tirto.id - Media sosial memang memfasilitasi orang-orang untuk mengekspresikan gagasannya. Kendati demikian, media sosial juga dapat menjelma buah simalakama. Beberapa orang mesti berurusan dengan hukum gara-gara menumpahkan isi kepala dan perasaannya terhadap pihak tertentu.
Pada 5 Juni, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis enam bulan 15 hari penjara bagi Jamran. Hal serupa diterima saudara kandung Jamran, Rizal, yang sama-sama dituduh melontarkan ujaran kebencian terhadap Ahok dan etnis Tionghoa di media sosial. Mulanya, kedua nama ini ditangkap atas tuduhan makar. Namun pada perkembangannya, mereka malah didakwa dengan pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45A ayat (2) UU RI No 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Pasal-pasal ini menjerat siapa pun yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA.
Bukan hanya Jamran dan Rizal yang terjerat hukum lantaran mengutarakan kata-kata bernada kebencian di media sosial. Tamim Pardede diamankan aparat setelah mengunggah konten berbau SARA dan menghina pemerintah yang dipimpin Joko Widodo. Sementara Prima Gaida Journalita mesti berurusan dengan polisi setelah membuat status-status yang dianggap melecehkan warga NTT. Perempuan ini dengan lantang mengatakan bahwa tidak ada lagi toleransi di sana.
Alasan Orang Mengekspresikan Kebencian
Dalam laporan yang dibuat Walters et. al. (206), peneliti-peneliti dari University of Sussex, ujaran kebencian dikatakan sebagai bagian dari kriminalitas kebencian. Hal ini dirumuskan sebagai aksi menghasut orang lain untuk membenci pihak tertentu, tidak hanya berdasarkan SARA, tetapi juga bisa berdasarkan disabilitas atau orientasi seksualnya. Dalam kasus ujaran kebencian yang dilakukan Donald Trump, objek yang disasar juga mereka yang beridentitas sebagai imigran atau perempuan.
Tidak jarang ujaran kebencian menyasar lebih dari satu identitas yang melekat dalam diri objeknya. Ahok misalnya, dijadikan sasaran ujaran kebencian sebagian pihak lantaran dia seorang Tionghoa dan Kristen.
Bukan tanpa alasan atau sekadar iseng seseorang membuat ujaran atau kriminalitas kebencian. Walters et. al. menyebutkan faktor utama yang memotivasinya adalah prasangka buruk terhadap orang atau kelompok tertentu. Prasangka ini dapat terbentuk dari sosialisasi dan internalisasi terus menerus oleh keluarga, pihak sekolah, teman-teman, atau orang-orang di sekitar pembuat ujaran kebencian. Tak peduli rekam jejak positif yang dibuat objek ujaran kebenciannya, ia akan tanpa tedeng aling-aling menghakimi orang atau kelompok tersebut. Ujaran kebencian yang dilanggengkan dalam suatu lingkungan tempat seseorang tinggal dapat dipahami pula sebagai upaya membentuk kohesi sosial. Semakin besar level konformitas untuk mengutarakan kebencian, semakin besar kekuatan untuk menjatuhkan kelompok tertentu.
Satu contoh kasus dari Yogyakarta, ujaran kebencian telah membuat pesantren yang dibangun kelompok LGBT ditutup.
Faktor kedua, sebuah konflik atau kekecewaan terhadap tindakan tertentu yang dilakukan si Objek memicu pembuat ujaran kebencian untuk menyatakan hal-hal negatif tentangnya. Bisa saja sebelumnya si Pembuat Ujaran Kebencian tak bermasalah dengan identitas si Objek. Namun, didorong rasa kecewa, ia mencomot identitas pelaku sebagai sasaran dan memprovokasi orang-orang sekitarnya untuk percaya, latar belakang si Objeklah yang membuatnya menjadi musuh bersama. Motif ini bisa dikatakan sebagai motif balas dendam pembuat ujaran kebencian terhadap si Objek.
