Menuju konten utama

Denda Rp200 Juta untuk yang Abai pada Penyandang Disabilitas

Gedung-gedung pencakar langit berdiri megah di Jakarta. Di balik kemegahannya, gedung-gedung itu banyak yang menyimpan diskriminasi. Tidak ada fasilitas untuk penyandang disabilitas. Salah satunya, gedung tempat para wakil rakyat berkantor.

Denda Rp200 Juta untuk yang Abai pada Penyandang Disabilitas
Sejumlah penyandang disabilitas yang merupakan anggota Pokja RUU Disabilitas dibantu pamdal untuk memasuki ruang duduk Sidang Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10). Mereka menyayangkan akses di Gedung DPR yang kurang ramah untuk para penyandang disabilitas seperti tidak adanya jalur khusus maupun tempat khusus untuk pengguna kursi roda. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/foc/15.

tirto.id - Kota Jakarta memiliki 817 unit gedung tinggi. Sebanyak 450 unit memiliki Sertifikat Laik Fungsi (SLF). Kini, para pemilik gedung bisa didenda hongga Rp200 juta jika tak menyiapkan akses bagi para penyandang disabilitas.

Tengoklah Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Senayan. Gedung milik rakyat itu rupanya tak bersahabat dengan penyandang disabilitas. Tidak ada tangga khusus bagi mereka penyandang disabilitas untuk merasakan kenyamanan gedung yang dibangun dan dirawat menggunakan duit rakyat.

Sejatinya, diskriminasi paling kentara terlihat ketika digelar Rapat Panitia Kerja (panja) Rancangan Undang Undang Penyandang Disabilitas pada tahun lalu. Kala itu, seorang penyandang disabilitas tak boleh menaiki lift Gedung Nusantara II DPR-RI. Padahal, penyandang disabilitas itu merupakan tamu undangan yang datang untuk mengikuti rapat yang digelar Komisi VIII. Alasannya agak janggal, penyandang disabilitas ini tak boleh memanfaatkan lift karena pimpinan DPR memanfaatkan lift yang sama.

Larangan datang dari petugas Pengamanan Dalam (Pamdal) Gedung DPR RI. Setelah menunggu beberapa menit, penyandang disabilitas berserta rombongan yang mendampingi, akhirnya diperbolehkan menggunakan lift.

Gedung wakil rakyat itu memang tidak ramah untuk penyandang disabilitas. Hampir semua gedung di area kompleks perkantoran wakil rakyat itu tak menyediakan fasilitas bagi penyandang disabilitas.

Persoalan selanjutnya, ternyata tak hanya Kompleks Gedung DPR RI. Gedung-gedung di Jakarta juga hampir semua sama. Fasilitas bagi para penyandang disabilitas masih masih minim. “Belum memadai,” kata Ketua Forum Penyandang Cacat Tubuh Indonesia, Mahmud Fasa, saat berbincang dengan tirto.id, pada Senin (5/9/2016).

Padahal menurutnya, jika merujuk pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 30 Tahun 2006, setiap gedung seharusnya memberikan akses kepada penyandang disabilitas. “Kami biasanya menggunakan kendaraan roda tiga, tapi tidak bisa parkir di depan pintu,” ujar Mahmud.

Bisa Dicabut Sertifikatnya

Penyataan Mahmud Fasa tentang gedung-gedung di Jakarta yang tak bersahabat bagi para penyandang disabilitas cukup mendasar. Data Dinas Penataan Kota Provinsi DKI Jakarta pada 2015 menunjukkan, dari 817 unit bangunan tinggi di Jakarta, hanya 450 unit yang memiliki Sertifikat Laik Fungsi (SLF). Sedangkan sebanyak 367 unit bangunan tinggi, tak memiliki sertifikat tersebut.

Merujuk pada pembangunan gedung yang proporsional, harusnya setiap bangunan berupa gedung mengikuti UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang “Penyandang Disabilitas”. Pada pasal 98 ayat 3 disebutkan, pembangunan gedung harus menyediakan fasilitas yang mudah diakses untuk penyandang disabilitas. Jika pengelola atau pemilik bangunan gedung tidak menyediakan fasilitas yang mudah diakses penyandang disabilitas, SLF bisa dicabut atau dibekukan.

Namun kenyataannya, menurut Mahmud, keberadaan gedung tinggi di Jakarta minim fasilitas untuk penyandang disabilitas. “Kalau gedungnya tidak ada akses disabilitas, maka gedung tersebut harus menyesuaikan lagi dan ini butuh biaya tambahan,” kata Mahmud.

Di dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2006, hak bagi penyandang disabilitas mengenai gedung tertuang dalam dua pasal, yakni pasal 97 dan 98. Pada pasal 97, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin infrastruktur yang mudah diakses oleh penyandang disabilitas. Infrastruktur itu berupa bangunan gedung, jalan dan permukiman pertamanan dan pemakaman.

Pada pasal selanjutnya, yaitu pasal 98 dijelaskan, jika bangunan yang mudah diakses oleh penyandang disabilitas harus dilengkapi dengan fasilitas dan aksesibilitas dengan mempertimbangkan kebutuhan, fungsi, luas, dan ketinggian bangunan gedung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Soal sedikitnya gedung dan fasilitas publik di Jakarta yang dinilai minim bagi para penyandang disabilitas, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebenarnya sudah memiliki Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 tentang “Perlindungan bagi Kaum Disabilitas”. Sayangnya, perda tersebut masih dinilai belum dijalankan dengan baik.

Padahal menurut Mahmud, pada era Gubernur Fauzi Bowo, para penyandang disabilitas selalu dilibatkan dalam pemantauan pembangunan gedung. Termasuk juga pembangunan halte, puskesmas, mal dan hotel. Namun kini, keterlibatan penyandang disabilitas dalam pembangunan di Jakarta sudah tak ada lagi. Jadi tak mengagetkan jika gedung hingga fasilitas umum tak bersahabat bagi penyandang disabilitas.

“Tetapi setelah ganti pemerintahan, berganti lagi kebijakan. Padahal kebijakan Fauzi Bowo sangat bagus,” tutur Mahmud.

Wajib Ramah Bagi Disabilitas

DPR meratifikasi Convention on The Rights of Persons With Disabilities 2006 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Rancangan Undang-Undang Konvesi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (cacat) pada 2011 lalu. Sejak saat itu, konsekuensi terhadap undang-undang itu juga berlaku. Namun pada kenyataannya, minimnya fasilitas dan konsekuensi terhadap minimnya fasilitas bagi penyandang disabilitas tetap tak tersentuh. Padahal jika merujuk pada konvensi itu, negara menjamin untuk melindungi para penyandang disabilitas.

Sebenarnya pada Bab I yang berisi ketentuan umum UU Nomor 8 Tahun 2016 disebutkan, aksesbilitas bagi penyandang disabilitas untuk memperoleh kesempatan yang sama. Langkah-langkah yang wajib dilakukan adalah mengidentifikasi dan penghapusan kendala serta halangan terhadap aksesibilitas, meliputi gedung-gedung, jalan-jalan, sarana transportasi, dan fasilitas dalam dan luar ruang lainnya. Termasuk sekolah, perumahan, fasilitas medis dan tempat kerja.

Sebagai konsekuensi bagi pelanggaran atas UU itu diatur pada pasal 145. Bunyinya, ada denda yang wajib dibayar bagi setiap orang yang melarang penyandang disabilitas untuk mendapatkan hak bagi mereka. Dendanya mencapai Rp200 juta.

Kepala Sub Bidang Penenempatan Tenaga Kerja Khusus Kemenakertras, Sapto Purnomo sepakat bahwa menjalankan esensi undang-undang adalah tanggung jawab semua kalangan “Penyandang disabilitas itu adalah tanggung jawab kita bersama. Dan itu juga esensi dari UU No 8 tahun 2016,” ujar Sapto saat ditemui di kantornya, pada Selasa (6/9/2016).

Nah, jika memang sudah ada UU yang melindungi hak dan kesempatan para penyandang disabilitas, termasuk juga ada denda jika melanggar, maka sudah saatnya pemerintah melakukan pengawasan dan penertiban. Tentu dengan harapan, para penyandang disabilitas bakal ikut menikmati seluruh fasilitas yang ada.

Baca juga artikel terkait UU PENYANDANG DISABILITAS atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Hukum
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti