tirto.id - Masyarakat Sulawesi di media sosial beberapa hari terakhir digegerkan dengan post tentang Yo Banni, suku kerdil yang konon ada di tanah itu. Sebuah foto disebarkan, pria dewasa dikelilingi manusia-manusia mungil yang memakai pakaian dari rumput. Caption foto itu berisikan tentang penjelasan bahwa mitos Yo Banni telah dipecahkan dan orang-orang itu memang benar ada. Masalahnya mereka bukan Yo Banni, tetapi aktor dalam sebuah film dari Thailand.
Post tentang penemuan foto suku kerdil itu disebarkan oleh ribuan orang, sebagian besar merasa kagum dan kaget, kurang dari satu persen yang kemudian bertanya secara kritis tentang kebenaran foto itu. Beberapa media di Sulawesi ikut menyebarkan berita itu, forum di Kaskus juga meramaikan kabar tentang Yo Banni sebagai kebenaran.
Ratusan atau mungkin ribuan orang dibikin kaget dan percaya, tapi ketika penjelasan atau bantahan dibuat, sedikit yang memuat kembali. Mungkin yang menyebarkan malu tampak bodoh menyebarkan kabar bohong atau hoax.
Mengapa kita menyukai hoax atau kabar bohong? Riset yang dilakukan oleh Robert Feldman, psikolog dari University of Massachusetts menunjukkan bahwa kebohongan memiliki keterkaitan dengan kepercayaan diri. Saat kepercayaan diri kita terancam seseorang akan dengan mudah berbohong. Riset Feldman ini dimuat dalam Journal of basic and Applied Psychology.
Setidaknya 60 persen dari orang yang diriset oleh Feldman ini berbohong dalam setiap perbincangan yang dilakukan. Hal serupa juga terjadi pada internet, kita kerap menambahi kabar yang belum pasti dengan kebohongan sehingga menghasilkan hoax berantai.
Feldman menyebut orang kerap berbohong secara refleks ketika berbicara, mirip dengan perilaku membual. Kita bisa menemukannya dalam praktik hidup sehari-hari, terutama pada kabar-kabar yang menurut kita menarik.
Dalam broadcast BBM atau WhatsApp, atau postingan berita di media sosial, komentar adalah sikap personal yang kadang ditelan sebagai kebenaran. Menambahkan detail yang tidak ia ketahui supaya dianggap paham atau mengerti sebuah subjek berita.
Kebohongan, menurut Feldman, lahir karena banyak orang yang ingin diterima dan membuat orang lain terkesima pada diri kita. Kita membuat dan menyebar kebohongan agar diterima dan membuat orang lain menjadi suka.
Sayangnya, penelitian Feldman ini hanya terbatas pada 121 pasangan responden dan tak bisa menjadi representasi populasi masyarakat saat ini. Namun, kolumnis The Daily Dot, Cabell Gathman punya pendapat lain kenapa di era media sosial kita gemar menyebarkan kebohongan.
Menurut Cabell, saat ini banyak orang di media sosial tak lagi membaca konten yang mereka bagikan. Orang-orang di media sosial kerap hanya membaca judul yang mereka pikir benar. Ini bisa dilihat dari beberapa berita yang kadang judul dan isinya tak berkaitan, tetapi ketika dibagikan orang cenderung berkomentar tentang judulnya saja.
Pada peristiwa perseteruan Ahok dan Risma beberapa waktu lalu, orang banyak yang menyebarkan berita miring tentang komentar Ahok yang dianggap menghina Surabaya, padahal isi berita itu bertentangan dengan peristiwa sebenarnya.
Kemalasan orang untuk melakukan verifikasi, atau tabayun, atau berbaik sangka, banyak digunakan oleh para pemburu klik untuk menulis judul bombastis, berita bohong, atau konten yang asal agar disebarkan di media sosial. Ini yang kemudian membuat banyak media yang tak kredibel mendapatkan porsi penyebaran atau sharing yang tinggi di media sosial.
Banyak dari netizen yang menyebarkan berita dari situs media yang tidak kredibel, tidak patuh etika jurnalistik, atau punya integritas dalam menyebarkan berita. Padahal menurut Cabell, untuk mencegah hoax, hal sederhana yang bisa dilakukan adalah melihat legitimasi dari sumber berita.
Beberapa kabar hoax beredar di media sosial besar seperti Twitter dan Facebook. Bisa berupa postingan mandiri berupa foto dari akun individu atau tautan dari blog atau media yang tak kredibel. Sejauh ini banyak orang yang memperlakukan Facebook seperti Google dan menjadikan segala isinya sebagai kebenaran.
Dr. Pamela Rutledge, director of the Media Psychology Research Center, menyebut bahwa gejala ini terjadi karena orang rentan terhadap paparan informasi. Berita yang banyak bertubi membuat orang malas memverifikasi dan mencari kebenaran. Mereka merasa tak berdaya, dan mereka takut.
Pernahkah Anda menyebarkan foto seorang anak yang dikabarkan dari Irak, atau Pakistan, atau Palestina, atau Suriah yang ternyata merupakan foto lama dari anak yang merupakan korban ledakan di tempat yang lain? Foto bencana alam yang kemudian diduga menjadi foto pembantaian umat muslim oleh umat Budha di Rohingya? Sentimen kelompok dan politik identitas yang ditambah kebencian rasial membuat orang dapat menyebarkan kebohongan tanpa peduli akan kebenaran.
Dr. Rutledge juga menjelaskan bahwa ketika ada kabar buruk atau kabar tragedi seseorang merasa punya tanggung jawab moral untuk berbagi. Tanpa peduli apakah itu hoax atau tidak. Di media sosial, orang merasa punya beban untuk berbagi penderitaan agar bisa merasa lebih baik.
Juga pandangan bahwa jika tak menyebarkan berita duka tersebut, orang yang tak menyebar akan mengalami nasib buruk. Menyebarkan kabar tragedi, seperti penderitaan anak di Suriah, meski belum terkonfirmasi kebenaranya terasa lebih baik daripada hanya diam saja.
Orang-orang juga sangat rentan dengan bias konfirmasi dari berita yang beredar. Misalnya Anda mendapatkan sebuah broadcast tentang berita, lalu menyebarkannya dengan tambahan kata-kata “dari grup sebelah” sebagai tindakan preventif agar jika berita itu bohong, anda bisa berkilah, “bukan dari aku kok”. Perilaku ini merupakan upaya lepas tangan dari tanggung jawab kebenaran. Informasi dari broadcast sangat susah diverifikasi dan dilacak siapa penyebar awalnya.
Prof. Shannon Rauch, asisten profesor psikologi di Benedictine University di Mesa, menyebutkan bahwa ada gejala orang di media sosial untuk ikut bicara pada suatu tema agar bisa dianggap mengerti. Sebuah berita yang menjadi trending topic di media punya kecenderungan disebarkan lebih banyak, tanpa adanya upaya verifikasi terlebih dahulu, agar tidak terlihat ketinggalan. Dengan menyebarkan satu berita yang ramai dibicarakan orang bisa merasa tahu dan dianggap punya legitimasi sebagai orang yang berpengetahuan luas.
Ia juga mengatakan bahwa orang yang terjebak hoax biasanya mengalami information overload. Banyaknya informasi membuat orang malas dan kerap kali terjebak dengan berita-berita yang tak benar. Menurut Rauch, anak muda merupakan kelompok yang paling rentan menyebarkan hoax karena perilaku scrool-share tanpa baca serius. Apalagi dengan ditambahi komentar, lapisan kebenaran menjadi sangat-sangat kabur dan tak lagi jelas.
Salah satu yang menyebabkan beredarnya hoax adalah sikap segan dan tunduk pada otoritas yang lebih tinggi. Misalnya kita punya seseorang yang diidolakan sebagai orang jujur, tak pernah bohong, atau berintegritas, kerap membuat kita tak perlu memeriksa apakah berita yang diberikan itu benar atau hoax.
Hal serupa juga terjadi ketika seseorang membaca satu berita bohong yang berulang-ulang, lantas membuat asumsi bahwa berita itu sebagai kebenaran. Misalnya terjadi pada kasus kematian Mr Bean atau Morgan Freeman yang berkali-kali dikabarkan meninggal, orang dengan mudah mengucapkan belasungkawa atau duka.
David Gibson, profesor sosiologi dari University of Notre Dame, menyebut bahwa kabar bohong dibuat dalam satu jaringan sosial untuk menjaga kepentingan. Kadang secara sadar seseorang menyebarkan kebohongan untuk membantu agenda yang dibuat. Profesor Gibson menyebut korporasi, lembaga negara, dan militer kerap membuat propaganda kebohongan agar kepentingan mereka bisa terjaga. Dalam hal ini hoax dibuat agar orang tak lagi fokus pada masalah sebenarnya dan terjebak pada hal-hal bombastis yang bukan jadi pokok persoalan.
Hal serupa diadopsi oleh Nazi dan pemerintahan fasis lainnya. Propaganda adalah kebenaran yang dipotong agar tampak indah. Misalnya ketika dulu Soekarno yang dimanfaatkan Jepang untuk romusha. Proganda dalam sejarah juga digunakan negara untuk mengatur masyarakat, mencuci otak mereka dengan kebenaran yang lain. Seperti bagaimana Orde Baru bisa sukses membuat propaganda bahwa melihat gerhana matahari secara langsung bisa membuat mata buta.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti