tirto.id - Tahun 2018 adalah tahun politik. Mulai 15 Februari lalu masa kampanye pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak dimulai. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) belum lama ini merilis data yang menunjukkan kurang lebih 22 aduan kasus penyalahgunaan anak-anak oleh orangtua ataupun pihak-pihak berkepentingan lainnya.
Anak-anak dimobilisasi oleh partai politik atau atas arahan tim sukses calon kepala daerah. Mereka dinaikkan ke panggung, tempat politisi mengobral janji dan penyanyi dangdut menunjukkan kemampuannya menghibur massa. Mereka dibawa ke arena kampanye terbatas. Ada anak di bawah 17 tahun yang dimasukkan ke Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu, bahkan ada yang dijadikan juru kampanye.
Komisioner KPAI Jasra Putra menegaskan bahwa perlindungan anak agar tak disalahgunakan dalam kegiatan politik sudah diatur pada Pasal 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Sayangnya, belum ada pengaturan sanksi bagi pelanggar aturan di UU itu. "Perubahan pertama UU 23/2002 menjadi UU 35/2014 memang menghapus sebagian redaksi pasal ancaman pidana penyalahgunaan anak dalam politik," ujar Jasra, di Kantor KPAI, Jakarta, Jumat (6/4/2018).
KPAI mengidentifikasi beberapa bentuk penyalahgunaan anak dalam politik. Beberapa di antaranya adalah penggunaan anak untuk memasang atribut parpol, membawa mereka ke arena kampanye terbuka, melakukan intimidasi terhadap anak yang orangtuanya berbeda pilihan, serta memprovokasi anak untuk membenci calon kepala daerah atau parpol tertentu.
Saking mengakarnya fenomena ini, nampaknya tak ada perbaikan dari tahun-tahun sebelumnya meski protes terus muncul. Pada gelaran pemilu 2014 silam KPAI mengadukan 12 partai politik ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) karena melibatkan anak-anak dalam kampanye, demikian lapor Antara, Rabu (9/3/2014).
KPAI mengidentifikasi 15 bentuk penyalahgunaan anak dalam politik. Beberapa di antaranya adalah penggunaan anak untuk memasang atribut parpol, membawa mereka ke arena kampanye terbuka, melakukan intimidasi terhadap anak yang orangtuanya berbeda pilihan, serta memprovokasi anak untuk membenci calon kepala daerah atau parpol tertentu.
Pengamat politik Universitas Negeri Yogyakarta Halili Hasan mendudukkan persoalan ini dalam kerangka status anak sebagai buka pemilih potensial apalagi punya hak suara. Pemilih pemula pun bukan, sehingga ketika dilibatkan dalam kampanye politik bukan karena inisiatifnya. Penanggung jawab terbesar tetap ada di keluarga, lalu orang-orang yang punya kepentingan dalam kampanye.
Ada kultur yang keliru, lanjut Halili, yakni dalam pengasuhan orangtua. Pendapat ini disepakati oleh pakar politik dari Universitas Diponegoro, Teguh Yuwono. Teguh juga menitikberatkan akar persoalannya ada pada orangtua yang tidak punya pemahaman tentang peraturan kampanye politik, sehingga tidak sadar akan bahaya “politisasi anak”.
“Politisasi anak adalah tercerabutnya hak anak untuk bermain, bersekolah, dan mengisi waktu luangnya,” katanya kepada Tirto, Selasa (1/5/2018).
Dari sisi hukum, Halili memandang aturan terkait sanksi dalam pasal Pasal 15 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak akan sulit karena objek utama pelanggarnya belum spesifik. Sementara itu Teguh memandang penerapan sanksi sebagai alternatif terakhir saja. Faktor paling penting kembali ke perbaikan kultur, dimulai dengan tidak menyertakan anak-anak ke kampanye.
Baik Halili maupun Teguh kemudian memandang dalam kampanye politik biasanya anak bukan dibawa atas dasar politis, tetapi lebih ke kendala teknis pengasuhan anak karena kebingungan akan dijaga siapa.
KPAI pun telah mendengar alasan ini sejak lama, dan mengusulkan agar anak-anak ditempatkan di area khusus atau yang tidak dipakai untuk kampanye. Akhir April lalu Jasra mengajukan hal ini kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai bagian dalam penyusunan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang perlindungan anak di kegiatan politik tahun depan.
"Nanti ada tempat penitipan anak yang agak jauh yang aman dan nyaman. Nanti itu bisa dikelola oleh penyelenggara pemilu atau dikelola oleh tim kampanye" ucapnya.
Halili mengusulkan kebijakan yang cukup bertentangan dengan definisi kampanye yang selama ini dipahami orang awam, yakni melarang penyelenggaraannya di tempat umum yang memancing keramaian massa. Dengan kata lain, di satu tempat khusus yang membuat kampanye bersifat tertutup.
“Dangdutan misalnya, itu kan akan menarik orang dari banyak kalangan, termasuk anak-anak. Tak ada yang mencegah. Acara-acara seperti ini juga bisa diatur untuk dilarang sebab bisa memancing anak-anak ikut. Kontrol seperti ini termasuk pencegahan,” katanya, Selasa (1/5/2018), saat dihubungi via telepon.
Saran tersebut barangkali akan susah terwujud mengingat ruang publik hampir tak mungkin tak politis akhir-akhir ini. Ajang Car Free Day (CFD) pada Minggu (29/4./2018) lalu muncul dua barisan massa yang mendukung rezim Joko Widodo dengan memakai kaus bertuliskan #DiaSibukKerja dan barisan oposisi berkaus #2019GantiPresiden.
Teguh berpendapat situasi tersebut bukan tergolong kampanye politik. Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2016 tentang Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) juga menyebutkan kawasan CFD harusnya tak bisa diisi dengan kegiatan politik. Lebih lanjut, CFD kemarin menjadi sorotan dengan munculnya kasus intimidasi dari massa kaus #2019GantiPresiden kepada massa #DiaSibukKerja.
Salah dua korbannya adalah seorang anak laki-laki dan ibunya, Susi Ferawati. Dalam video yang diunggah akun Jakartanicus, ia dikelilingi dan diolok-olok sebagai cebong, sebutan peyoratif bagi pendukung Jokowi, dipaksa mengaku sebagai pendukung bayaran, diumpat, diolok-olok, dan perlakuan lain yang Susi sebut sebagai persekusi.
Si anak menangis. Meski Susi segera menenangkannya usai menjauh dari gerombolan pem-bully, si anak masih trauma atas kejadian tersebut. Sebagaimana Halili yang menempatkan kasus ini dalam konteks pelanggaran UU Perlindungan Anak, sehari usai insiden Susi datang ke kantor polisi, melaporkan tindak intimidasi yang dialami dirinya dan anaknya.
Trauma hanya salah satu risiko jika anak-anak dihadirkan dalam kampanye politik, kata Halili. Kasus CFD kemarin ia harapkan bisa jadi pelajaran bagi orangtua. Bukan soal potensi jadi korban kekerasan psikologis. Halili menilai aktivitas politik di Indonesia kini masih dirundung kerawanan atas munculnya kekerasan fisik. Sedangkan anak-anak tidak seperti orangtua yang cenderung bisa mempertahankan diri.
“Pemerintah seharusnya hadir di situ. Ketika ada anak yang terlibat dalam kegiatan politik, kepolisian atau Satpol PP bisa mengingatkan. Sifatnya preventif, bukan ketika terjadi baru heboh, atau malah dibiarkan. Negara kan seringnya enggak hadir. Mereka biasanya tahu, tapi dibiarkan.”
Halili kemudian teringat Pilkada Jakarta tahun lalu yang dipenuhi praktik politisasi agama. Politisasi agama menyulap politik jadi "perang suci", sehingga ada legitimasi untuk mengikutsertakan anak-anak di dalamnya. Alasannya bukan politik praktis, tapi demi membela marwah agama—meski ujung-ujungnya dipakai untuk menjatuhkan reputasi salah satu calon.
“Mereka akan dimobilisasi untuk mulai membenci satu tokoh politik tertentu. Aksi berjilid-jilid kemarin kan juga melibatkan banyak anak karena benderanya jihad.”
Jika memang ingin melakukan pendidikan politik untuk anak, lanjut Halili, jangan dimulai dan diarahkan ke konteks politik praktis. Mengajarkan anak untuk membela kepentingan politik lima tahunan adalah konyol, sebab dukungan politik bisa berubah-ubah dengan. "Politik itu amat dinamis", imbuhnya.
“Ajarkan soal esensi politik yakni kemaslahatan bersama. Tujuannya agar kesadarannya terbangun. Tentang orang lain punya hak yang sama, menghormati pilihan mereka meskipun berbeda, tentang politik yang beradab. Soal kebaikan yang akan tertanam melampaui siklus lima tahunan pemilu.”
Pendeknya, orangtua harus jadi teladan, bukan mewariskan gaya berpolitik yang keliru ke anaknya. Di banyak tempat ada anak yang relasinya dengan anak lain menjadi buruk hanya karena orangtuanya berbeda pilihan politik. Situasinya diperparah dengan aktivitas “otot-ototan” bernuansa fanatisme yang dikorbankan si orangtua lakukan di tiap kesempatan, baik di dalam maupun luar lingkup keluarga.
Pendidikan politik yang baik adalah yang menyiapkan si anak kelak mampu berpartisipasi dengan matang di ranah-ranah politis, dengan demikian menjadikan demokrasi di Indonesia lebih berkualitas, pungkas Halili.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf