tirto.id - Ketika sebuah isu merebak di macam-macam media sosial, berbondong-bondong orang mencuitkan opininya. Terlebih ketika isu tersebut menyinggung sisi personal atau afiliasinya, mereka akan dengan lantang bersuara di depan khalayak untuk membela hal yang diyakininya.
Terlepas dari adanya evaluasi atau pertimbangan ulang terhadap pandangannya sendiri, banyak orang cenderung meneriakkan A ketika kelompok atau orang-orang di sekelilingnya berteriak A. Yang mengkhawatirkan dari tindakan ikut-ikutan bersuara atau bersepakat adalah ketika orang-orang mengambil keputusan atau beropini hanya bermodalkan pengetahuan atau informasi yang mereka dengar tanpa mengecek lebih lanjut kebenarannya.
‘Saya yakin tidak ada kebenaran di luar yang saya yakini karena orang-orang di sekitar saya pun mempercayai hal yang sama’ adalah satu gejala mengerikan yang jadi cikal bakal fanatisme dan ekstremisme.
Contoh yang jamak ditemukan adalah penyebaran berita tidak benar atau hoax di media-media sosial. Sejumlah alasanmengapa orang ikut-ikutan menyebarkan hoax telah dikaji dalam sejumlah studi ilmiah, beberapa di antaranya adalah tidak ingin ketinggalan tren, dianggap mengerti suatu isu, menjaga keterhubungan dengan kelompok perkawanannya, dan kemalasan memverifikasi lantaran kadung yakin bahwa orang yang pertama kali mempublikasi berita hoax adalah sosok yang kredibel.
Hal-Hal yang Memicu Konformitas
Dalam situs The Wall Street Journal, Robert M. Sapolsky memberi penjelasan mengenai mengapa konformitas dapat terjadi dari aspek sains. Argumentasinya diawali dengan hasil riset Solomon Asch pada dekade 50-an yang mengobservasi perilaku sejumlah individu ketika disodorkan pertanyaan di lingkup kelompok. Ketika beberapa orang memberikan jawaban salah atas pertanyaan tersebut, individu-individu lainnya memperlihatkan kecondongan mengikuti hal yang serupa.
Peneliti saraf lantas mengkaji apa yang terjadi pada otak saat seseorang bertindak konform seperti ini. Ketika seseorang merasa tak bersepaham dengan kelompoknya, amygdala dan insular cortex—bagian dari otak yang berasosiasi dengan kecemasan, kemuakan, dan kegelisahan—akan teraktivasi. Tidak hanya itu, bagian otak lain yang berasosiasi dengan pengoreksian kesalahan pun akan turut teraktivasi. Semakin banyak bagian otak yang teraktivasi ketika merasa berbeda dan ‘bersalah’ kepada kelompoknya, semakin mungkin seseorang bertindak konform untuk mencari ketentraman.
Sapolsky juga menyoroti hasil penelitian lain yang membagi konformitas berdasarkan sifatnya, yaitu publik atau privat. Konformitas publik merujuk pada tindakan mengikuti keputusan mayoritas saat berada di tengah-tengah kumpulan orang. Dalam konteks konformitas privat, meski tidak diawasi siapa pun, orang-orang yang telah teryakini untuk melakukan A misalnya, akan terus melakukan hal tersebut. Baik dalam konteks privat maupun publik, dalam diri orang yang melakukan tindakan konform, peneliti menemukan pengaruh hormon oksitosin—hormon yang mendorong orang membuat ikatan sosial dan afiliasi dengan kelompok—serta efek plasebo.
Sementara dalam situs Psyblog, terangkum sejumlah hasil penelitian beberapa ilmuwan terkait pemicu-pemicu konformitas lainnya. Bond (2005) misalnya, mengatakan besarnya kelompok atau jumlah individu yang tergabung dalam suatu afiliasi berpengaruh terhadap perilaku konform seseorang. Lain lagi dengan hasil riset Tong et. al. (2007). Mereka menemukan korelasi antara suasana hati dengan konformitas. Semakin baik suasana hati seseorang, semakin tinggi kemungkinannya bertindak konform.
Trik-trik psikologi lainnya pun dapat memancing konformitas seperti membuat seseorang takut akan sesuatu, kemudian menyodorkannya ketenangan. Dengan begitu, ia akan berpotensi mengikuti kata-kata pihak yang seolah menjadi juruselamatnya tersebut, demikian pendapat Dolinski & Nawrat (1998) dalam jurnal bertajuk “Fear-Then-Relief” Procedure for Producing Compliance: Beware When the Danger Is Over.
Satu lagi yang berperan meningkatkan level konformitas individu adalah budaya setempat. Masyarakat di dunia Barat yang memiliki budaya individualis memiliki kecenderungan berperilaku konform lebih kecil dibanding mereka yang hidup dalam budaya kolektif seperti di Asia Timur menurut Kim & Markus (1999). Maka tak heran, dalam konteks masyarakat Indonesia yang mayoritas menganggap utama hubungan kekerabatan dan kolektivitas, konformitas lebih dimungkinkan terjadi.
Kuatnya Konformitas di Media Sosial
Media sosial menjadi wadah selebrasi bagi individu untuk menuangkan gagasan, selera, gaya, dan segala macam perspektif dalam memandang suatu hal. Namun, meskipun pendapat personal sangat dimungkinkan untuk ditampilkan, kebanyakan warganet masih saja bermentalitas kawanan. Twitter, Facebook, Instagram, dan ragam media sosial lainnya menjelma ruang penuh kotak-kotak afiliasi dan membuat konformitas kian menjadi-jadi.
Dalam situs Pacific Standard, dicantumkan beberapa pendapat peneliti terkait konformitas di media sosial. Pada Agustus 2014, Pew Research Center merilis laporan berjudul “Social Media and the Spiral of Silence.” Penelitian Pew Research berangkat dari studi tahun 1974 yang menemukan bahwa kebanyakan orang lebih memilih tidak mengekspresikan pendapat pribadinya jika hal tersebut bertentangan dengan mayoritas dan potensial mengalienasinya dari teman, keluarga, serta rekan kerja. Pada era modern, hasil studi tahun 1974 ini rupanya masih relevan dan ditemukan peneliti Pew Research Center terjadi pula di kehidupan digital.
Perilaku konformitas di media sosial pada akhirnya dapat menciptakan isolasi dari pengaruh-pengaruh yang tidak sesuai dengan hal yang dipercayai seseorang. Studi lain tentang opini publik di Twitter seputar pemilu di AS pada 2012 menunjukkan, 90% kicauan dari kandidat Partai Demokrat diserap oleh pemilih yang berafiliasi dengan partai tersebut dan begitu pun terjadi di sisi Partai Republik.
Fenomena ini sesuai dengan pernyataan Cass Sunstein, profesor Hukum dari Harvard, dalam bukunya yang bertajuk Republik.com (2011): pada masa depan, kamu akan menyaksikan apa yang kamu ingin saksikan saja, mendengar apa yang mau kamu dengar saja, dan membaca hal-hal yang ingin kamu baca saja.
Maka pada akhirnya ketika isolasi diri ini terjadi, seberapa pun upaya seseorang meyakinkan orang lain yang kadung bertindak konform dengan kelompoknya, tidak akan mudah untuk membuatnya banting setir atau setidaknya mengevaluasi pandangan yang dipegangnya secara teguh sekian lama.
Dalam beberapa konteks, tindakan konform dapat mendatangkan banyak manfaat, bahkan bukan tidak mungkin menyelamatkan seseorang dari marabahaya. Namun perlu diingat, sekalipun tidak bisa dimungkiri bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa melepaskan tindak-tanduknya dari pengaruh sekitar, memiliki dan berpegang teguh pada pendapat pribadi juga penting. Tentunya setelah melakukan pengujian berulang terhadap keyakinannya tersebut dan tidak menutup mata terhadap aneka kebenaran lain di sekitar.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani