tirto.id - Manuver politik jelang Pemilu 2024 semakin masif. Sejumlah parpol mulai mengerucutkan poros koalisi dan figur yang akan diusung sebagai kandidat. Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) misal, telah mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai bakal capres mereka. Poros KPP ini terdiri dari Partai Nasdem, PKS, dan Partai Demokrat.
Poros kedua adalah Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari Partai Golkar, PAN, dan PPP. Dari tiga parpol di koalisi ini, hanya Golkar yang aktif mempromosikan Airlangga Hartarto sebagai bakal capres, sedangkan PPP dan PAN melirik tokoh di luar parpol. Belakangan Airlangga juga aktif melakukan safari politik dengan parpol di luar KIB, termasuk dengan KPP.
Selanjutnya, Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) gabungan Partai Gerindra dan PKB. Koalisi ini, menjagokan Prabowo Subianto sebagai bakal capres. Nama Muhaimin Iskandar atau Cak Imin juga diganungkan oleh PKB sebagai kandidat.
Sementara itu, PDIP hingga saat ini belum mau bicara soal calon. Meski demikian, parpol besutan Megawati Soekarnoputri ini tetap menjalin komunikasi politik, meski belum membangun koalisi seperti partai parlemen lainnya.
Namun, dari poros koalisi yang sudah mengerucut, tidak ada satu pun yang secara terang-terangan mendeklarasikan nama bakal cawapresnya. Padahal, posisi calon wakil bukan hanya pelangkap, melainkan sebagai penentu, kata Direktur Eksekutif Indo Barometer, M Qudori.
Ia mengatakan, data survei yang dilakukan Indo Barometer menunjukkan hal menarik karena dinamika bakal cawapres ini. Menurut Qudori, pemilu yang paling menarik adalah Pemilu 2024 karena cawapres berpotensi menjadi penentu.
“[Posisi] cawapres sebegitu menarik pada hari ini. Belum pernah semenarik pada hari ini. Orang itu enggak nunguin capres, nungguin cawapres,” kata Qudori saat dihubungi Tirto, Jumat (31/3/2023).
Ia mengatakan, elektabilitas para bakal capres sudah kurang lebih sama rata, sehingga kata kuncinya ada di bakal calon wakil presidennya.
Di sisi lain, ia menilai bakal cawapres saat ini akan menjadi salah satu penentu putaran pertama maupun putaran kedua, bila nama capresnya adalah Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan.
“Kalau calonnya tiga nama yang sekarang beredar, saya yakin pilpres kita akan perpanjangan waktu sampai dengan Juni 2024. Pemilu 2024 saya katakan pemilunya para cawapres,” tutur Qudori.
Sebaliknya, pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saiful Mujani menyebut, faktor cawapres tidak menjadi penentu kemenangan dalam Pilpres 2024. Hal itu didasari pada pengalaman Pilpres 2009 dan 2019.
Saiful sebut, pada Pilpres 2009, pasangan petahana Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono tidak mempertimbangkan aspek keragaman kultural atau sosiologis di antara pemilih Indonesia.
Aspek sosiologis atau kultural dimaksud adalah corak masyarakat seperti kalangan santri, nonsantri, abangan, priayi, dan lain sebagainya. Istilah ini kerap disampaikan pengamat politik di tanah air.
“Kita tahu Pak SBY orang Pacitan, Pak Boediono [orang] Blitar, kurang lebih bertetangga, sama-sama Jawa Timur, Jatimnya daerahnya mataraman, bukan tapal kuda, secara tradisional dalam istilah ilmu politik lama itu (mataraman) daerah abangan, atau daerah priayi, bukan daerah santri, daerah santri ini banyak orang NU, ya, daerah tapal kuda," urai Saiful dalam diskusi bertajuk ‘Cawapres Penting untuk Elektabilitas Capres?’ dikutip dari kanal Youtube SMRC TV.
Meski tidak mempertimbangkan aspek sosiologis, kata dia, pasangan SBY-Boediono justru memenangkan kontestasi satu putaran. SBY, lanjut Saiful, memilih Boediono atas dasar kompetensi.
Sementara pada Pilpres 2019, petahana Joko Widodo mengambil wakilnya Ma'ruf Amin. Kala itu, publik tidak ada yang membayangkan parpol koalisi Jokowi akan menggaet Ma'ruf.
“Kita lihat hasilnya, pasangan ini memenangkan Pilpres 2019, bahkan Pak Jokowi tidak bisa terlalu banyak berharap dari kampung Pak Ma'ruf Amin sendiri dari Banten, di Banten pasangan ini kalah telak, artinya unsur wakil tidak terlalu penting nampaknya, bila melihat dari dua kasus ini,” kata dia.
Jelang Pemilu 2024 ini, SMRC melakukan eksperimen terhadap tiga nama yang dianggap cukup kompetitif. Ketiga nama tersebut antara lain: Ganjar, Prabowo, dan Anies.
Dari tiga nama tersebut tidak ada satu pun yang memiliki elektabilitas mencapai 50 persen. Oleh karena itu, semua kandidat berharap ada kenaikan elektabilitas dari sosok yang mendampingi mereka.
SMRC pun melakukan studi eksperimental untuk melihat hubungan kausal antara wakil dengan capres. Dalam variabel kontrol, ditanyakan siapa yang akan dipilih jika Ganjar berhadapan dengan Anies dan Prabowo? Hasilnya, Ganjar (41 persen), Prabowo (29 persen), dan Anies (23 persen). Sementara 7 persen lainnya tidak menjawab.
Simulasi untuk Ganjar Pranowo
Dalam treatment Ganjar berpasangan dengan Airlangga melawan Prabowo dan Anies, suara Ganjar menjadi 37 persen. Sedangkan Prabowo (27 persen), Anies (25 persen), dan tidak jawab (11 persen).
Lalu, bila Ganjar berpasangan dengan Erick Thohir, maka Ganjar mendapat 36 persen, Prabowo 24 persen, Anies 26 persen, dan tidak jawab 14 persen.
Kemudian jika Ganjar dipasangkan dengan Khofifah Indar Parawansa, maka dia akan memperoleh angka 38 persen. Sedangkan Prabowo mendapat 24 persen, Anies 28 persen dan tidak jawab 9 persen.
Selanjutnya, jika Ganjar dipasangkan dengan Mahfud MD, maka dia akan memperoleh angka 35 persen, Prabowo 26 persen dan Anies 24 persen. Dan tidak menjawab 15 persen. Sedangkan bila Ganjar dipasangkan dengan Ridwan Kamil, maka ia akan memperoleh angka 40 persen, Prabowo 28 persen, Anies 22 persen, dan tidak menjawab 10 persen.
Simulasi untuk Anies Baswedan
Adapun jika Anies dipasangkan dengan Airlangga, maka suara Anies menjadi 28 persen, Ganjar 29 persen, Prabowo 23 persen, tidak jawab 19 persen. Jika Anies berpasangan dengan AHY, maka suara Anies menjadi 26 persen, Ganjar 44 persen, Prabowo 20 persen, dan tidak jawab 10 persen.
Kemudian, bila berpasangan dengan Ahmad Heryawan, suara Anies menjadi 21 persen, Ganjar 35 persen, Prabowo 34 persen, dan tidak jawab 10 persen. Jika berpasangan dengan Andika Perkasa, suara Anies 19 persen, Ganjar 45 persen, Prabowo 24 persen, dan tidak jawab 13 persen.
Lalu, jika Anies berpasangan dengan Khofifah, maka suara Anies 30 persen, Ganjar 33 persen, Prabowo 28 persen, dan tidak jawab 9 persen.
Simulasi untuk Prabowo Subianto
Pada variabel kontrol, ditanyakan jika Prabowo maju sebagai capres berhadapan dengan Ganjar dan Anies, siapa yang akan dipilih? Prabowo didukung 27 persen, Anies 23 persen, Ganjar 37 persen, dan tidak jawab 13 persen.
Bila Menteri Pertahanan itu berpasangan dengan Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, suaranya menjadi 34 persen, Anies 21 persen, Ganjar 35 persen, dan tidak jawab 10 persen.
Lalu, bila berpasangan dengan Airlangga, suara Prabowo menjadi 18 persen, Anies 26 persen, Ganjar 43 persen, dan tidak jawab 12 persen. Jika berpasangan dengan Khofifah, Prabowo didukung 25 persen, Anies 19 persen, Ganjar 43 persen, dan tidak jawab 13 persen.
Kemudian, jika berpasangan dengan Mahfud MD, suara Prabowo 31 persen, Anies 28 persen, Ganjar 32 persen, dan tidak jawab 9 persen. Jika berpasangan dengan Puan Maharani, suara Prabowo menjadi 25 persen, Anies 29 persen, Ganjar 33 persen, dan tidak jawab 12 persen.
Respons Partai Politik
Ketua DPP PPP, Achmad Baidowi atau Awiek mengatakan, sejauh ini KIB belum menentukan sosok bakal capres maupun cawapres. Ia mengatakan capres-cawapres akan ditentukan dengan melihat dinamika di lapangan.
“Belum menentukan baik capres maupun cawapres. KIB masih melihat dinamika di lapangan," kata Awiek kepada Tirto.
Ihwal hipotesis lembaga survei yang menyebut cawapres tidak berpengaruh menentukan kemenangan, sehingga menjadi alasan KIB belum menentukan figurnya, Awiek hanya mengatakan dari pengalaman pemilu, hal itu fluktuatif.
“Dari pengalaman pemilu, fluktuatif tergantung sikon. Ada sosok wakil yang berpengaruh, ada juga sosok wakil yang tidak berpengaruh," tutur Awiek.
Sementara itu, Ketua DPP PKB, Daniel Johan hanya bilang “Kita tunggu saja.” Namun, KKIR bakal mempertimbangkan hipotesis sejumlah lembaga survei ihwal cawapres yang berpeluang menentukan kemenangan.
“Peran cawapres tentu sangat ikut menentukan kemenangan, makanya penting memiliki kekuatan struktur dan pasukan kader,” kata Daniel kepada Tirto.
Juru Bicara Partai Demokrat, Herzaki Mahendra Putra mengatakan, pihaknya sepakat cawapres punya peranan penting, tetapi bukan yang terpenting. Oleh karena itu, ia memandang harus dlihat secara holistik dan komprehensif.
"Cawapres juga harus figur yang sama yang bisa represestasi perubahan karena kami bukan koalisi perubahan untuk status quo, tetapi koalisi perubahan untuk persatuan," kata Herzaky saat dihubungi Tirto, Jumat (31/3/2023).
Menurut Herzaki, kunci kemenangan pada Pilpres 2024, bukan hanya bicara soak elektabilitas. Bagi Demokrat, elektabilitas itu tunggal.
“Ini ada perbedaan, karena masing-masing punya modal, bagaimana kalua kedua [capres-cawapres] ini disatukan. Apakah saling memperkuat atau saling menegasikan," ucap Herzaky.
Ia mengatakan, kemenangan pada pilpres harus dilihat secara komprehensif dan solutif. “Capres penting, makanya kenapa kami sepakat dengan Pak Anies, dia memiliki kriteria, elektabilitas, kemampuan, pengalaman, kontribusi dan stabilitas terhadap koalisi," tutur Herzaki.
Sedangkan politikus PDIP, Andreas Hugo Pareira tidak mempersoalkan hipotesis lembaga survei yang menyebut figur cawapres tidak berpengaruh untuk kemenangan dalam kontestasi pilpres. Menurut Andreas, hal itu hanya sebatas teori yang perlu diuji kembali.
“Teori itu, perlu diuji dalam kasus empiris, ada yang tepat, ada juga tidak,” kata dia kepada Tirto.
Cawapres Dinilai Jarang Jadi Penentu Kemenangan
Pengamat Politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo sepakat bawah cawapres tidak menjadi tolok ukur kemenangan dalam sebuah kontestasi Pilpres 2024. “Dalam pemilu biasanya orang akan melihat calon presidennya,” kata Kunto saat dihubungi Tirto.
Kunto membeberkan sejumlah aspek mengapa pemilih akan melirik capres dan cawapres secara paket. Pertama, kata dia, aspek kesesuaian atau harmoni. Cawapres dan capresnya dalam bayangan orang akan menimbulkan harmoni, baik itu dalam kampanye, maupun setelah nanti terpilih.
Kedua, apakah di benak pemilih cawapresnya dianggap bisa membantu capres dalam beberapa hal atau tidak, sehingga bisa mengisi kekosongan atau mengisi kelemahan si capres.
“Jadi, menurut saya di benak pemilih lebih pada pertimbangan-pertimbangan itu. Kalau pertimbangan lain lebih pada elite,” ucap Kunto.
Dalam tataran elite, kata dia, posisi cawapres menjadi penting karena dalam koalisi biasanya itulah yang mengunci koalisi. Artinya, ada deal-dealan antarparpol untuk memenuhi presidential threshold 20 persen.
“Maka mau enggak mau, cawapres itu adalah bentuk representasi dari sebuah parpol tertentu dalam koalisi itu dan itu akan menentukan posisi dan kemudian pembagian kekuasaan lebih lanjut secara internal koalisi dan biasanya, itu yang lebih susah,” kata Kunto.
Tak Harus Mewakili Nasionalis dan Religius?
Lebih lanjut, Kunto mengatakan, capres dari kalangan nasionalis dan memiliki wakil dari kalangan santri tidak menjamin kemenangan pada Pemilu 2024. Menurutnya, hal itu bukan sesuatu yang sifatnya general dalam artian mengacu pada beberapa pemilu sebelum-sebelumnya.
“Pertama SBY-JK, ya gak ada santrinya, kan, dua-duanya. Menang-menang juga. SBY-Boediono, menang-menang juga. Jokowi-JK, menang juga,” ucap Kunto.
Kunto menilai, pada perhelatan Pemilu 2019, Jokowi memang disandingkan dengan Ma’ruf Amin sebagai representasi nasionalis dan relegius. Ma’ruf sendiri merupakan tokoh MUI dan sesepuh Nahdlatul Ulama (NU).
Uniknya, kata dia, karena pada Pilkada DKI 2017 ada kasus penistaan agama yang menyeret Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Namun, hal itu dianggap bukan sebuah hukum bahwa harus sekuler dan Islam atau Islam dan nasionalis.
“Jadi, saya enggak melihat itu sebagai sebuah keharusan,” tukas Kunto.
Sebaliknya, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Jakarta, Ujang Komarudin menilai, cawapres memiliki posisi penting dalam konteks tertentu guna menentukan kemenangan. Ujang mencontohkan Jokowi yang memilih Ma’ruf Amin pada Pilpres 2019. Kala itu, Jokowi dianggap anti-ulama dan Islam. Alhasil dengan menggandeng Ma’ruf Amin meraih kemenangan.
Menurut Ujang, pemilihan cawapres yang tepat bagian dari satu strategi untuk bisa meraih kemenangan. Ia mengatakan, cawapres yang jelek membuat orang malas memilih.
Ujang mengatakan, seorang capres harus bisa mempertimbangkan aspek sosiologis dalam memilih wakilnya. Tujuannya, untuk saling menyatukan bukan untuk membedakan.
“Biasanya begitu secara ideologis seperti itu, nasionalis-Islamis lah. Saling menyatukan bukan untuk saling membedahkan. Kalau satu nasionalis, capresnya maka cawapresnya islamis. Paling enggak saling mengisi,” kata Ujang.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Abdul Aziz