Ujaran kebencian ini menular. Jika seseorang menganggap pembuat ujaran kebencian sebagai sosok yang kredibel, berkuasa, dipanut, atau diyakini setiap ucapannya adalah kebenaran, maka ia akan menyebarkan berita-berita buruk serupa soal objek ujaran kebencian. Tak peduli yang dikonsumsi dan didistribusikannya berita bohong atau opini personal sekalipun, selama ia bisa menyalurkan hasrat mengutarakan ketidaksukaannya, hal itu dianggap sah-sah saja untuk dibaca dan dibagikan.
Orang-orang yang membenci kelompok kulit hitam, Asia, Latin, atau non-Amerika lainnya mungkin saja menahan-nahan ekspresi kebenciannya sebelum Trump menjadi presiden. Namun, kondisi berbalik ketika Trump dengan terbuka menyatakan ketidaksukaannya terhadap kelompok-kelompok minoritas di Amerika tersebut. Hal sejenis juga terjadi di negeri ini. Sebelum Orde Baru tumbang dan media sosial gampang diakses, tidak banyak orang yang berani bersuara, apalagi mencemooh pihak-pihak tertentu. Kondisi seratus delapan puluh derajat terjadi saat sejumlah kelompok masyarakat mendapat ruang dalam dunia politik Indonesia. Agama, orientasi seksual mayoritas, serta identitas sebagai pribumi paling jamak dipakai para pembuat ujaran kebencian sebagai senjata untuk menyerang orang-orang di luar lingkaran mereka.
Ada lagi alasan orang membuat ujaran kebencian. Perasaan terancam rupanya ditemukan oleh sejumlah peneliti dalam laporan Walters et. al. sebagai penyebab munculnya kata-kata merendahkan si Objek. Motif ini disebut dengan motif defensif. Khawatir negerinya dijajah secara ekonomi orang-orang nonpribumi, pembuat ujaran kebencian pun melancarkan aksinya. Ujungnya bisa sangat mengerikan. Penyerangan terhadap kelompok etnis Tionghoa pada Tragedi 1998 adalah salah satu contohnya.
Studi yang dilakukan McDevit et. al. (2002) mengindikasikan motivasi lain yang dimiliki para pembuat ujaran kebencian. Perasaan senang atau sensasi adalah sesuatu yang dikejar oleh 66% pelaku yang diteliti McDevit et. al. Menariknya, mereka yang mengejar kesenangan ini bukanlah orang-orang dengan level prasangka tinggi, melainkan orang-orang yang level prasangkanya rendah atau sedang. Dengan kata lain, bukan mereka yang membenci satu pihak sampai ke ubun-ubun yang memiliki motivasi ini, melainkan orang-orang yang sekadar tidak suka atau sentimen sesaat saja yang kerap ditemukan membuat ujaran kebencian.
Ujaran kebencian juga dapat ditinjau dari aspek psikologi. Kendati kitab pegangan para psikolog dunia, DSM-V, tidak mengategorikan ujaran atau kriminalitas kebencian sebagai suatu penyakit kejiwaan, seorang psikiater dari Harvard University justru memandang sebaliknya.
Adalah Dr. Alvin F. Poussaint yang menyebutkan ujaran dan kriminalitas kebencian berelasi dengan isu mental. Ia mengambil contoh Hitler yang dilaporkan mengidap paranoia. Contoh lainnya adalah kebencian anak muda kulit putih yang memicunya membunuh orang-orang kulit hitam di gereja Charleston, South Carolina. Beberapa media menyebutnya delusional atau gila.
Memang contoh-contoh ini diakuinya sebagai kasus ekstrem dari perasaan benci. Meski demikian, titik kulminasi kebencian dicapai melalui prasangka-prasangka dan tindakan-tindakan sederhana seperti ucapan diskriminatif atau merendahkan pihak tertentu. Salah satu psikiater kenalan Poussaint sempat menangani pasien-pasien yang memproyeksikan ketakutan dan perilaku buruknya terhadap etnis minoritas tertentu. Acap kali, sikap rasis mereka dilandasi oleh keyakinan saklek dan keengganan melakukan pengecekan realitas. Inilah yang menurut psikiater tersebut gejala disfungsi mental.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti