Menuju konten utama
Fenomena Warung Madura

Risiko Keamanan Warung Kelontong Madura yang Buka 24 Jam

Sebagai retail yang buka 24 jam, warung Madura punya kerentanan tersendiri seperti pencurian hingga pemalakan.

Risiko Keamanan Warung Kelontong Madura yang Buka 24 Jam
Warung Klontong Madura di Jogjakarta. tirto.id/Sidratul Muntaha

tirto.id - Syafi’i sedang rebahan ketika saya mendatangi toko kelontongnya untuk membeli rokok, dan menyatakan keinginan untuk mewawancarainya. Ia bangun dari tempat rebahannya—sebuah lantai beralaskan karpet yang diimpit tembok dan etalase rokok—lantas duduk di sebuah kursi, dan menyulut sebatang.

“Saya asli Kalianget, Sumenep. Kebanyakan yang buka warung kelontong seperti ini memang dari Sumenep, Mas,” ujar Syafi’i memperkenalkan diri pada Jumat (17/3/2023).

Syafi’i memutuskan untuk memboyong keluarganya untuk merantau dan membuka bisnis toko kelontong enam tahun lalu. Pada mulanya di Jakarta, Syafi’i bekerja pada seorang pemilik warung kelontong yang juga berasal dari Sumenep. Dua bulan bekerja di sana, ia pun membangun bisnis warung kelontongnya sendiri.

Alhasil, setelah empat tahun membuka toko kelontong sendiri di Jakarta, Syafi’i hijrah ke Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia membuka toko kelontong di bilangan Ambarukmo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman.

Dengan pengalaman menahun itu, Syafi’i sudah merasakan manis pahit berbisnis warung kelontong.

Cerita manisnya barangkali sudah santer terdengar beberapa tahun belakangan, tapi yang tak banyak orang tahu adalah kisah pahitnya. Sebagai toko retail yang buka 24 jam, “warung Madura” punya kerentanan tersendiri. Kerentanan itu berupa pencurian, pemalakan, dan sejenisnya.

Syafi’i punya pengalaman tersebut. Saat itu ia masih di sebuah wilayah di Jakarta, yang menurut penuturan Syafi’i, “memang banyak preman di sana.”

Suatu malam, warung Syafi’i kedatangan dua orang tak dikenal. Syafi’i kebetulan masih terjaga dan duduk di depan warung, sementara istrinya menjaga di dalam. Tak lama, kedua pelaku itu mengambil barang dan hendak kabur.

Syafi’i pun mengambil arit dan menarik baju salah satu pelaku tersebut. “Tapi tangannya pelaku, kan, masih bergerak. Tangan saya ditekan ke bawah terus arit jatuh,” tutur Syafi’i. “Saya hampir lah waktu itu, hampir gugur.”

Syafi’i juga bercerita tentang kejadian yang menimpa pemilik warung kelontong Madura, yang juga ia kenal di bilangan Seturan, Kecamatan Condongcatur, Sleman, Provinsi DIY. Di suatu malam warung tersebut kedatangan orang yang hendak mengisi bensin. Karena tak sabaran, pembeli itu menendang-nendang pom mini warung tersebut hingga sang pemilik marah dan menodongkan celurit.

Pembeli itu pun kabur dan kembali membawa teman-temannya. Mereka mengobrak-abrik seisi warung. “Pom itu habis,” kisah Syafi’i.

Kendati demikian, menurut Syafi’i, warung kelontong Madura di Jogja relatif aman ketimbang di Jakarta. Pencurian memang masih kerap terjadi di Jogja, tapi Syafi’i mengklaim kejadian itu tak lagi terjadi di daerah warungnya.

Berbekal cerita Syafi’i, saya pun mendatangi beberapa toko kelontong yang ada di bilangan Seturan dan Babarsari, sebuah wilayah yang terkenal sebagai “Gotham City” di DI Yogyakarta.

Salah satu warung yang saya datangi dijaga oleh perempuan bernama Putri. Ia mengaku, warung kelontongnya memang kerap didatangi orang mabuk. Kendati demikian, ia bercerita warungnya masih aman-aman saja sejak buka pada 2019.

Saya juga sempat mendatangi sebuah warung yang berada di Nologaten, Kecamatan Caturturtunggal. Di salah satu dinding yang dibelakangi oleh penjaga, tergantung sebuah celurit. Fatimah, penjaga warung itu, mengaku kejadian tak enak juga pernah menimpa warungnya.

“Orang-orang resek begitu lah, tapi aku nggak begitu tahu. Yang tahu kejadian jelasnya karyawan,” kata Fatimah.

Saya lantas teringat omongan Syafi’i. Menurut pria beranak tiga itu, pemilik warung Madura kebanyakan memang sudah mafhum dengan risiko membuka toko 24 jam.

“Madura ini, Dek, sudah siap segalanya. Saya sudah siap. Sebelum melangkah (merantau), sudah siap. Bondo [modal] nekat,” tutur Syafi’i.

Selain itu, Syafi’i dan kebanyakan warung Madura lain merasa tak punya pilihan lain. Mereka butuh pemasukan lebih untuk menutup modal dan membayar kontrakan yang sudah mereka sewa untuk beberapa setahun ke depan.

“Kalau orang sini buka warung kelontong, kan, tempat sendiri, mereka bisa buka pagi sampai sore. Kalau kita, ngontrak. Kalau buka sampai sore, gulung tikar,” terang Syafi’i. “Tapi kalau buka malam memang bisa dua kali lipat. Lebih ramai malam.”

Dosen Kriminologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Sigid Riyanto menyatakan, ada faktor kriminogen yang membuat warung kelontong Madura lebih rentan daripada yang lain. Buka hingga larut malam bahkan sampai pagi, ketika perhatian masyarakat sudah tak terlalu banyak, bisa menjadi faktor pemicu munculnya tindak kejahatan.

Selain itu, kejadian yang menimpa warung kelontong tak lepas dari faktor ekonomi. Ketika kondisi ekonomi masyarakat sedang menurun, warung kelontong yang menyediakan berbagai kebutuhan dasar menjadi incaran.

Maka dari itu, menurut Sigid, pemerintah mesti memiliki peran aktif dalam menciptakan kondisi ekonomi yang lebih baik. Menurutnya, jika kondisi ekonomi lebih baik, tindak kejahatan sejenis blue collar crime yang menimpa warung Madura bisa berkurang.

Kendatipun demikian, Sigid Riyanto juga tak menampik ada faktor psikologi seperti rasa nekat dan berani yang memicu pelaku untuk melakukan tindak pencurian di warung Madura. Faktor psikologis itu tak hanya dibentuk oleh situasi ekonomi, tetapi juga sosial.

Karena itu pula, Sigid menyatakan, pemerintah juga perlu mengoptimalkan keamanan di masyarakat. Sigid mencontohkan, pengoptimalan keamanan itu bisa berupa patroli yang lebih intens.

“Terus CCTV itu tidak mengawasi lalu lintas saja, tapi juga sarana menciptakan keamanan masyarakat secara umum,” jelas Sigid.

Sigid menambahkan, masyarakat juga punya peran penting dalam menciptakan keamanan tersebut. Hanya saja, masyarakat punya tantangannya sendiri.

Salah satunya, menurut Sigid, kelompok sosial yang ada di masyarakat kini kebanyakan sudah berubah bentuk: dari paguyuban menjadi patembayan. Alhasil, sifat keanggotannya lebih didasari oleh kepentingan pribadi daripada gotong royong untuk keamanan bersama.

Bentuk kelompok seperti patembayan ini bukannya tak bisa difungsikan untuk menjaga keamanan. Menurut Sigid, kelompok masyarakat seperti itu juga bisa saja, katakanlah mengangkat petugas keamanan. Akan tetapi, petugas keamanan itu juga perlu dibina.

“Seyogyanya diberi sedikit pengetahuan hukum, agar tidak terjadi perbuatan main hakim sendiri,” pungkas Sigid.

Baca juga artikel terkait TOKO RETAIL atau tulisan lainnya dari Muhammad Sidratul Muntaha Idham

tirto.id - Hukum
Kontributor: Muhammad Sidratul Muntaha Idham
Penulis: Muhammad Sidratul Muntaha Idham
Editor: Abdul Aziz