Menuju konten utama
Fenomena Warung Madura

Tren Bisnis Warung Kelontong Madura & Bagaimana Mereka Eksis

Warung kelontong Madura akan terus eksis karena beberapa alasan. Salah satunya terjangkau dari segi harga.

Tren Bisnis Warung Kelontong Madura & Bagaimana Mereka Eksis
Warung Klontong Madura di Jogjakarta. tirto.id/Sidratul Muntaha

tirto.id - Sejak pandemi Covid-19, warung kelontong Madura bermunculan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka punya ciri khas yang melekat di setiap tokonya: pom bensin mini. Menurut Syafi’i, salah satu pemilik warung, kini ada 1.200 warung kelontong Madura di Yogyakarta.

“Ndak tahu lagi kalau nambah ya,” kata Syafi’i yang juga pembina sebuah paguyuban warung kelontong Madura di Jogja, ketika ditemui kontributor Tirto.

Syafi’i mengaku hampir semua pedagang itu sukses. “Sukses itu kalau di kami bukan cuma punya mobil. Belum sukses itu. Sukses itu kalau punya mobil, punya rumah, punya segala macam,” kata Syafi’i.

Pria beranak tiga itu sudah memiliki tiga toko kelontong di DI Yogyakarta. Tiga toko kelontong itu adalah hasil dari berbisnis selama dua tahun. Sebelumnya, selama empat tahun, ia berbisnis toko kelontong juga di Jakarta hingga punya lima cabang.

Jauh sebelum merantau ke Jakarta, Syafi’i menjajal banyak pekerjaan: mulai dari kuli proyek hingga tambak udang. Sebab, merasa pendapatan dari pekerjaan itu terbatas, ia pun memutuskan merantau.

Di Jakarta, Syafi’i lantas menjaga warung Madura milik kerabat. Selama dua bulan ia bekerja di sana mengumpulkan modal hingga Rp13 juta. Berbekal modal itulah ia membangun warung kelontong kecil pertamanya di ibu kota itu.

Namun, di Jakarta ia merasa kurang nyaman, karena pesaing mulai semakin banyak dan risiko keamanan yang lebih rentan, Syafi’i pun menjual semua warungnya di Jakarta. Ia lantas memborong sebuah warung kelontong di Ambarrukmo, Depok, Sleman seharga Rp200 juta.

Delapan bulan setelah menjajal bisnis pertamanya itu, Syafi’i membuka warung kelontong lain. Tak lama kemudian ia membuka toko ketiga.

“Jadi saya itu merantau mulai dari nol. Betul-betul dari nol,” tegas Syafi’i.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Putri dan keluarganya. Putri adalah penjaga warung Madura di bilangan Selokan Mataram, Caturtunggal. Warung kelontong itu adalah cabang ketiga yang dipunyai kakaknya sejak pertama kali menjajal toko kelontong pertama kali di Jogja pada 2019.

Saat itu, Putri masih sekolah, sedang kakaknya baru saja meninggalkan pekerjaannya sebagai guru honorer di Sumenep. Setelah itu, Putri menyusul ke Yogyakarta dan membantu kakaknya menjaga warung pada 2023. Awal tahun ini, setelah warungnya sudah memiliki tiga cabang, ayah Putri pun ikut merantau dan membantu menjaga warung.

Beroperasi 24 Jam

Satu ciri khas lagi yang dimiliki warung Madura dibanding toko ritel lain adalah jam operasinya. Hampir semua toko Madura buka 24 jam.

Menurut Syafi’i, setiap pemilik warung Madura memang sadar akan satu hal: selain toko kelontong Madura, dari pasar tradisional hingga ritel modern, amat jarang yang buka 24 jam. Sementara itu, permintaan pasar atas kebutuhan dasar bisa datang kapan saja. Maka dari itu, toko Madura pun mengambil ceruk pasar tersebut.

“Kalau dibukain malam bisa dua kali lipat. Pasti ada risikonya, tapi ya (kami) sudah siap,” tukas Syafi’i.

Pertimbangan yang sama juga dikatakan oleh Putri. Warung yang ia jaga juga buka 24 jam agar mereka bisa bersaing dengan toko ritel lain.

Lantaran beroperasi 24 jam, warung Madura biasanya dijaga oleh keluarga. Toko milik Syafi’i, misalnya, dijaga oleh anak dan istrinya.

Toko yang terletak di Ambarrukmo dijaga oleh Syafi’i dan anaknya bergantian. Syafi’i menjaga ketika dari malam sampai pagi, sedang anaknya menjaga dari pagi hingga malam. Tokonya kedua, dijaga bergantian oleh istri dan seorang pegawai. Sementara itu, toko ketiganya dijaga oleh pegawai. Pegawai itu, digaji Rp2 juta per bulan.

Namun, tak semua penjaga warung diberi imbalan dengan sistem gaji. Beberapa warung kelontong Madura mengupah pegawainya dengan sistem bagi hasil.

Warung Madura yang dijaga Putri sebelumnya dijaga oleh pegawai dengan sistem bagi hasil. Namun, pegawai tersebut dipulangkan.

“Barangnya habis, uangnya juga habis, entah lari ke mana. Sejak itu toko dijaga keluarga. Padahal itu, kan, sudah enak ya, modal dari kita, hasilnya kita bagi,” tutur Putri.

Perihal yang terakhir, bahwa sistem bagi hasil lebih menguntungkan, memang tak bisa ditampik. Pasalnya, toko yang dijaga Putri punya omzet yang relatif besar, sekira delapan juta rupiah per hari. Dari omzet itu, sekira 90 persen dipakai untuk menyetok barang, sementara sisanya menjadi keuntungan bersih untuk pemilik. Setengah dari keuntungan bersih bisa diberikan ke pegawai jika sistemnya berupa bagi hasil.

Dengan hitung-hitungan seperti itu, menurut Syafi’i, kebanyakan pegawai warung Madura yang sudah berpengalaman lebih memilih untuk diupah dengan sistem bagi hasil.

Mengapa Warung Madura Semakin Eksis?

Meski jumlah warung Madura di DIY sudah mencapai 1.200-an, Syafi’I masih optimistis jumlahnya akan terus bertambah. Pasalnya, bisnis tersebut memang telah berhasil menghidupi banyak perantau dari Madura.

Hal senada dikatakan Bhima Yudhistira, Direktur Centre of Economic and Law Studies (CELIOS). Ia menyatakan, warung Madura akan terus ada karena beberapa alasan. Di samping memenuhi berbagai kebutuhan dasar, warung Madura kerap berdekatan dengan pemukiman dan terjangkau dari segi harga.

Selain itu, menjajal bisnis warung Madura hanya membutuhkan investasi awal yang relatif kecil dibanding toko retail modern. Begitu juga biaya operasional warung Madura.

Singkatnya, kata dia, warung Madura punya daya fleksibilitas yang lebih besar ketimbang retail modern.

Bhima juga menjelaskan, situasi ekonomi makro turut mempengaruhi eksistensi warung Madura. “Masyarakat itu yang tadinya beli grosir, karena inflasi tinggi, resesi, suku bunga, mereka mencoba beralih ke barang-barang yang relatif lebih murah, dengan packaging lebih kecil, sesuai dengan yang dijual di warung Madura atau warung tradisional,” jelas Bhima.

“Contohnya di tahun 2010-an, itu minuman bersoda yang laris itu minuman bersoda yang porsi besar, yang 1,5 liter ke atas lah. Sekarang makin kecil. Itu menunjukkan ada tekanan daya beli dan masyarakat melakukan adaptasi terhadap hal itu,” sambung Bhima.

Kendati demikian, Bhima berpendapat, warung kelontong Madura akan terus eksis dan ekspansif meskipun kondisi ekonomi membaik ke depannya. Pasalnya, menurut Bhima tekanan ekonomi akan selalu ada bagi kelas menengah bawah, semisal perantau-perantau dari Madura.

Baca juga artikel terkait RITEL atau tulisan lainnya dari Muhammad Sidratul Muntaha Idham

tirto.id - Bisnis
Kontributor: Muhammad Sidratul Muntaha Idham
Penulis: Muhammad Sidratul Muntaha Idham
Editor: Abdul Aziz