggaraan pendidikan.
Baca juga : Denda untuk yang Abai pada Penyandang Disabilitas
Ketua Bidang Pemenuhan Hak Anak LPA Indonesia, Reza Indragiri Amriel menyatakan tindak perundungan di sekolah tak bisa dikatakan sebagai hal sepele. Sehingga selain pertanggungjawaban dibebankan pada individu pelaku perundungan, lembaga pendidik juga turut andil bertanggung jawab.
“Kendati kita dukung sepenuhnya sistem pendidikan inklusi, namun sebetulnya memang tak mudah bagi sekolah/kampus ketika memutuskan menerima siswa dengan kondisi disabilitas,” kata Reza kepada Tirto.
Kejadian di Kampus Gunadarma dapat menjadi momentum pematangan bagi penyelenggara pendidikan untuk menerima siswa dengan disabilitas. Juga manifestasi kepedulian atau perlindungan khusus bagi anak-anak sebagaimana diamanatkan Undang-undang Perlindungan Anak. Harapannya kasus di Kampus Gunadarma tak lagi terulang di lembaga pendidikan lain atau tempat lainnya.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Suhendra