Menuju konten utama

Bagaimana Meyakinkan Orang Saat Menyodorkan Fakta Tak Mempan

Jangan terlalu kuatir jika bertemu orang-orang yang ada dalam gelembung "pengetahuan" yang tak sejalan dengan fakta. Meski sulit, ada cara-cara untuk meyakinkan mereka.

Bagaimana Meyakinkan Orang Saat Menyodorkan Fakta Tak Mempan
Ilustrasi. Berbicara dan meyakinkan lawan bicara. Foto/iStock

tirto.id - Saat hasil pemungutan suara di sebuah TPS Kampung Bali dihitung, seorang warga mencibir karena paslon yang tidak disenanginya mulai unggul dan akhirnya diumumkan menjadi pilihan nomor satu TPS-nya. Ogah menerima fakta juga banyak terjadi saat masa kampanye pilkada. Kerap terjadi juga anggota grup percakapan—pendukung calon kepala daerah manapun—yang menyebarkan berita bohong (hoax). Saat diberi tahu bahwa kirimannya hoax, mereka tetap bersikukuh menganggapnya sebagai kebenaran.

Dalam keseharian, tidak jarang orang-orang ngeyel seperti ini ditemukan. Sebesar apapun upaya dilakukan untuk meyakinkan mereka dengan memberi penjelasan rasional atau fakta, orang-orang ini akan cenderung menutup mata dan telinga terhadapnya. Mengapa mereka begitu sulit diyakinkan atau bahkan mencari-cari alasan untuk tetap tidak percaya terhadap fakta yang disuguhkan di depan mata?

Michael Shermer, penulis buku The Moral Arc (2015) dan pendiri majalah Skeptic, menjelaskan dalam situs Scientific American bahwa orang-orang yang bersikukuh memegang keyakinannya sekalipun telah disuguhkan fakta kerap merasa bahwa skeptisisme dan kebenaran-kebenaran yang tak sesuai dengan pandangan hidup mereka merupakan suatu ancaman. Hal ini terjadi lantaran mereka mengalami disonansi kognitif.

Psikolog Leon Festinger menulis dalam buku bertajuk When Prophecy Fails pada tahun 1956 mengenai teori disonansi kognitif dengan mengobservasi orang-orang yang percaya eksistensi UFO. Disonansi terjadi saat apa yang mereka yakini bertabrakan dengan kenyataan yang ada, dan oleh karena itu, mereka akan berupaya untuk mematahkan disonansi yang muncul di kepalanya. Orang-orang yang mengalami disonansi kognitif akan membutakan diri terhadap fakta dan terus mencari alasan-alasan untuk mempertahankan apa yang lebih dulu mereka ketahui atau yakini.

Di samping disonansi kognitif, orang-orang berpendirian keras ini juga mengalami backfire effect. Nyhan dan Reifler yang menulis jurnal berjudul “When Corrections Fail: The persistence of political misperceptions” pada 2006 mendefinisikan backfire effect sebagai kondisi meningkatnya mispersepsi justru ketika koreksi diberikan kepada seseorang. Alih-alih tergoyahkan, pandangan hidup seseorang menguat saat ia disodorkan aneka fakta yang menyerangnya.

Sementara dalam situs Psychology Today, pakar manajemen risiko dari Harvard University, David Ropeik memaparkan bahwa opini atau keyakinan pribadi ibarat benteng yang melindungi seseorang dari serangan-serangan pandangan dari luar.

Keyakinan seseorang tak terlepas dari yang disebutnya sebagai kognisi kultural; sebuah teori mengenai bagaimana opini seseorang terbentuk, dipengaruhi, dan dikuatkan oleh kelompok yang diidentifikasinya. Ketika bertemu dengan orang-orang berpemahaman serupa, seseorang akan cenderung lebih keras mempertahankan opininya demi menciptakan solidaritas dan penerimaan dalam kelompok.

Keteguhan hati dalam mempertahankan opini ini sejalan dengan argumen Dr. Robert Cialdini yang mendalami psikologi pengaruh. Dikutip dari situs Coaching Leaders, penulis buku Influence: Science and Practice ini memandang sikap bersikeras memegang suatu keyakinan merupakan bentuk komitmen seseorang.

Cialdini juga menyatakan dalam bukunya, “Sekali kita mengambil pilihan atau posisi, kita akan menghadapi tekanan personal dan interpersonal untuk bertindak konsisten terhadap komitmen awal kita.”

Infografik Trik Mempersuasi Orang yang Berseberangan Opini

Butuh Strategi untuk Menggeser Pendirian

Kendati fakta-fakta tak bisa mengubah pendirian orang-orang yang fanatik atas keyakinannya, bukan berarti semua jalan untuk menggeser opininya telah tertutup. Pendekatan secara langsung tentu tidak efektif untuk membuat mereka meragukan keyakinannya. Shermer merumuskan sejumlah kiat yang dapat dilakukan ketika seseorang berhadapan dengan para pemegang teguh keyakinan atau orang-orang fanatik buta.

Pertama, seseorang harus menjauhkan keterlibatan emosi dalam usaha meyakinkan lawan bicaranya. Tidak ada perbincangan yang berjalan mulus ketika orang-orang dari posisi berlawanan memamparkan argumennya dengan rasa sentimen atau marah. Berikutnya, Shermer menyugesti untuk memilih situasi diskusi alih-alih debat kusir dan memberi kesempatan lawan bicara yang sulit diyakinkan ini untuk menyatakan pandangannya.

Dengan mendengarkan mereka, lawan bicara akan menganggap seseorang berusaha untuk memahaminya, mengapa mereka begitu keras mempertahankan keyakinannya. Ekspresi empati dan rasa hormat menjadi penting untuk mempengaruhi opini lawan bicara.

Langkah selanjutnya adalah memberikan argumen-argumen berdasarkan bukti nyata kepada lawan bicara. Pemilihan bahasa atau kata-kata tertentu juga menjadi catatan untuk menggeser opini lawan bicara yang sulit diyakinkan. Seperti dilansir Independent, penelitian dari Cornel University menunjukkan efektivitas pemilihan bahasa tertentu dalam mengubah pandangan orang. Menggunakan contoh dalam argumen serta memilih kata “kita/kami” dibanding “saya” menjadi trik tersendiri untuk mempengaruhi lawan bicara.

Beberapa strategi ini tak serta merta menjadi garansi lawan bicara akan berubah haluan. Namun demikian, selalu ada kemungkinan tersebut mengingat manusia adalah makhluk dinamis, juga makhluk sosial yang cara berpikirnya tidak bisa dilepaskan dari konstruksi sekitarnya.

Memang butuh kesabaran untuk melihatnya mulai melunak terhadap pandangan lain karena bisa jadi, lawan bicara memerlukan waktu untuk mengevaluasi atau merefleksikan pilihannya sebelum mengamini opini yang mulanya dia tolak.

Baca juga artikel terkait PSIKOLOGI atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Humaniora
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani