tirto.id - Saya mendatangi Asrama Mahasiswa Papua Kamasan di Jalan Kusumanegara, Yogyakarta pada Kamis malam (9/3/2023). Di sana, saya menemui Jhon Gobai, mahasiswa asal Papua, yang menetap di sana sejak 2021. Sebelumnya, dari 2014, ketika pertama kali datang dari Papua ke Jogja, Jhon selalu berpindah tempat, dari satu asrama ke asrama lain, dari kontrakan ke kontrakan. Pasalnya, ia kesulitan mencari indekos.
Dulu, kisaran tahun 2015, ia berkuliah di Universitas PGRI Yogyakarta yang terletak di Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul. Ia berangkat kuliah dari Asrama Mahasiswa Dogiyai yang bertempat di bilangan Karang Wuni. Jaraknya sekira 8,4 meter–berdasarkan Google Maps, jarak tempuhnya sekitar 25 menit.
Tiap hari, Jhon harus menghabiskan waktu sedemikian lama untuk pulang pergi ke kampus belaka. Ia pun mencoba mencari indekos di sekitaran kampus. Sayangnya, ia tak kunjung menemukan yang ia cari. Oleh pemilik indekos, Jhon selalu ditolak karena berbagai alasan.
Jhon, misalnya, beberapa kali mendatangi sebuah indekos di dekat kampus yang pintu gerbangnya tertulis “ADA KAMAR KOSONG”. Namun, ketika bertanya ke pemilik indekos, Jhon selalu mendapatkan jawaban yang sama: "kos sudah penuh", "baru saja ada yang pesan", dan semacamnya.
Mengalami berbagai penolakan, Jhon pun mencoba cara lain. Ia meminta tolong kepada temannya untuk mencarikan indekos kosong. Jhon pun mendatangi beberapa indekos yang sudah dipastikan temannya memiliki kamar siap sewa. Namun, ketika Jhon mendatangi indekosnya langsung, sang pemilik indekos pun mengatakan hal yang kurang lebih sama dengan induk semang lainnya: indekos sudah penuh.
"Ada tiga bulan sa keliling-keliling cari kos itu," kata Jhon.
"Apakah alasannya agama?" tanya saya.
"Tidak. Saya punya teman dari Fakfak, muslim, dia pun banyak ditolak juga sama kos-kosan," jawab Jhon. "Saya juga tidak tahu jelas, tapi mungkin ini karena warna kulit, karena ciri-ciri yang sering dilekatkan ke orang Papua."
Meski pengalaman Jhon sudah lama lewat, ia berkata, penolakan terhadap pelajar Papua oleh pemilik indekos masih sering terjadi hingga kini.
Pernyataan Jhon terdengar berdasar ketika saya menemui Gispa Ferdinanda, mahasisiwi Hubungan Internasional dari UGM, keesokan harinya. Perempuan yang akrab disapa Gipa ini juga kesulitan mencari indekos di sekitar kampusnya.
Suatu waktu, sekira Maret 2022, ia diterima oleh pemilik indekos di sekitar UGM dengan persyaratan: ia harus menyertakan fotokopi KTP dan KK dari wali yang bukan orang Papua. Akhirnya, Gipa meminta tolong ke dosennya untuk menyerahkan syarat itu.
Gipa mau tak mau menerima syarat itu. Ia sudah mencari indekos sejak Januari, tapi tak kunjung dapat. Kala itu, ia hendak pulang ke Papua. Sebelum mendapatkan indekos, ia sempat terpikir untuk mengontrak satu rumah dengan tiga kamar seharga 21 juta untuk menaruh barang belaka. Tapi pemilik kontrakan tetap menolaknya.
Alhasil, Gipa pun memilih di indekos dan meminta bantuan dosennya untuk menjadi wali. Namun, kesulitan yang ia hadapi tak berhenti di situ. Beberapa bulan setelahnya, ia mendapat kabar dari induk semang bahwa indekosnya hendak direnovasi. Gipa disuruh pindah indekos dalam waktu satu minggu.
Mendapatkan kabar itu, Gipa pun kembali ke Jogja untuk memindahkan barangnya. Belakangan, setelah pindah, ia diberi tahu teman indekosnya yang lama: renovasi itu tak pernah ada.
Cerita yang getir saya dapatkan juga dari Julia, alumni Universitas Mercubuana Yogyakarta. Selama di Jogja, mencari indekos selalu menjadi hal sulit baginya. Pada 2020 misal, ia bahkan diusir dari indekos tanpa alasan.
Pemilik kos pun tak memberi Julia waktu banyak untuk mencari tempat lain. Alhasil, Julia memindahkan barangnya ke sebuah kafe di sekitar UIN. Ia kenal baik dengan pemilik usaha itu dan kerap membantunya mengurus kafe. Sambil bantu-bantu di kafe itu, Julia menetap di sana.
Pengalaman Gipa, Jhon, dan Julia bukan barang yang sepenuhnya baru bagi mahasiswa Papua. Menurut Jhon, penolakan dan diskriminasi terhadap mahasiswa Papua sudah terjadi sejak lama. Itu terjadi karena mahasiswa Papua kerap dilekatkan stereotipe sebagai pembuat onar, gemar mabuk, dan semacamnya.
"Padahal yang mabuk dan buat onar bukan cuma orang Papua. Tidak semua orang Papua juga begitu," kata Jhon.
Kendati demikian, Jhon berusaha untuk tak menerima stereotip itu begitu saja. Ia dan teman-temannya di Asrama Kamasan mencoba berbaur dengan masyarakat sekitar. Ia mengaku hubungan mahasiswa di Asrama dengan masyarakat sekitar terjalin baik.
"Waktu pengepungan asrama tahun 2016, itu masyarakat sekitar juga bantu kasih makan," tutur Jhon.
Maka dari itu, Jhon menganggap alasan penolakan oleh pemilik indekos terhadap mahasiswa Papua, yang diklaim kerap berbuat onar, tak sepenuhnya berdasar. "Mungkin mereka (pemilik indekos) punya pengalaman itu, tapi sekali lagi ya tidak semua orang Papua begitu," kata dia.
Hal yang sama juga diungkapkan Gipa. Sebelum menetap di indekos, ia pernah tinggal di sebuah kontrakan. Saat itu 2019, ia masih mahasiswa baru. Ia mencoba berbaur dengan masyarakat sekitar kontrakannya yang kerap mengadakan berbagai acara. Di suatu hari, ketika warga sekitar mengadakan pengajian, Gipa ikut membantu membungkus makanan untuk jemaah. Namun, oleh salah seorang warga, ia justru disepelekan.
Gipa mencoba untuk tak menyalahkan masyarakat yang menolaknya. "Mungkin mereka belum kenal," kata Gipa. "Tapi kalau nggak kenal mestinya kenalan dong."
Dengan kondisi itu, Gipa merasa kesulitan untuk berbaur dengan masyarakat sekitar. Padahal, ia ingin memiliki relasi yang luas di luar orang Papua. Hanya saja masyarakat sekitar justru menolaknya. Dan penolakan itu justru mempertebal stereotipe
"Karena orang Papua akhirnya ngumpul sendiri di bubblenya," imbuh Gipa.
Saya juga bertemu dengan Esau, Wakil Ketua Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua (IPMAPA) Yogyakarta. Esau bercerita, diskriminasi terhadap pelajar dan mahasiswa Papua sudah lumrah dan mewujud dalam berbagai bentuk.
"Sebenarnya kalau bicara diskriminasi ini luas sekali. Nggak cuma penolakan di indekos, kita juga didiskriminasi di semua tempat," kata Esau.
Esau, misalnya, pernah menangani kasus yang berkaitan dengan pelajar Papua di Yogyakarta. Pelajar itu hendak dikeluarkan sekolah, salah satu alasannya, menurut Esau, karena pelajar itu menganyam rambut. “Menurut saya itu diskriminasi, karena sekolah tidak mau menoleransi sesuatu yang berbeda dari kita.”
Untuk kasus penolakan dari indekos sendiri, Esau mengaku, punya pengalaman pahit. Suatu waktu, Esau pernah berniat ngekos di sekitar UGM. Ia sudah diterima oleh pengelola indekos, yang merupakan anak dari pemilik indekos. Ia bahkan sudah memindahkan barang. Baru saja ia hendak beristirahat, ia tiba-tiba diusir oleh pemilik indekos. Buat Esau, pengalaman itu barang tentu bikin sakit hati.
Esau sendiri tak menampik ada beberapa pemilik indekos yang punya pengalaman tak enak dengan mahasiswa ‘Timur’, yang kerap diasosiasikan dengan kulit gelap. Karena itu, menurutnya, inisiatif dari pelajar Papua untuk berbaur dengan masyarakat sekitar tetap harus diupayakan, betapapun itu sulit.
Bernando J. Sujibto, Sosiolog dari UIN Sunan Kalijaga mengatakan, dalam satu dekade terakhir, stigmatisasi terhadap mahasiswa dari ‘Timur’ memang semakin kuat. Ia disebabkan konflik terbuka yang beberapa kali terjadi di wilayah Babarsari.
Stigma terhadap pelajar ‘Timur’ bukannya tak ada di masa sebelumnya. Stigma, menurut Sujibto bersifat laten. “Kayak kita, misalnya, lihat orang dari mana, nggak mesti dari Papua, kita anggap keras. Itu laten sifatnya,” jelas Sujibto. “Tapi jadi berbahaya kalau berhenti di situ.”
Agar stigma itu tak menjadi tebal, perlu ada ruang untuk mempertemukan berbagai elemen yang berkonflik. Menurut Sujibto, ruang pertemuan itu harusnya diciptakan oleh pemerintah dan lembaga akademik.
Sujibto mencontohkan, sekira 2010, ada festival yang digelar pemerintah untuk mempertemukan pelajar daerah. Bagi Sujibto, hal tersebut merupakan inisiatif baik untuk mengikis stigma antar-daerah. Pun, ruang kampus juga punya kewenangan untuk menciptakan ruang pertemuan dan dialog serupa.
“Itu untuk mengokohkan Yogyakarta sebagai kota pelajar, Indonesia mini, yang jadi jargon itu lah. Kalau itu nggak ada, sama saja,” tegas Sujibto. “Pengerasan identitas akan terjadi juga. Misalnya kos-kosan Muslim, itu kan bentuk pengerasan identitas.”
Sujibto sendiri menganggap keberagaman identitas yang ada di Yogyakarta punya potensi untuk mengikis konflik identitas. Menurutnya, keberagaman itu bisa menjadi modal kultural.
Namun, itu saja tak cukup. Masyarakat, berikut keragaman identitasnya, tak bisa dibiarkan berdialog dan berintegrasi dengan sendirinya.
“Karena mereka sifatnya voluntary. Modal kultural ini harus diaktivasi. Siapa yang mengaktivasi? Ya political will dari pemerintah,” pungkas Sujibto.
Penulis: Muhammad Sidratul Muntaha Idham
Editor: Abdul Aziz