tirto.id - CEO OpenAI, Sam Altman memperingatkan kepada publik bahaya di balik populernya aplikasi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) seperti Generative Pre-Trained Transformer (ChatGPT).
Sebagai pencipta teknologi tersebut, Sam sendiri mengaku takut melihat perkembangan AI yang sangat cepat itu.
“Sedikit takut tentu saja. Kalau saya bilang saya tak takut, mestinya Anda tak percaya itu. Atau pun sepatutnya, Anda tak suka saya ada di posisi sekarang [jadi CEO OpenAI]," kata Sam saat diwawancarai ABC News dikutip Senin (3/4/2023).
Ia menuturkan terdapat beberapa dampak buruk yang dapat ditimbulkan dari ChatGPT ini. Salah satunya yang paling membuatnya takut yaitu ChatGPT bisa digunakan untuk menyebarkan disinformasi dalam skala besar.
"Saya khawatir bahwa sistem yang semakin maju dalam penulisan kode program bisa digunakan dalam penyerangan dunia maya. Dan kami berusaha mencari cara untuk menanganinya," ucapnya.
ChatGPT merupakan sebuah perangkat lunak yang dikembangkan oleh OpenAI. Sementara Open AI merupakan platform kecerdasan buatan yang didirikan pada 2015 oleh Sam Altman dan Elon Musk.
Pada akhir November 2022, OpenAI secara resmi mengumumkan versi prototipe dari chatbot AI terbaru mereka yang diberi nama ChatGPT.
Chatbot ini dapat membuat sebuah model bahasa alami yang menggunakan proses pembelajaran deep learning. Teknologi ini bisa menjawab pertanyaan user dengan langkah yang sama seperti manusia, namun dalam bentuk teks otomatis.
Chatbot tersebut dapat memberikan jawaban ketika pengguna mengirimkan pertanyaan atau perintah untuk membuat sesuatu dalam bentuk teks.
Potensi Tsunami Hoaks
Pendiri Drone Emprit sekaligus Pakar Media Sosial, Ismail Fahmi mengatakan, memang ChatGPT dapat berpotensi terjadinya tsunami hoaks jika disalahgunakan. Apalagi saat ini menjelang tahun politik pemilihan umum (Pemilu) 2024.
Ia menjelaskan ChatGPT dapat membuat karangan cerita sesuai pertanyaan yang diajukan oleh pengguna. Misalnya ketika pengguna meminta ChatGPT membuat sebuah cerita.
ChatGPT akan membuat artikel tersebut dari berbagai sumber yang belum diketahui tingkat akurasi dan kebenarannya. Bisa saja sumber yang dirujuk dari artikel berita, jurnal, dan sebagainya. Hal itu sehingga berpotensi terjadi disinformasi.
Dari konten yang dibuat, lalu disebarluaskan secara masif ke dunia maya tanpa diverifikasi kembali ke sumber primer tersebut.
"Ya berpotensi terjadi tsunami hoaks itu. ChatGPT ini, kan, buat alat bantu buat cerita, bisa dikarang semaunya," kata Ismail kepada Tirto, Senin (3/4/2023).
Kemudian, ia mengatakan, ChatGPT bisa saja disalahgunakan untuk membuat kampanye hitam (black campaign) untuk menyerang pasangan calon lain.
Hal tersebut dikawatirkan dapat disalahgunakan oleh buzzer untuk untuk menyerang lawan politiknya.
Ismail menjelaskan, biasanya pihak yang mudah menyalahgunakan arus informasi yaitu menggunakan ChatGPT versi 4 dibandingkan versi 3.5.
ChatGPT versi 4 memang berbayar, tetapi lebih bebas digunakan untuk menyusun kampanye negatif, misalnya menyusun skenario jahat untuk menjatuhkan lawan politiknya.
"Kalau versi 3.5 kan kalau dibuat kaya gitu dia nggak mau, bikin untuk menyerang, bullying, serangan-serangan seperti itu," tuturnya.
Empat perbedaan antara ChatGPT di antaranya adalah fitur input dan output multimodal, peningkatan kapasitas untuk multi-tugas, peningkatan akurasi, dan peningkatan keamanan.
Kendati demikian, Ismail mengatakan saat ini publik sudah banyak yang cerdas mencari informasi tidak dari satu arah saja. Tetapi melakukan cek ricek kembali dari sumber lainnya.
Lalu ia juga mengatakan, narasi informasi negatif yang tidak ada faktanya publik akan mudah mendeteksinya.
Kemudian saat ini banyak media yang sudah membuat kanal "Cek Fakta" untuk meninjau kembal informasi yang beredar sesuai kebenaran atau kabar bohong (hoaks).
"Sekarang banyak netizen yang meng-counter narasi hoaks itu. Kalau mereka [penyebar hoaks] ketahuan bohong dan tidak sesuai, malah akan menjadi boomerang untuk mereka," tuturnya.
Kepala Divisi Akses Atas Informasi Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Unggul Sagena juga menilai, ChatGPT memiliki potensi terjadinya tsunami hoaks jelang pemilu 2024.
Ia menjelaskan hasil yang disajikan oleh ChatGPT terkadang dari sumber yang belum tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Lalu, terkadang juga jawaban yang diberikan tidak konsisten ketika ditanya beberapa dalam pertanyaan yang sama.
Sehingga ketika pengguna hanya mencari informasi hanya satu kali membuat konten dalam ChatGPT tanpa verifikasi, informasi yang didapat belum tentu benar. Lalu ketika informasi atau konten tersebut disebarluaskan secara masif, dapat berpotensi terjadi disinformasi dan tsunami hoaks.
“Ada kemungkinan ya kalau tsunami hoaks itu," kata Unggul kepada Tirto, Selasa (4/4/2023).
Sedangkan ketua lembaga riset siber Communication & Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Pershada mengatakan, ChatGPT memang berpotensi terjadi disinformasi. Hal tersebut karena pertanyaan yang diajukan kurang jelas.
Misalnya karena keterbatasan data di ChatGPT, penggunaan ingin mengetahui sebuah undang-undang baru, tetapi dijawab UU lama dibawah tahun 2021.
"Ini terjadi karena faktor ChatGPT masih dalam proses pengembangan," kata Pratama kepada Tirto, Senin (3/4/2023).
Ia menuturkan hal tersebut berbeda dengan Wikipedia yang di dalamnya terjadi persaingan dalam memberikan keterangan oleh para kontributornya. Dalam beberapa kejadian, kontributor Wikipedia melakukan edit informasi yang tidak sesuai fakta, karena ada faktor ketidaksukaan atau faktor politik.
"Di ChatGPT yang dikembangkan bukan datanya, tapi kecerdasan buatan atau engine AI-nya. Sehingga AI tersebut nanti yang akan terus belajar dan menentukan sendiri mana data yang benar dari internet atau super big data yang engine AI tersebut pelajari," terangnya.
Pemerintah Harus Buat Regulasi
Unggul mengatakan saat ini pemerintah Indonesia belum memiliki regulasi yang spesifik perihal ChatGPT. Termasuk negara di Eropa dan negara lainnya belum memiliki regulasi untuk mengatur ChatGPT.
Oleh karena itu, Unggul mendorong pemerintah membuat regulasi yang khusus untuk mengatur ChatGPT supaya tidak disalahgunakan dan berpotensi menjadi disinformasi, apalagi jelang Pemilu 2024 yang kemungkinan akan melakukan perang narasi.
Namun regulasi yang dibuat tidak membatasi para pengguna atau bahkan memblokirnya. Karena itu bukan merupakan solusi.
“AI termasuk ChatGPT sebagai bagian dari AI App. Yang pasti perlu diregulasi dengan berbasis HAM, tapi AI bukan dibatasi. Ini masih menjadi diskusi level dunia, termasuk Uni Eropa dan Amerika Serikat," kata Unggul.
Pemerintah perlu mengedukasi para pengguna, terutama mereka yang baru mengenal dengan ChatGPT atau teknologi informasi agar tidak terjadi disinformasi atau bahkan parahnya menjadi tsunami hoaks.
"Jadi masalahnya adalah bagaimana kegiatan edukasi ini sampai ke pelosok, karena terdampak itu kan orang-orang yang baru terpapar informasi baru-baru ini. Memang ChatGPT ini sudah banyak yang tahu, tapi kan nggak semua masyarakat yang tahu," ucapnya.
Pengamat keamanan siber, Pratama Pershada pun meminta pemerintah harus bisa menjelaskan bahwa ChatGPT tidak boleh dijadikan satu-satunya patokan kebenaran di internet.
"Apalagi data di internet juga tidak satu, maksudnya adalah untuk menjawab sebuah pertanyaan ada banyak versi yang ini juga akan mempengaruhi ChatGPT," ujarnya.
Dia juga mengimbau kepada publik agar memanfaatkan seperlunya saja, jangan dipakai berlebihan karena ChatGPT juga masih dalam pengembangan.
“Publik juga harus mengerti bahwa ChatGPT masih pengembangan dan bukan sebagai Tuhan internet. Jadi jawaban ChatGPT tidak selalu benar. Platform ini hanya memudahkan kita dalam mengerjakan sesuatu," kata dia.
Sementara Ismail Fahmi menyarankan, dibanding membuat narasi negatif, publik atau tim kemenangan calon pada Pemilu 2024 lebih baik menggunakan ChatGPT untuk melakukan kampanye positif.
Pasalnya, ChatGPT sangat efektif untuk menjadi konsultan informasi dan komunikasi untuk melakukan kampanye dan membuat narasi di sosial media.
“Bikin kampanye berkualitas, supaya berkualitas, faktual, dan human interested, ini bisa bantu parpol, calon, dan sebagainya biar mereka bisa memberikan gagasan yang berkualitas.
Tirto telah menghubungi Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk menanyakan perihal ChatGPT. Namun hingga artikel ini tayang, Kominfo belum juga memberikan respons.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz