tirto.id - 13 Maret 2013 menandai awal kepausan Jorge Mario Bergoglio. Kabar pemilihannya cukup mengejutkan publik: ia imam Yesuit dan orang Amerika Latin keturunan Italia pertama yang menduduki posisi tersebut.
Seperti dilaporkan Andrew Brown untuk Guardian, Paus Fransiskus, demikian panggilannya, menjadi paus ke-266 karena para kardinal di Vatikan ingin dirinya membenahi birokrasi internal. Namun, tak lama setelah penahbisannya menggantikan posisi Benediktus XVI, Fransiskus menunjukkan sikap yang tak biasa.
Beberapa hari usai pelantikan, ia mengunjungi Casal del Marmo, sebuah penjara remaja di Roma. Di sana ia membasuh dan mencium kaki 12 penghuni penjara yang rata-rata masih muda dalam misa pembasuhan kaki Kamis Putih menuju Paskah. Dua di antaranya adalah muslim dari Serbia.
"Siapa pun yang menjabat di posisi tinggi, justru harus melayani orang lain,” katanya.
Dua bulan berselang, di sebuah misa, Paus Fransiskus mengatakan bahwa ateis sekalipun harus berbuat baik, sebab meski tak percaya dengan eksistensi Tuhan, ateis tetap mendapat kemurahan dan rahmat dari Tuhan. Ia menerangkan bahwa semua orang baik, terlepas dari latar belakang agamanya, akan “bertemu satu sama lain” di alam sesudah kematian. Dengan kata lain: ateis pun punya kesempatan masuk surga asal tak menjahati orang lain.
"Tuhan menciptakan kita menurut gambar dan rupa-Nya, dan kita adalah citra Tuhan, dan Dia melakukan yang baik dan kita semua memiliki perintah ini di hati, yaitu: berbuat baik dan tidak berbuat jahat. Kita semua. 'Tapi bapa, orang ini bukan Katolik! Dia tidak bisa berbuat baik.' Ya, dia bisa ... "Tuhan telah menebus kita semua, kita semua, dengan Darah Kristus: Kita semua, bukan hanya umat Katolik. Semua orang!” demikian sebagaimana dilansir Huffington Post.
Baca juga: Ucapan dan Tindakan Paus Fransiskus yang Kontroversial
Dalam berbagai pemberitaan dan rekaman video yang juga banyak beredar, Paus Fransiskus menegaskan bahwa Islam tidak bisa disamakan dengan terorisme. "Pada hampir semua agama selalu ada kelompok kecil fundamentalis. Kita pun punya kelompok macam itu," ujar Paus. "Jika saya harus berbicara tentang kekerasan dalam Islam, saya pun harus berbicara tentang kekerasan dalam Kristen.”
Ia mengutarakan pembelaannya yang panjang ini tidak lama setelah peristiwa penggorokan leher seorang pastor tua bernama Jacques Hamel pada 26 Juli 2016 saat sedang memimpin misa. Dua orang pelakunya diketahui berafiliasi dengan ISIS kelompok ekstremis ini mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut. Alih-alih menyalahkan pihak pelaku secara sepihak, Paus Fransiskus justru melihat bahwa ini terjadi karena ketimpangan sosial dan karena uang dijadikan sebagai berhala yang disembah.
Komentar mengejutkan terus berdatangan dari mulut sang paus, dan hingga hari ini topiknya beragam. Ia mengkritik keras pejabat yang membuat ketimpangan ekonomi dan kemiskinan terjadi. Ia mengecam orang Katolik yang bertindak munafik. Dalam wawancaranya dengan surat kabar La Repubblica yang dilaporkan ulang Independent, ia bahkan dengan terang-terangan menyebut bahwa 2 persen atau setara dengan 8.000 orang dari total jumlah imam Gereja Katolik, termasuk uskup dan kardinal, adalah seorang pedofil.
Baca juga: Kisah Fransiskus Xaverius, Penyebar Katolisisme di Indonesia
Dengan sikapnya yang blak-blakan, tak mengerankan jika paus kelahiran Buenos Aires, Argentina pada 17 Desember 1936 ini punya banyak musuh, terutama dari kalangan konservatif yang menilai sikap Paus Fransiskus terlampau liberal.
Dalam artikel yang dirilis The Spectator bulan Agustus 2014 silam, misalnya, Pemimpin Redaksi Catholic Heral Damian Thompon memberikan nada-nada ancaman bahwa “Paus Fransiskus sekarang sedang berperang dengan Vatikan. Jika dia menang, gereja bisa berantakan.”
Salah satu isu yang membuat Paus Fransiskus mendapat musuh bahkan dari lingkaran gereja Katolik sendiri adalah pandangannya tentang perceraian. Paus Fransiskus dianggap melanggar prinsip gereja Katolik sejak beratus-ratus, atau bahkan satu milenium terakhir, dengan mendorong para imam Katolik untuk memberi komuni kepada pasangan yang bercerai atau yang sudah menikah lagi atau untuk orang yang orangtuanya tak tinggal bersama lagi.
Resistensi hadir tak lama kemudian. Masih merujuk pada laporan Andrew Brown untuk Guardian, tahun lalu seorang kardinal dan didukung oleh beberapa rekannya yang sudah pensiun, memaparkan kemungkinan untuk menyatakan secara formal bahwa langkah-langkah yang diambil Paus adalah bid'ah/ajaran sesat.
Ajaran sesat yang dimaksud adalah sikap penentangan dari Fransiskus selaku paus atas sebuah doktrin gereja yang sudah mapan. Sikap tersebut, bagi mereka, adalah sebuah dosa yang dapat dihukum dengan tindak pengucilan.
Menuduh paus yang sedang berkuasa sebagai penganut bid'ah adalah pernyataan yang sama-sama berbahayanya. Doktrin Vatikan jelas-jelas menyebutkan bahwa paus tidak bisa salah saat ia berbicara seputar keyakinan Katolik. Jadi, klaim salah-benar ini hanya akan berakhir dalam dua kemungkinan. Jika Fransiskus salah, ia tak akan mungkin jadi seorang paus. Sementara jika paus dianggap selalu benar, pendapat di luar dirinya pasti salah.
Paus Fransiskus juga tidak sedang menawarkan revolusi. Kenyataannya, pasangan Katolik yang cerai atau menikah lagi kerap tetap mendapat komuni. Fransiskus menyadari hal ini, dan membuat perubahan-perubahan sistemik dalam dimensi domestik seperti itu dinilainya akan menyelamatkan masa depan gereja Katolik sendiri. Pasalnya, jika peraturan yang ada benar-benar diterapkan, pasangan yang pernikahannya gagal tak bisa melakukan fungsi reproduksinya lagi, dan akhirnya generasi Katolik muda akan terancam krisis.
Baca juga: Utusan Vatikan di Kalimantan
Pada tanggal 19 Maret 2016 Paus Fransiskus merilis Amoris laetitia (bahasa Latin untuk Kegembiraan Cinta) anjuran apolistik pasca-Sinode. Di dalamnya terdapat kutipan-kutipan dari para paus terdahulu, dokumen-dokumen Konsili Vatikan II dan berbagai konferensi uskup regional, St. Thomas Aquinas, serta Pdt. Martin Luther King, Jr. Intinya berfokus pada isu tentang moralitas dan praktik gereja kontemporer yang memicu perdebatan seperti soal komuni, perceraian, adat istiadat, dan praktik pastoral.
Sudah diduga sebelumnya, Amoris laetitia kemudian mengundang kontroversi dan digugat oleh para 'musuh' Paus Fransiskus. Empat bulan usai peluncuran dokumen dalam empat bahasan (Inggris, Perancis, Jerman, Italia) itu, 45 teolog, prelat, dan pendeta Katolik mengajukan banding plus petisi ke College of Cardinals untuk “menolak” isi Amoris laetitia sebab dinilai mengandung “proposisi yang salah”, demikian sebagaimana dikutip dari Catholic Herald.
Serangan yang sama terjadi bulan lalu, saat beberapa teolog dan pendeta konservatif Katolik mendakwa Paus Fransiskus telah menyebarkan tujuh ajaran sesat, yang dalam laporan CNN, didasarkan pada sikap dan kebijakan Fransiskus yang bersifat cukup reformis. Dakwaan tersebut berbentuk surat yang ditandatangani 60-an orang dan mengklaim isinya mewakili “sejumlah besar” pendeta Katolik dan penganut Katolik yang “tidak memiliki kebebasan bicara”.
Isi surat tersebut tidak secara eksplisit dan langsung untuk menyebut bahwa Paus Fransiskus telah menjadi penganut bid'ah, namun dituduh mendukung “posisi bid'ah” dalam isu “pernikahan, moral kehidupan, dan Ekaristi.” Isi surat kemudian menegaskan bahwa “hukum gereja sendiri mengisyaratkan agar orang-orang yang kompeten untuk tidak tinggal diam saat pastor-pastor gereja menyesatkan kawanan domba [pengikut Kristus].”
Pada bulan Juli 2015, Paus Fransiskus membuat pernyataan menarik: “Jika seorang gay berupaya mencari jalan menuju Tuhan dan punya niat baik, siapa aku kok menghakiminya?” Pernyataan ini segera menjadi gelombang yang menghantam tembok konservatisme Gereja Katolik sebab sang paus dinilai mengambil sikap netral dalam isu homoseksual.
Dalam catatan Time, beberapa bulan sebelumnya, Paus Benediktus XVI justru dengan tegas menyatakan bahwa pernikahan sesama jenis adalah ancaman bagi kedamaian global.
Baca juga: Kisah Paus Yohanes Paulus II Mengampuni Mehmet Si Pembunuh
Di saat tokoh-tokoh internal Katolik luar Vatikan terlihat memusuhi Paus Fransiskus dengan implisit tapi tegas, Uskup Agung Tomash Peta dari Kazakhtan berani blak-blakan. Isu homoseksualitas yang dibawa ke permukaan oleh Paus Fransiskus dinilai Peta telah mengundang “asap setan” ke dalam gereja. Peta menyebutnya sebagai “infiltrasi kesetanan” sebagaimana dilaporkan Church Millitant.
“Dilarang menghancurkan fondasi—menghancurkan batu,” ungkapnya.
Monsinyur Robert Wister, profesor sejarah gereja di Universitas Seton Hall di New Jersey, berkata pada CNN bahwa Paus Yohanes XXII pernah ditegur oleh bawahannya di tahun 1330-an karena sang paus mengajarkan bahwa jiwa orang mati tidak akan melihat wajah Tuhan hingga Hari Penghakiman Terakhir tiba. Namun, kasus ini tak bisa dibandingkan secara proporsional dengan apa yang kini dihadapi Paus Fransiskus.
Jadi, apa efek permusuhan kepada Paus Fransiskus ke depannya? Wister menilai kondisi tersebut bisa memicu perlawanan yang lebih ekstrem kepada Paus Fransiskus. Imam dan uskup di banyak negara akan makin banyak yang tidak menyukai arahan pastoralnya.
Namun, di sisi lain, orang-orang yang bereaksi positif dengan sikap Paus Fransiskus juga banyak—bahkan hingga di luar lingkaran Gereja Katolik. Orang-orang lintas agama dan latar belakang banyak yang memuji sikap baru paus yang lebih terbuka terhadap isu-isu sensitif.
“Banyak orang yang menyukai Fransiskus. Mereka melihat dalam dirinya terdapat belas kasihan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya di Gereja Katolik. Muncul usaha [dari Paus Fransiskus] untuk memahami realitas hidup yang amat kompleks ini.”
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf