tirto.id - Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih) mulai melayangkan protes buntut honor kerja yang tak kunjung turun. Mereka tak canggung menagih hak mereka lewat kolom komentar akun KPU RI di Instagram.
Salah satu pemilik akun Instagram @nur_diniatul mempertanyakan kapan pencairan gaji Pantarlih dan PPS. “Honornya kapan cair min? Udah ditunggu para pantarlih dan PPS loh ini," tulis akun itu sebagaimana dikutip Tirto, Selasa (28/3/2023).
Akun lain, yakni @anakkucay97 juga mempertanyakan hal serupa. Ia mengatakan sampai saat ini PPS beserta sekretariat tak kunjung mendapatkan gaji. Sementara kerja telah dilaksanakan sampai tahapan pencoklitan berdasarkan surat kerja atau SK.
“Seharusnya PPS beserta sekretariat telah mendapatkan haknya berupa gaji dan operasional, ini mandet dari pusat atau dari bawahan," jelas akun itu.
Protes lainnya juga dilayangkan akun @erlaennafandoyo. Akun itu mengaku petugas Pantarlih asal Cipinang, Jakarta Timur. Ia mempertanyakan kendala honor mereka yang tak kunjung dicairkan.
“Jika memang masa kerja kita 1 bulan coklit satu bulan membantu PPS dan PPK menyusun daftar pemilih seenganya dibayarkan dulu yang satu bulannya," tulis akun itu.
Menurutnya, bukan seberapa besar atau kecil honor yang mereka terima, tetapi perlu dilihat seberapa besar niat mereka menyukseskan Pemilu 2024. Sebab, kata dia, Pantarlih merupakan ujung tombak pelaksanaan Pemilu 2024.
“Kalau kita ga jalan, semua juga ga bereskan. Hargai kita kerja selama satu bulan baru bulan berikutnya dibayarkan lagi seperti itu jika memang kerja kita dua bulan," tulis akun itu lagi.
Salah satu petugas Pantarlih, Annisa Maulida mengungkapkan, kekesalannya atas honor yang tak kunjung cair itu. Padahal, Annisa mulai menjalankan amanah setelah dilantik pada 12 Februari 2023.
Perempuan asal Tulungagung, Jawa Timur itu mengaku hingga kini belum mendapatkan honor sebagai petugas Pantarlih. Annisa mengaku Jumat pekan lalu dijanjikan bahwa honornya akan turun. Nyatanya, pencairan honornya itu tak sesuai harapan.
“Dijanjikan minggu keempat, Maret terakhir, Jumat kemarin cair cuma sampai sekarang masih belum cair," kata Annisa saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (28/3/2023).
Ia mengaku tidak ada kejelasan untuk pencairan honornya dan tidak dijelaskan dari awal sejak dilantik. Hanya mekanisme pencairannya, kata dia, ada yang cash dan transfer.
“Kebetulan informasi dari PPK untuk daerah saya memang cash. Hanya saja ada kabar kalau pencairan honornya satu bulan pertama di Maret ini," ucap Annisa.
Annisa harus merogoh kocek pribadi saat bertugas selama ini. Mulai dari pembelian paket hingga ongkos perjalanan dari rumah ke rumah saat bertugas.
“Untuk paket data juga tidak ada subsidi. Bahkan bikin surat pernyataan keamanan data saja beli meterai Rp10 ribu sendiri-sendiri," kata Annisa.
Selain itu, Annisa harus mengeluarkan uang Rp50 ribu untuk membeli paket untuk menyinkronkan e-coklit.
“Bensin kurang lebih Rp50. Anggap saja buat sebulan wara-wiri ke baldes [balai desa] buat rapat evaluasi 10 harian sekaligus dari rumah ke rumah. Total Rp110 ribu," tutur Annisa.
Di sisi lain, Annisa menyayangkan kerja mereka yang harus dilakukan dengan cepat agar pekerjaan lekas beres, bahkan sampai sekarang jika diminta data, harus langsung disediakan.
“Misal ada pemilih ganda nasional diminta langsung carikan bukti, ya berangkat, tetapi untuk honor masih adem," tukas Annisa.
Ia berharap apa yang menjadi hak mereka segera dipenuhi. Sebab, kata dia, mereka telah bekerja cepat, giliran menuntut hak disuruh menunggu.
“Enggak fair, ya, menurut saya. Dan lebih lagi masalah honor ini cukup sensitif bagi sebagian orang yang punya job seperti saya (pantarlih)," kata Annisa.
Ia mengatakan mereka telah bekerja tidak mengenal waktu. Annisa mengatakan mereka juga bekerja dengan target, khususnya pencocokan dan penelitian (coklit).
“Datang rumah ke rumah itu belum tentu kadang orangnya ada, terus kalau enggak ada, ya kita balik lagi keesokan harinya. Di target sehari minimal harus dapat 20 orang yang dicoklit misalnya, tetapi hak kami tidak dipenuhi. Cukup dipenuhi saja gajinya dulu," kata Annisa.
KPU Klaim Bukan Ranahnya
Komisioner KPU RI, August Mellaz mengatakan, perihal keterlambatan gaji Pantarlih dan PPS bukan kewenangan KPU RI. “Problemnya bukan di KPU RI. Itu memang enggak bisa pakai cash, harus pakai rekening," kata August saat dihubungi Tirto, Selasa (28/3/2023).
Namun, KPU bakal menelusuri kabupaten mana saja, sehingga pencairan honor Pantarlih hingga PPS tak kunjung turun.
“Nanti urusannya di sekretaris kabupaten/kota itu. Dana dari KPU RI, kan, langsung di Satker Kabupaten/Kota," ucap dia.
Ia mengatakan dana yang diterima Satker baru akan dikirimkan ke rekening masing-masing Pantarlih hingga PPS.
“Yang terima honor itu tentu yang ada di SK sebagai Pantarlih, terus dia punya rekening bank apa enggak. Itu juga pasti pengaruh," kata August.
Ia mengatakan perihal keterlambatan gaji merupakan ranahnya sekretaris kabupaten/kota.
“Kalau 514 satker itu dana untuk badan adhoc ke sana ke 514 kabupaten/kota. Nah, dari 514 kabupaten/kota baru dikirim lewat bank ke rekening masing-masing badan adhoc apakah dia PPS, Pantarlih," tutur August.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mendesak KPU segera mengambil langkah serius untuk menyelesaikan permasalahan pembayaran honororium Pantarlih ini. Menurut dia, hal itu perlu dilakukan agar tidak terjadi kesalahpahaman atau ada anggapan bahwa KPU melanggar hak Pantarlih untuk menerima pembayaran.
“Kalau memang masalahnya adalah pada teknis terkait kepemilikin rekening untuk pencairan dana, maka perlu ada upaya cepat untuk mengkomunikasikan dengan para pihak agar tidak terjadi kesalahpahaman atau ada anggapan bahwa KPU melanggar hak Pantarlih untuk menerima pembayaran," kata Titi saat dihubungi Tirto, Rabu (29/3/2023).
Pengajar kepemiluan di Universitas Indonesia itu menyatakan, tindakan segera dan serius KPU perlu diambil agar tidak dipolitisir sebagai tendensi ketidakseriusan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024.
“Apalagi menimbulkan spekulasi dikait-kaitkan ketidaksiapan dan tidak tersedianya anggaran Pemilu 2024 yang bisa berdampak pada tertundanya pemilu," tukas Titi.
KPU Harus Turun ke Lapangan Cek Kendala
Lebih lanjut, Titi mengatakan, bila masalahnya ada di Satker Kabupaten/Kota, maka sebagai penanggung jawab akhir pemilu, KPU harus mengambil langkah strategis untuk menyelesaikan cepat kendala tersebut.
Termasuk, kata dia, menugaskan jajaran KPU untuk turun ke lapangan guna mengecek masing-masing daerah yang menghadapi kendala.
“Untuk memeriksa apakah memang benar hanya masalah teknis rekening, ataukah ada penyebab lainnya yang memerlukan tindakan khusus," tutur Titi.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Junimart Girsang menyanyangkan pernyataan KPU yang mengatakan perihal honor Pantarlih bukan kewenangan mereka. Sebab, kata Junirmart, anggaran disalurkan oleh KPU yang didistribusikan ke Satker Kabupaten/Kota.
“Itu kewenangan dan tanggung jawab KPU karena anggaran di KPU dan disalurkan ke Satker KPU Kabupaten/Kota," kata Junirmart saat dihubungi Tirto, Rabu (29/3/2023).
Politikus PDIP ini meyakini, KPU pasti sudah menyalurkan honor Pantarlih ke Satker KPU Kab/Kota, sehingga tak perlu dipermasalahkan lagi. “Tidak perlu dipolemikkan karena sudah clear dari KPU Pusat," ucap Junimart.
Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PAN, Guspardi Gaus menyatakan, honor Pantarlih itu memang didistribusikan secara terpusat. Artinya, dari pusat ke daerah. Ia mengatakan dana tersebut diambil dari anggaran pendapatan belanja negara (APBN).
Politikus PAN itu mendesak agar hak-hak petugas Pantarlih segera dicairkan. “Kepada pihak berwenang dalam hal ini KPU di Kabupaten Tulungagung segera cairkan hak-hak Pantarlih," kata Guspardi saat dihubungi Tirto, Rabu sore.
Guspardi menyayangkan honor Pantarlih yang tak kunjung dicairkan. Padahal, mereka telah bekerja sudah hampir dua bulan sejak dilantik.
Pantarlih adalah petugas yang dibentuk untuk melakukan pendaftaran dan pemutakhiran data pemilih pada tahapan pemilu.
Pantarlih dibentuk oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan berkedudukan di lingkungan Tempat Pemungutan Suara (TPS). Setiap TPS memiliki satu orang Pantarlih yang dipilih oleh PPS atas nama KPU kabupaten/kota.
Petugas Pantarlih berasal dari perangkat kelurahan/desa, rukun warga, rukun tetangga, dan/atau masyarakat setempat. Sedangkan, penyeleksian atau penerimaan Pantarlih dilakukan secara terbuka dengan memperhatikan kompetensi, kapasitas, integritas, dan kemandirian calon Pantarlih.
Kemudian, masa kerja Pantarlih Pemilu 2024 adalah dua bulan. Diketahui, masa kerja Pantarlih ini bisa berbeda di setiap KPU Kabupaten/Kota. Namun, terkait rentang waktu masa kerja tugas Pantarlih ini kurang lebih akan sama.
“Intinya kalau memang ada kejadian di Kabupaten Tulungagung di mana Pantarlinya sudah bekeria dua bulan sesuai dengan keterangan yang berlaku hak-haknya ditahan, kasian [segera dicairkan]," ucap Guspardi.
Ia mengatakan untuk mengetahui siapa yang bertannggung jawab atas keterlambatan honor Pantarlih, harus diketahui terlebih dahulu siapa yang merekrut dan yang memberi SK.
“Di situ kita akan menentukan siapa yang bertanggung jawab hak dan kewajiban yang harus dilajukan. Kalau seandainya KPU yang mengeluarkan SK tentu yang bertanggung jawab yang bersangkutan. Itu perlu ditelusuri dahulu. Pantarlih itu biasanya orang-orang yang direkrut oleh KPU," tutur Guspardi.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Abdul Aziz