tirto.id - Tanggal 5 September 2024 menjadi hari yang dinanti banyak umat Katolik di Indonesia, sebab pada titimangsa itu Paus Fransiskus memimpin Misa Akbar di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta.
Lahir dan besar dari keluarga Katolik, saya pun terpapar euforia kedatangan Bapa Suci ke Tanah Air. Beberapa anggota keluarga bercerita tentang rencana turut serta dalam ibadah di stadion di Ibu Kota Jakarta, pada hari rabu sore itu lewat pesan singkat.
Sejumlah teman juga membagikan unggahan di media sosial menyambut kedatangan Paus Fransiskus. Ada yang membagikan video upaya bersalaman dengannya, ada yang menjadi sukarelawan misa, ada pula yang mendaftar menjadi koor untuk misa.
Salah seorang kawan yang bukan pemeluk Katolik bahkan ikut meramaikan ibadah sore itu di GBK. "Pengen lihat saja seperti apa Bapak Paus ini," ungkapnya singkat.
Saya bukan orang yang benar-benar tekun dalam beragama dan mendalami seluk-beluk Katolik. Namun, beberapa bulan sebelum kedatangannya ke Tanah Air, di akhir ibadah hari Minggu, selalu ada doa untuk kelancaran perjalanan apostolik Paus Fransiskus, yang membuat saya ngeuh akan kunjungan itu.
Kedatangan pemimpin tertinggi umat Katolik sedunia itu dalam rangkaian perjalanan kerasulannya (apostolik) ke Asia dan Pasifik pada 3-13 September 2024. Ia mula-mula datang ke Indonesia sampai 6 September 2024. Selanjutnya pada 6-9 September, Paus Fransiskus mengunjungi Papua Nugini. Setelah itu ke Timor Leste pada 9-11 September, lalu ke Singapura pada 11-13 September.
Kunjungan ke sejumlah negara ini menjadi spesial lantaran menjadi rute perjalanan terjauh Paus Fransiksus sejak ditahbiskan pada 2013 lalu. Dalam kunjungannya yang ke-45 ke luar negeri itu, ia menempuh perjalanan lebih dari 32 ribu kilometer dari kediamannya di Vatikan. Perjalanan ini makin istimewa mengingat di usianya ke-87, kala itu, dia sudah punya sejumlah masalah kesehatan, namun tetap berangkat menemui umat.
Negara-negara yang dikunjungi Paus Fransiskus juga punya sisi menariknya masing-masing. Dia mengunjungi Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia; Papua Nugini, punya masyarakat paling beragam secara bahasa; Timor Leste, negara dengan persentase umat Katolik tertinggi; dan Singapura salah satu negara paling beragam secara agama.
"Kunjungan Apostolik ke Asia Tenggara ini merupakan kunjungan yang telah dinantikan Paus Fransiskus sebelum pandemi. Mengingat Indonesia secara luas dipandang sebagai model toleransi dan koeksistensi, Paus, yang menulis ensiklik Fratelli tutti tentang persaudaraan manusia, kemungkinan akan terus mempromosikan persaudaraan manusia dan dialog antaragama," begitu tulis Vatican News terkait kunjungan Paus ke Indonesia.
Ogah "War Tiket" dan Menyesal
Bagi Indonesia, ini adalah kali ketiga kedatangan Paus. Sebelumnya, Paus Paulus VI sempat datang pada 1970, 19 tahun kemudian, yakni pada 1989, Paus Yohanes Paulus II berkunjung ke Tanah Air. Setelah berselang selama 35 tahun, Pemimpin Umat Katolik Dunia ini akhirnya datang lagi ke Indonesia.
Maka tak heran jika sekitar 8,6 juta umat Katolik di Indonesia berebut untuk bisa turut serta dalam Misa Akbar di SUGBK yang hanya menyediakan sekitar 86 ribu bangku. Peluang 1 persen itu membuat saya cenderung ogah untuk "war tiket". Keputusan ini langsung saya sesali, sesaat setelah menyaksikan Bapa Suci menginjakkan kakinya di Tanah Air, lewat layar televisi.
Mendarat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, sekitar pukul 11.19 WIB pada 3 September 2024, Paus Fransiskus turun dari pesawat komersial, ITA Airways. Dia melanjutkan perjalanan daratnya menuju Jakarta dengan menumpang mobil Toyota Kijang Innova Zenix putih.
Sri Paus sengaja menolak dijemput mobil standar tamu kenegaraan dan memakai jet pribadi dalam kunjungannya. Bahkan, Paus Fransiskus juga menginap di kompleks Kedutaan Besar Vatikan di Jakarta, alih-alih bermalam di hotel mewah. Padahal, Paus mengemban jabatan sebagai pimpinan tertinggi negara Vatikan.
Potret kesederhanaannya itu mengingatkan kembali mengapa saya sempat menaruh perhatian lebih kepadanya. Paus Fransiskus adalah pribadi yang unik dan punya pendekatan yang berbeda ketimbang pendahulu-pendahulunya.
Kiprah Bapa Suci
Paus Fransiskus adalah sosok yang berani mendobrak konservatisme Katolik. Pendekatan yang membuat saya, yang sekitar 12 tahun lalu berada di usia memberontak, melihat pemimpin agama yang jauh dari kesan kaku.
Latarnya sebagai Imam Yesuit pertama yang terpilih menjadi Paus juga memberi kedekatan personal. Pribadi yang mengedepankan hati nurani (conscience) dan belarasa (compassion), adalah dua dari 4C yang menjadi dasar pendidikan sekolah Yesuit. Setidaknya itu yang saya dapat dari pendidikan menengah di salah satu yayasan Yesuit di Indonesia. Cerminan itu yang terpancar dalam diri Bapa Paus.
Lahir dengan nama Jorge Mario Bergoglio, di Buenos Aires, Argentina, pada 17 Desember 1936, dia merupakan orang Amerika Latin keturunan Italia pertama yang terpilih sebagai Paus. Ia juga menjadi Paus non-Eropa pertama sejak Paus Gregorius III dari Suriah yang wafat pada tahun 741.
Pada awal masa kepausannya, Bapa Suci mendorong gereja untuk lebih banyak membahas soal masalah konkret yang dialami dunia, mulai dari masalah kemiskinan, ketidaksetaraan, sampai dengan isu lingkungan. Menurut Paus Fransiskus, kala itu, gereja terlalu banyak membahas perkara aborsi, kontrasepsi nonalamiah, dan homoseksualitas.
Semangat ini juga menjadi bukti konkret dari alasan dia memilih nama Fransiskus atau Francis sebagai nama kepausannya. Ia hendak meneladani dan menghormati Santo Fransiskus dari Assisi, yang memilih kemiskinan sebagai jalan hidup dan membaktikan dirinya untuk melayani orang sakit, kelaparan, dan orang yang terpinggirkan.
Kepribadiannya yang mengutamakan kemanusiaan juga tecermin saat Bergoglio belum menjadi Paus. Saat menjadi pemimpin Yesuit Argentina, ia mengklaim pernah menyembunyikan beberapa orang, termasuk membantu melarikan diri ke negara lain, yang dicari dalam aksi bersih-bersih diktator militer Jenderal Jorge Rafael Videla terhadap elemen kiri dan subversif lain.
Paus Fransiskus juga dikenal sebagai sosok yang sangat memiliki kepedulian sosial, termasuk mengkritisi masalah perbedaan kelas sosial kaya dan miskin. Dia juga sempat menyuarakan agar para pemimpin dunia mencegah ambisi moneter yang berlebihan. Ambisi tersebut, menurutnya, mirip dengan penyembahan berhala uang.
Dia juga sempat menyinggung para kapitalis hipokrit. Pada sebuah misa pagi di bukan Februari 2017, dia mengatakan jika seorang Katolik tak memberi upah layak, mengeksploitasi orang, melakukan bisnis kotor, dan pencucian uang, maka lebih baik bagi mereka hidup sebagai ateis daripada mengaku sebegai pemeluk Katolik.
Kesan humanis dalam diri Paus menempel sampai jelang akhir hidupnya. Dia menaruh perhatian khusus terhadap konflik di Timur Tengah dan kerap mengirim pesan gencatan senjata di Gaza.
Paus Fransiskus selalu memantau kondisi Gaza. Setiap malam, tepat pukul 19.00 waktu Vatikan, dia akan menelepon Pastor Gabriel Romanelli, pastor paroki Gereja Keluarga Kudus, satu-satunya gereja Katolik Roma di sana. Kegiatan ini rutin ia laksanakan sejak 9 Oktober 2023, dua hari setelah serangan di perbatasan Gaza.
Minggu (20/4/2025), pada Hari Raya Paskah di Balkon Basilika, Paus Fransiskus, yang beberapa bulan lalu sempat lama dirawat di rumah sakit menyapa umat. Pada kesempatan itu, dia juga sempat menyampaikan Pesan Paskah, Urbi et Orbi.
Dorongan untuk melakukan gencatan senjata juga kembali dia lontarkan kala itu.
"Saya menyatakan rasa simpati saya terhadap penderitaan orang-orang Kristen di Palestina dan Israel, dan kepada seluruh rakyat Israel dan Palestina... Saya mengimbau pihak-pihak yang bertikai: serukan gencatan senjata, bebaskan para sandera, dan bantulah orang-orang yang kelaparan yang mendambakan masa depan yang damai!"
Pidato terakhirnya di dunia, juga kian mencerminkan upayanya mendorong kemanusiaan dan keberpihakan bagi mereka yang tertindas.
"Tidak akan ada perdamaian tanpa kebebasan beragama, kebebasan berpikir, kebebasan berekspresi dan menghormati pandangan orang lain," ujarnya.
Editor: Irfan Teguh Pribadi