Menuju konten utama

Ojek Difa Yogya, Ojeknya Penyandang Disabilitas

Seorang pengusaha dari Yogyakarta membangun usaha transportasi umum berbasis online dengan nama “Difa City Tour and Transport”. Uniknya, pengemudi dari ojek roda tiga ini adalah para penyandang disabilitas.

Ojek Difa Yogya, Ojeknya Penyandang Disabilitas
Stand pameran dan sosialisasi " Difa City Tour and transport" dalam acara Kompetisi Sociopreneur Muda (SOPREMA) yang digelar oleh YouSure (pusat studi kepemudaan) UGM. Bertempat di Grha Sabha Pramana (GSP) UGMDirektur Ojek Difa City Tour Rabu, (7/9). [TIRTO/Riva]

tirto.id - Kekurangan fisik tidak menghalangi penyandang disabilitas untuk mencari pekerjaan yang halal. Di Yogyakarta, para penyandang disabilitas itu difasilitasi untuk menjadi pengemudi ojek online. Mereka tak hanya mengantar penumpang di area wisata, tetapi juga sudah merambah ke pengiriman barang dan dokumen.

Adalah Triyono yang merintis “Difa City Tour and Transport”, yang dikenal sebagai ojeknya para penyandang disabilitas di Yogyakarta. Bisnisnya dimulai dari rasa kepedulian terhadap teman-temannya para penyandang disabilitas yang membutuhkan alat transportasi. Dengan modal awal Rp30 juta dari modal pribadi dan bantuan, ia membuat tiga buah motor yang dimodifikasi tambahan tempat duduk di samping motor, agar bisa dimanfaatkan oleh para penyandang disabilitas.

Pada awalnya, ikhtiar Triyono tidak memberikan dampak positif pada teman-temannya. Mereka justru merasa terbebani. “Ada motor tapi tak ada bensin,” ucap Triyono, kepada tirto.id di stan pameran Expo yang bertempat di Grha Sabha Pramana (GSP) UGM, Yogyakarta, pada Rabu (7/9/2016).

Ia kemudian berfikir untuk mengusahakan sebuah bisnis, di mana teman-temannya tetap mampu menggunakan motor tersebut. Awalnya, ia mencoba membantu teman-temannya masuk ke perusahaan ojek online. Upayanya tak berhasil sebab terhalang Standar Operasional Perusahaan (SOP) yang memiliki banyak aturan. Mulai dari pendidikan, kondisi kesehatan fisik, dan lain sebagainya. Ketatnya aturan membuat Triyono jengah. Ia pun nekat membentuk sendiri usaha transportasi dengan sistem yang mengadopsi bisnis ojek online.

“Saya juga bingung melakukannya karena ada banyak pertanyaan. Ini pertanyaan apa menghakimi,” kata Triyono mengenang masa-masa awal perjuangannya.

Tekad bulat membuatnya merancang sebuah usaha transportasi. Namun tak seperti transportasi pada umumnya, pengemudinya dipilih dari kalangan penyandang disabilitas yang direkrut dari kelompok aktivis penyandang disabilitas.

Konsep awal bisnis “Difa City Tour and Transport” adalah menjadi sarana transportasi ke objek wisata. Namun, seiring berjalannya waktu, penyerapan pelanggan tidak hanya untuk mengunjungi obyek wisata. Banyak permintaan datang dari orang-orang yang minta diantar belanja, pergi ke bandara/stasiun, dan berbagai fasiltas publik lainnya. “Kami semakin optimistis dan terus berusaha agar tarif tidak mahal,” kata Triyono.

Usaha yang dirintis sejak tahun 2015 ini, lambat laun berkembang di luar dugaan Triyono. Pelanggan yang difasilitasi layanan hotline melalui WA, Facebook, ataupun SMS, ternyata merasa mudah memperoleh layanan “Ojek Difa”. Lambat laun, “Ojek Difa” tidak hanya menjadi fasilitas antar-jemput orang, tapi juga barang, dokumen, dan surat.

Pelanggan juga tidak hanya dari kalangan disabilitas yang populasinya mencapai 3.000 orang di Yogyakarta, tapi juga kalangan umum. Persentase pelanggan, sebesar 70 persen pelanggan loyal dari kalangan penyandang disabilitas dan 30 persen dari kalangan umum.

Kalangan umum yang jadi penumpang berasal dari kalangan menengah ke atas. Profesi mereka beragam. Mulai guru, dokter, anggota dewan, pengacara, dan lain sebagainya.

Untuk menjaga hubungan baik dengan pelanggan, selama mengantar pelanggan, pengemudi disarankan berkomunikasi dengan penumpangnya. Di saat itulah, terjalin hubungan erat antara pengemudi dengan penumpang. “Pernah ada yang sampai ditawari naik haji. Ada juga yang dapat tips lebih besar dari tarif,” ujar Triyono.

Terkait tips, Triyono mengaku manajemen tidak akan mengambilnya dari pengemudi. Perusahaan sudah mengatur sistem bagi hasil tersendiri. Pendapatan di luar tarif yang ditentukan dianggap sebagai rejeki pengemudi.

Bagi Hasil yang Tidak Menekan Pengemudi

“Difa City Tour and Transport” tidak menerapkan setoran wajib, melainkan melakukan potongan pendapatan harian yang diperoleh para pengemudi. Besaran potongan disesuaikan dengan produk yang diambil oleh pengguna.

Ada empat produk yang ditawarkan “Difa City Tour and Transport” kepada masyarakat. Yakni layanan transportasi berupa antara jemput dalam kota, layanan city tour yaitu layanan antar-jemput wisata dalam dan luar kota, layanan massage, dan kargo atau layanan antar jemput antar kota/provinsi.

Tarif untuk masing-masing layanan berbeda. Tarif transportasi di dalam kota akan dikenakan Rp20.000 per lima kilometer. Jika lebih jauh dari ketentuan akan ditambahkan biaya Rp2.500 per kilometer.

Sedangkan layanan city tour harga dimulai dari Rp100 ribu per paket dengan batas waktu maksimal empat jam dan hanya ke empat obyek wisata di dalam kota. Tarif akan berbeda jika pengguna meminta diantar sampai ke obyek wisata yang ada di luar kota. “Kalau ke Prambanan bisa Rp150 ribu, ke Borobudur bisa Rp250 ribu,” kata Triyono.

Sementara layanan massage dikenai tarif sebesar Rp80 ribu per jam. Sedangkan layanan kargo dikenai biaya sebesar Rp100 ribu.

Dari keempat produk tersebut, Triyono menerapkan sistem bagi hasil yang tidak menekan kinerja 15 pengemudinya. Perusahaan akan mengambil 10 persen dari penghasilan transportasi biasa dan 90 persennya diberikan kepada pengemudi. Sedangkan untuk paket city tour, para pengemudi akan memperoleh 70 persen dari pendapatan dan 30 persen untuk perusahaan.

Untuk layanan massage, penghitungannya agak sedikit berbeda. Maklum, untuk layanan massage, pemijat akan diantar oleh driver. Maka bagi hasilnya ditentukan 10 persen untuk manajemen, 10 persen untuk pengemudi, dan 80 persen sisanya untuk pemijat.

Sementara bagi hasil untuk layanan kargo tak jauh beda dengan transportasi dalam kota, 10 persen untuk manajemen dan 90 persen untuk driver. “Minggu ini ada yang memperoleh Rp700-Rp1 juta,” kata Triyono yang mengaku bangga teman-temanya bisa berdaya. Setiap hari, minimal pengemudi bisa membawa pulang minimal uang sebesar Rp50.000.

Tanto, seorang driver “Ojek Diva” yang menderita tunadaksa, bergabung dengan “Difa City Tour and Transport” sejak enam bulan yang lalu. Dia mengaku penghasilannya tak pasti. “Paling sekitar Rp50 ribuan kalau ada tarikan per harinya,” ujarnya.

Setiap hari, Tanto bekerja dengan menjunjung SOP seperti harus senantiasa lapor, dalam mengemudi harus berada dalam batas kecepatan antara 40-50 km/jam, tidak lupa tersenyum dan menyapa penumpang, mengajak berkomunikasi penumpang, dan mengenakan atribut Difa seperti topi dan jaket.

Tantangan Ojek Difa

Membuka usaha ojek tidak serta merta mudah memperoleh penumpang. Seperti halnya ojek pada umumnya, setiap pengemudi harus bersabar dan kadang harus menunggu di lokasi tertentu.

Selama menunggu atau beroperasi di jalan, driver “Difa City Tour and Transport” juga pernah mengalami masalah. Seperti disepelekan, diusir dari tempat parkir, diusir oleh tukang ojek pangkalan, tukang becak, dan masih banyak lagi. “Di pasar itu kejam,” tegas Tri.

Untuk menghindarkan pengemudi dari masalah, Triyono selalu berpesan agar tidak berkonfrontasi. “Kalau memang itu (konflik) berat, suruh orangnya ke kantor. Saya yang menjelaskan,” ujarnya.

Triyono sendiri masih kebingungan dengan ketetapan hukum bisnis yang dirintisnya tersebut. Ia khawatir jika pola yang sudah terbentuk dengan baik, suatu saat bisa bubar karena terbentur regulasi. Namun ia sudah menyiapkan pengacara dan notaris. “Kami siap kalau sampai kita misalnya terpaksa harus dipungut pajak per transaksi, misalnya sepuluh persen,” ungkap Triyono.

Triyono mengakui bisnisnya belum memiliki surat legal yang menetapkannya sebagai sebuah perusahaan jasa, baik itu transportasi atau pun tour and travel. Maklum, ada empat produk yang ditawarkan, dan bisa disebut sebagai produk campuran antara jasa transportasi dan tour and travel. Selain itu, jenis kendaraan yang digunakan bukanlah kendaraan roda dua atau pun empat. “Perusahaan ini kan beda, tour and travel enggak masuk, jasa transportasi ndak masuk, yayasan enggak masuk wong ada sirkulasi uang. Kita cuma butuh petunjuk,” katanya.

Perusahaan yang diluncurkan bertepatan Hari Penyandang Disabilitas Dunia pada 3 Desember 2015 itu, telah menerima bantuan dari beberapa pihak. Sebut saja Lesehan Aldan, Arfa Babershop, kelompok sedekah rombongan, Kedai Digital, dan lain sebagainya. Pihak-pihak terkait tersebut membantu mengadakan dan memodifikasi motor bersama bengkel rekanan Triyono.

Sejumlah BUMN bahkan sudah ada yang melirik dan akan bekerja sama dengan Ojek Difa. Namun, Triyono mematok garis tegas, tidak ingin menerima uang. “Kalau memang ada program, wujudkan saja. Silahkan di-branding, tapi bukan saya yang harus mengajak melalui proposal,” kata Triyono.

Mengapa “Ojek Diva” tak mau menerima asupan dana dari BUMN, pemerintah, dan juga peluang kerjasama dengan investor? Tujuannya agar mereka tetap bebas merdeka. “Kalau sudah hitung-hitungan uang, itu tekanannya tinggi. Saya cuma ingin para pengemudi nyaman bekerja,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait DISABILITAS atau tulisan lainnya dari Mutaya Saroh

tirto.id - Humaniora
Reporter: Mutaya Saroh
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti