Menuju konten utama

Berita Hoaks di Tengah Media Mainstream yang Makin Partisan

Ketika berita hoaks sudah menjadi pembicaraan sekaligus masalah publik dan politik di Indonesia.

Berita Hoaks di Tengah Media Mainstream yang Makin Partisan
Ross Tapsell, peneliti media Indonesia, dosen ANU. tirto.id/Sabit

tirto.id - Istilah "berita palsu" telah menjadi jargon dalam nomenklatur politik dewasa ini di seluruh dunia. Di Indonesia, ada kekhawatiran besar soal maraknya "berita hoaks" setelah Pilkada DKI Jakarta 2017.

Ketika orang Indonesia semakin sering memanfaatkan media sosial sebagai asupan berita harian, partai politik dan kelompok-kelompok kepentingan berusaha memperluas pengaruh lewat panggung digital. Ini tentu bukan hal mengejutkan lagi.

Seperti halnya negeri-negeri Asia Tenggara lain, keterlibatan parpol dan kelompok kepentingan dalam diskursus media sosial di Indonesia mulai mengadopsi ungkapan-ungkapan perang—media sosial telah "dipersenjatai" oleh "pasukan online" (online armies) atau "pasukan siber" (cybertroopers).

Kenyataannya, studi berlingkup global oleh para peneliti dari Oxford Internet Institute telah mengidentifikasi gelombang pasang "bot" dan akun-akun medsos palsu yang sengaja dipakai untuk menyebarkan disinformasi. Di Indonesia, "kampanye hitam" yang didasarkan pada kebohongan dan fitnah semakin banyak dihasilkan dan menyebar secara online, sebagaimana ditunjukkan oleh "pabrik berita hoax" Saracen, yang terekspos pada Agustus silam.

"Berita hoaks" online yang kini jadi masalah di Indonesia telah bikin gamang pemerintahan Joko Widodo. Pemerintah pun mengambil sejumlah tindakan, misalnya mendirikan badan koordinasi anti-hoaks, unit polisi khusus, bahkan aktivitas Car Free Day bertema "anti hoax" guna meningkatkan kesadaran masyarakat.

Situs berita ramai-ramai menurunkan rubrik khusus mendeteksi apakah sebuah berita hoaks atau bukan. Dewan Pers memberlakukan tanda centang verifikasi (barkode) untuk 74 sumber berita online profesional. Terakhir, Facebook membuka kantor di Jakarta dengan jalur komunikasi langsung dan cepat dengan pemerintah Indonesia.

Namun, apakah langkah-langkah ini bakal manjur membatasi jumlah dan penyebaran disinformasi menjelang Pemilu 2019?

Menggerebek "pabrik" disinformasi seperti Saracen adalah satu hal, tetapi tak semua disinformasi yang tersebar via medsos dilakukan lewat iklan berbayar di Facebook atau bot Twitter. Ada banyak bahan disinformasi yang justru dibagikan oleh warganet biasa, dan ini terbantu oleh meningkatnya popularitas aplikasi chat seperti WhatsApp dan Telegram.

Fokus pada saluran-saluran penyebar disinformasi justru menjauhkan para pembuat kebijakan dari masalah mendasar, yang sejak awal menjadikan para calon pemilih Indonesia sebagai target berita hoaks, yakni turunnya kepercayaan terhadap kepemimpinan demokratis dan media arus utama, ditambah lagi rendahnya literasi digital.

Defisit Kepercayaan

Tingkat kepercayaan terhadap jurnalisme profesional di Indonesia cukup rendah. Dalam survei tahun 2017 tentang kepercayaan atas lembaga-lembaga besar, peringkat terendah ditempati partai politik (45%), parlemen (55%), pengadilan (65%), dan media massa (67%). Bahkan peringkat kepolisian Indonesia yang terkenal korup (70%) mengalahkan pers.

Hasil seperti itu bisa dimengerti ketika menyaksikan produk-produk yang ditawarkan lapak-lapak berita populer. Sumber berita politik paling populer di Indonesia adalah siaran televisi yang kontennya jelas dipengaruhi kepentingan oligarki—sebuah masalah besar bagi industri media setempat.

Metro TV (milik Surya Paloh, ketua Partai NasDem yang pro-Jokowi) secara umum dipandang sebagai corong pemerintah Jokowi. Sementara panggung-panggung media milik lawan-lawan Jokowi menunjukkan bias sebaliknya, dengan liputan berita yang cenderung mengkritik pemerintah.

Praktik-praktik media arus utama pun tak luput dari disinformasi.

Pada malam penghitungan suara Pemilu 2014 yang penuh ketegangan, siaran tvOne membuat kandidat yang kalah (Prabowo Subianto, didukung oleh pemilik tvOne) seolah-olah menang. Tak hanya itu, tvOne membikin jajak pendapat abal-abal untuk mendukung klaim kemenangan tersebut. Berita bias macam ini telah melahirkan suatu kepercayaan umum bahwa semua media arus utama partisan.

Dalam iklim seperti ini, orang beralih ke sumber-sumber informasi alternatif, yang sebagian besar online dan nyaris seluruhnya berkisar di jaringan media sosial mereka sendiri. Seorang juru kampanye media sosial menjelaskan kepada saya:

"Banyak orang yang akhirnya mengakses berita online karena mencari apa yang menurut mereka benar, sesuai standar kebenaran mereka. [Selama pilkada Jakarta] Ada banyak narasi online yang sengaja diciptakan untuk memancing perasaan.”

Dalam lingkungan macam ini, orang mudah terpancing oleh opini-opini yang beredar di linimasa akun media sosial mereka sehingga cepat mengambil sikap untuk isu-isu sektarian atau diskursus terkait identitas lainnya.

Facebook adalah gelanggang utama pertarungan wacana-wacana yang melahirkan polarisasi ini. Para blogger Facebook dan "seleb medsos" seperti Jonru Ginting dan Felix Siauw mewakili bentuk baru praktik komunikasi kampanye yang sangat inovatif. Tokoh-tokoh ini memperlakukan media sosial laksana blog dan bersikap layaknya seorang yang selalu bicara terus terang dan apa adanya.

Strategi mereka yang berpusat di media sosial ternyata cocok dengan orang-orang yang menghabiskan lebih banyak waktu bersama ponsel mereka untuk menjelajah media sosial. Blogger-blogger dan seleb medsos ini menafsirkan berita-berita arus utama—yang mereka tuding bias—untuk para penggemar dan sering mengklaim bahwa mereka menuturkan apa yang sebenarnya terjadi dengan nada khas "cerita orang dalam".

Meringkus komentator-komentator alternatif media sosial—bahkan jika mereka bersalah menyebarkan berita bohong dan ujaran kebencian—hanya akan melahirkan teori-teori konspirasi yang menyatakan bahwa kebenaran telah dibungkam.

Lebih luasnya lagi, pesan elite-elite komentator Facebook ini jelas berbeda dari retorika yang steril dan non-kontroversial bikinan tim PR (public relations), seperti yang sangat dominan pada dekade pertama abad 21. (Anda bisa bayangkan pesan-pesan Tony Blair di Inggris atau Susilo Bambang Yudhoyono yang sengaja dirangkai agar tak mencolok tetapi rapi.)

Sebagaimana dikatakan sarjana media Eric Louw, yang terjadi sepanjang dekade tersebut adalah "PR-isasi politik" ketika kerja-kerja tim humas berperan signifikan dalam politik. Bisa dibilang hari ini kita sedang menyaksikan kemunculan sebuah masyarakat dengan gaya komunikasi lebih informal dan menonjolkan efek personal ("a more personalised and informal information society").

Kabar Bohong dari Orang Dekat

Tentu budaya berbagi disinformasi di Indonesia tidak lahir dari teknologi digital. Dalam satu artikel tahun 1994 tentang peran rumor selama kediktatoran militer Soeharto (1965-98), antropolog James Siegel menulis bahwa "di era Orde Baru, sebuah rumor dianggap subversif bukan karena menyasar pemerintah, melainkan jika sumbernya diyakini bukan dari pemerintah".

Di bawah pemerintahan otoriter, praktik-praktik menyampaikan informasi, rumor, dan gosip kian menjadi ciri khas warga Indonesia agar bisa memahami cerita yang sesungguhnya, atau memperoleh informasi tambahan. Sumber non-pemerintah lebih dipercaya, khususnya jika sumber itu adalah orang yang Anda percaya.

Seperti yang telah kita dengar, dalam banyak hal, praktik ini terus berlangsung di era demokrasi. Bedanya, mediumnya saja yang pindah ke online.

Dalam banyak hal lagi, rendahnya kepercayaan terhadap sumber-sumber resmi ini dapat dipahami sepenuhnya.

Penjelasannya dapat kita ambil dari contoh kejadian baru-baru ini. Pada Juni 2016, media-media di Indonesia melaporkan skandal vaksin palsu yang melibatkan 14 rumah sakit dan 8 klinik. Praktik ini diduga telah berlangsung selama 13 tahun. Kepanikan pun menyerbu para orangtua yang terekspos berita tersebut. Seorang ibu mengatakan "tak banyak berharap" dan hanya membutuhkan "informasi soal apa yang harus dilakukan jika putrinya sudah diberi vaksin palsu".

Dihadapkan pada situasi serba sulit ini, sekelompok orangtua melakukan sesuatu yang makin sering dijumpai di Indonesia: membuat grup WhatsApp.

Tujuannya mengedarkan informasi terkait skandal tersebut, dengan harapan agar tiap anggota grup mendapat informasi yang lebih memadai. Seorang ibu berkata bahwa rumah sakit, pemerintah, bahkan media arus utama punya motif tersembunyi: "Mereka mau bilang apa pun, toh mereka tahu anak-cucu mereka enggak terkena vaksin palsu."

Maklum, alih-alih percaya sumber-sumber resmi, para orangtua ini lebih mengandalkan jaringan pribadi mereka yang beredar di WhatsApp.

Facebook adalah Internet

Pokok penting dari pergeseran model masyarakat informasi ini adalah fakta bahwa jutaan orang Indonesia—di segala kelompok umur—pertama kali mengakses internet lewat ponsel Android murah bikinan Tiongkok dengan koneksi 2G. Karena bandwidth yang lambat dan akses wifi yang minim di pelbagai tempat, mereka sulit menonton video atau mencari informasi di Google. Mayoritas menggunakan koneksi 2G untuk chat di Facebook dan WhatsApp.

Namun, rupanya sulit pula mengukur berapa jumlah persisnya. Sebab, saat menjawab survei profesional, ada banyak orang yang mengatakan aktif di Facebook tapi tidak punya akses internet.

Bagi banyak orang Indonesia yang baru mencicipi dunia online, Facebook adalah internet dan internet adalah Facebook. Sebagaimana dicatat Elizabeth Pisani selama perjalanannya ke seantero Indonesia, "[j]utaan warga Indonesia menghabiskan 2 dolar AS per hari dan aktif di Facebook".

Myanmar adalah contoh betapa bahayanya pengadopsian internet yang cepat di tengah rendahnya tingkat pendidikan. Di Myanmar, Facebook telah diakui sebagai media yang berperan besar dalam penyebaran ujaran kebencian terhadap muslim Rohingya.

Tantangan dari kasus-kasus di Indonesia ini jarang sekali diberitakan besar-besaran, tetapi tak kalah penting. Mungkin baru dekade berikutnya seratusan juta orang Indonesia akan memakai internet untuk pertama kali selama hidupnya. Jika tren akhir-akhir ini terus berlanjut, orang hanya akan tahu segelintir porsi dari keberlimpahan informasi yang disediakan internet.

Mereka akan mengakses situs-situs yang ada tanpa pengetahuan dasar tentang bias, bahaya, dan betapa besarnya kapasitas pengaruh internet. Tren ini sudah berdampak hebat pada kehidupan politik, agama, hingga cara warga mengakses informasi. Ia harus segera diatasi.

Jadi, seperti apa prospek internet dalam demokrasi Indonesia, dalam konteks ketika rumor dan disinformasi telah lama menjadi pokok pembicaraan politik sehari-hari?

Respons negara terhadap problem disinformasi jelas tidak memadai. Sedikit sekali program literasi digital di Indonesia.

Pada 2013, revisi kurikulum nasional secara kontroversial menghapus pendidikan Teknologi Informasi dan Komunikasi, menggantinya dengan "bahasa Indonesia, nasionalisme dan pendidikan agama". Menurut penelitian terbaru mengenai masalah ini, sekolah hanya menyumbang 3,68 persen dari seluruh "kegiatan literasi digital" di Indonesia. Lebih dari 56 persen aktivitas literasi digital muncul dari kampus-kampus—dan ini menunjukkan perbedaan kelas yang mencolok dalam akses literasi digital.

Literasi Digital

Saya sudah berargumen bahwa masyarakat informasi Indonesia mengalami pergeseran yang cepat karena meningkatnya penggunaan ponsel dan media sosial, sejalan menurunnya kepercayaan pada media arus utama. Jika lembaga-lembaga demokratis yang menyiarkan informasi ke masyarakat sulit dipercaya, menjamurnya sumber-sumber alternatif adalah sebuah kewajaran.

Kemunculan "berita hoaks" adalah cermin kegagalan jangka panjang lembaga-lembaga demokratis ini—dan bukan sesuatu yang mudah dan cepat diperbaiki dengan menyasar produk-produk informasi yang telah mereka hasilkan.

Alih-alih meningkatkan kekuatan pasukan siber, pemerintah dan masyarakat Indonesia harus memperkuat sumber-sumber informasi yang independen dan tepercaya. Ini solusi yang lebih baik untuk mengatasi masalah-masalah yang menjangkiti masyarakat informasi di Indonesia.

Langkah pertama adalah memperbaiki kredibilitas media arus utama. Ini menuntut komitmen lebih besar dari para pemilik media dan editor terhadap jurnalisme non-partisan, serta komitmen dari pelaksana regulasi untuk menerapkan standar objektivitas.

Seperti yang telah saya kemukakan dalam kesempatan lain, lembaga-lembaga siaran publik yang telah lama terbengkalai mampu dan harus dipasok lebih banyak sumber daya supaya menjadi sumber berita yang kredibel.

Langkah kedua adalah mengatasi hambatan dan lambannya akses internet, yang akhirnya hanya akan menyuplai berita-berita keliru untuk konsumen yang selama ini telah mengandalkan Facebook dan WhatsApp untuk asupan informasi politik.

Yang terakhir dan terpenting, program-program literasi digital menjelang Pemilu 2019 harus diutamakan oleh pemerintahan Jokowi. Yang perlu diprioritaskan di sini adalah memperluas dan mengembalikan pendidikan teknologi informasi dan komunikasi serta literasi digital ke dalam kurikulum nasional.

Semakin banyak ponsel murah digunakan anak-anak muda di Indonesia, semakin besar pula urgensi literasi digital untuk kelompok usia ini agar mereka bisa menimbang secara kritis sumber-sumber informasi yang diakses. Dengan bantuan alat tepat guna, teman, dan kerabat, anak muda menjadi bagian penting dari upaya-upaya menangkal disinformasi online.

Tak dapat dimungkiri kita hidup di masa orang merasa identitas kelompok mereka luntur, direndahkan, bahkan diserang. Sebaik apa pun upaya pembuat kebijakan, banyak orang merasa nyaman dalam "gelembung filter" (filter bubbles) dan senang menyimak pendapat-pendapat sejenis yang sesuai keyakinan mereka di media sosial.

Wacana-wacana di media sosial akhirnya mengubah dan mencerminkan sifat masyarakat dewasa ini, sementara kampanye politik emosional yang telah mendorong sektarianisme dan etno-nasionalisme akan sulit hilang dalam waktu dekat.

============

Tulisan ini diterjemahkan oleh Windu Jusuf dari "Disinformation and democracy in Indonesia" yang dimuat di New Mandala pada 12 Januari 2018, dalam seri laporan khusus terkait krisis demokrasi di Asia Tenggara yang didukung oleh Yayasan Tifa. Penerjemahan dan penerbitan di Tirto atas seizin penulis dan penerbit. Twiitter: @RossTapsell

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.