tirto.id - Kini, media sosial tak lagi menjadi sumber utama orang-orang dalam mengakses berita. Konsumen mulai berpindah ke aplikasi percakapan.
“[Terjadi] penurunan unggahan dan berbagi berita di Facebook," demikian hasil jajak pendapat global Reuters Institute (Digital News Report 2018).
Sekitar setengah dari sampel jajak pendapat Reuters Institute itu di Malaysia (54%) dan Brasil (48%), atau sekitar sepertiga di Spanyol (36%) dan Turki (30%), tercatat menggunakan WhatsApp sebagai sarana mengakses berita.
Untuk kepentingan mencari bahan awal berita, Facebook ataupun Twitter memang masih banyak digunakan, tetapi diskusi lebih lanjut atas suatu berita terjadi di aplikasi seperti WhatsApp, khususnya grup WhatsApp.
Mereka beralasan ruang kebebasan dan privasi dari aplikasi perpesanan dirasa lebih baik daripada jaringan media sosial. Soal lain, diskusi yang berujung perdebatan cenderung lebih rentan jika dilakukan di Facebook ataupun Twitter karena terlalu terbuka. Pengguna merasa tidak nyaman dengan situasi itu.
Dari data global mengenai tren selera konsumen atas industri berita (lihat tabel di bawah), terlihat hanya WhatsApp yang performanya meyakinkan selama tiga tahun terakhir. Pada 2016, penggunanya ada di kisaran angka 10 persen. Dua tahun kemudian, kekuatannya tumbuh hingga 4 persen.
Laporan tersebut turut menggarisbawahi bahwa WhatsApp sendiri telah dibeli oleh Facebook pada 2014 seharga $19 miliar dalam bentuk tunai dan saham.
Media Dipercayai oleh Separuh Responden
Kepercayaan terhadap berita di media sosial ternyata kecil, hanya 23 persen. Berita yang dicari lewat mesin pencari lebih banyak dipercaya, yakni oleh 34 persen responden. Selanjutnya, hanya kurang dari separuh atau 44 persen orang yang percaya berita dari media secara keseluruhan. Meski demikian, ada 51 persen yang percaya berita dari media yang sering digunakannya.
Misinformasi Merajalela? Media pun Perlu Otokritik
Misinformasi tak hanya dibuat oleh produsen non-media. Masyarakat ternyata punya kesadaran bahwa misinformasi diproduksi oleh media jurnalistik. Responden jajak pendapat global Reuters Institute punya perhatian terkait misinformasi sebagai “fakta diputar atau dipelintir untuk agenda tertentu” (59%).
Hal selanjutnya yang menjadi perhatian mereka terkait misinformasi adalah hal-hal yang berkelindan dengan praktik jurnalisme profesional: cerita/berita yang sepenuhnya dibuat untuk alasan politik atau komersial (58%), jurnalisme yang buruk (55%), serta iklan yang dibuat seperti berita (43%).
Jurnalisme Buruk Tak Hanya Ada di Media Online
Responden juga memperhatikan bahwa misinformasi tidak melulu dikuasai oleh media jagat online. Mereka mendapati jurnalisme buruk pada berita offline.
Di Indonesia, perhatian soal kualitas jurnalisme juga disorot dalam survei yang dilakukan Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), Februari 2017 (PDF). Survei itu menunjukkan bahwa pengertian masyarakat soal hoaks mencakup hal-hal seperti “berita bohong yang disengaja” (90,30%), “berita yang menghasut” (61,60%), dan “berita yang tidak akurat” (59%).
Laporan Mastel pun menyatakan jaringan media sosial menjadi saluran utama penyebaran berita hoaks. Menurut survei ini, hoaks menyebar karena menjadi “alat mempengaruhi opini publik” (40,60%). Alasan lain: karena “masyarakat senang berita heboh” (28,90%).
Misinformasi Tanggung Jawab Siapa?
Dalam survei Mastel, kebanyakan responden berpendapat bahwa tanggung jawab penanggulangan penyebaran hoaks ada pada “diri sendiri” (85,20%). Artinya, mereka melihat penyebaran berita hoaks dalam kacamata konsumsi informasi individu, bukan sebagai masalah struktural.
Di sisi lain, pendekatan pemerintah pun masih terbatas dalam memahami lanskap misinformasi (PDF). Belum ada telaah terkait problem dari dampak jaringan media sosial dan bagaimana cara orang mengonsumsi berita. Juga soal bagaimana perusahaan media mencari jalan baru dalam menghasilkan uang.
Padahal, ada peran algoritma media sosial dan mesin pencari yang memungkinkan berita menyesatkan (misinformation) terkonsumsi. Facebook, yang menjadi salah satu medium merajalelanya hoaks, pada Januari 2018 telah menyesuaikan filter pada News Feed-nya.
Sementara itu, Digital News Report 2018 menunjukkan 75 persen responden global berpendapat bahwa penerbit berita (publisher) dan 71 persen menunjuk pemilik platform teknologi media sosial sebagai sosok yang paling bertanggung-jawab atas problem misinformasi. Ada pula 61 persen dari mereka menyatakan persoalan itu adalah urusan dan beban pemerintah.
Editor: Maulida Sri Handayani