tirto.id - Seorang pria berseragam TNI marah-marah di jalanan. Dalam video amatir berdurasi 52 detik yang viral di media sosial itu memperlihatkan seorang laki-laki yang sedang memaki pengemudi mobil. Dengan raut muka emosi, ia berulangkali menunjuk-nunjuk lawan bicaranya yang berada di dalam mobil.
Tak berselang lama, pria bertubuh kekar itu balik ke mobilnya yang ada di depan. Alih-alih menyudahi perseteruan dan melanjutkan perjalanan, ia justru kembali berjalan ke belakang sembari menenteng dan mengacungkan pisau sangkur kepada lawan bicaranya.
Perselisihan yang melibatkan orang berseragam loreng itu terjadi Jalan MH. Thamrin, Kota Semarang, Jawa Tengah pada Jumat (3/3/2023) sekitar pukul 06.45 WIB.
Setelah videonya beredar luas, Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) IV Diponegoro, Kolonel Inf Bambang Hermanto mengonfirmasi bahwa pria yang marah-marah dan menghunus senjata tajam merupakan prajurit TNI berinisial ES yang berdinas di Kodim 0733 BS/Kota Semarang.
Kapendam menyebut, pihaknya mengambil langkah dan tindakan sesuai prosedur hukum dalam menangani permasalahan yang terjadi secara profesional dan proporsional.
Pasca-kejadian, Satuan Kodim 0733 meminta keterangan anggota tersebut serta berkoordinasi dengan intansi terkait untuk mendapatkan alat bukti lain. Prajurit TNI berinisial ES pun dipertemukan dengan NH, pengemudi mobil yang dimaki-maki.
Berdasarkan mediasi yang digelar pada Minggu (5/3/2023), kedua belah pihak sepakat berdamai dan meneken perjanjian untuk tidak melanjutkan ke ranah hukum.
“Kejadian tersebut murni karena salah paham,” ujar Kapendam IV Diponegoro melalui keterangan tertulis yang diterima kontributor Tirto, Senin (6/3/2023).
Arogansi Aparat yang Kerap Berulang
Kasus arogansi aparat di jalanan bukan kali pertama terjadi. Pada 22 September 2022, kamera amatir merekam pengemudi mobil Toyota Fortuner di Tol Jagorawi (Jakarta-Bogor-Ciawi) membuka jendela dan menodongkan pistol kepada pengemudi Toyota Avanza.
Usut punya usut, pengemudi Fortuner berpelat merah tersebut adalah anggota TNI aktif berinisial Kapten RS yang bertugas di Kementerian Pertahanan. Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI saat itu menyatakan kasus RS selanjutnya diproses oleh Puspom.
Pada 13 Agustus 2021, ada kasus lain yang melibatkan anggota TNI. Seorang prajurit berinisial Praka AMT diduga sengaja menghalangi laju ambulans yang membawa pasien kritis di daerah Otista Raya, Jakarta Timur.
Jika ditarik ke belakang, ada juga kasus arogansi prajutit TNI pada 5 September 2020. Komandan Kodim 0736/Batang berinisial Letkol Inf. DE memberhentikan mobil seorang perempuan yang dianggap menyerempet mobilnya. Namun, pengemudinya menolak turun.
DE yang belum lama menjabat sebagai Dandim di Kabupaten Batang, Jawa Tengah itu sempat memaksa pengemudi agar turun dan mencoba merebut ponselnya. Adegan kekerasan tersebut sempat direkam pengemudi dan kemudian dijadikan bukti melapor ke Pomdam IV Diponegoro.
Masih banyak aksi koboi aparat dalam insiden jalanan di Indonesia. Mereka seolah menuntut diberi keistimewaan berkendara, padahal undang-undang tidak mengatur kekhususan aparat TNI yang sedang berkendara di jalan raya.
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno mengatakan, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) hanya mengatur tentang kendaraan yang mendapat prioritas.
“Bukan aparatnya, tapi ada kekhususan untuk kendaraan tertentu," ujar Djoko, Senin (6/3/2023).
Merujuk pada Pasal 134 Undang-Undang LLAJ disebutkan, ada tujuh kelompok yang berhak mendapat perlakuan istimewa di jalan. Pertama, kendaraan pemadam kebakaran yang bertugas; kedua, ambulans yang mengangkut orang sakit; ketiga, kendaraan yang menolong kecelakaan lalu lintas.
Keempat, kendaraan pimpinan lembaga negara; kelima, kendaraan tamu negara; keenam, iring-iringan kendaraan pengantar jenazah; dan ketujuh, konvoi atau rombongan kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kasus Berulang, Instansi Harus Berbenah
Antropolog dari Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Misbah Zulfa Elizabeth mengatakan, setiap profesi memiliki standar profesional. Seperti institusi TNI mempunyai kode etik yang merupakan pedoman moral bagi seluruh anggotanya.
Standar profesional tersebut kemudian dijadikan acuan oleh masyarakat. Misalnya masyarakat berekspektasi bahwa aparat TNI menjunjung tinggi kedisiplinan, mempunyai orientasi mengayomi, melindungi, dan menyelamatkan.
Namun, kata Misbah, perlu diingat bahwa ada kemungkinan seorang aparat melakukan kesalahan. "Secara sosiologis, sebenarnya standar itu tidak selalu lurus, ada kalanya mengalami deviasi (kecenderungan berubah-ubah)," kata dia, Senin (6/3/2023).
Misbah yang juga Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Walisongo ini mengatakan, pelanggaran perorangan tidak bisa diklaim sebagai representasi kesalahan institusi secara umum.
Bahkan, meskipun pelanggaran terjadi beberapa kali, bagi dia, bukan berarti masyarakat boleh secara serampangan menghakimi. Sebab, nyatanya keberulangan pelanggaran terjadi dalam waktu dan tempat yang berbeda-beda.
“Saya masih melihat itu (banyaknya pelanggaran) merupakan variabilitas orangnya. (Aparat) yang baik masih banyak. Peribahasa kita menyebut 'nila setitik rusak susu sebelangga', bahwa satuan TNI/Polri ternoda satu orang, seolah-olah semua aparat salah. Seharusnya itu tidak terjadi," tuturnya.
Sebaliknya, pengacara publik YLBHI-LBH Semarang Bidang Sipil dan Politik, Ignatius Rhadite mengatakan, banyaknya kasus arogansi aparat menunjukkan perlunya institusi yang bersangkutan untuk berbenah. Tidak boleh dimaklumi!
Dia menyebut, banyaknya aparat yang bersikap baik merupakan kewajiban dan tugas yang diamanatkan negara, sementara ketika ada yang melakukan pelanggaran maka layak mendapatkan sanksi hukum maupun sanksi sosial.
“Ketika ada pelanggaran, pelakunya harus diberi sanksi sebagai efek jera. Publik juga berhak mengkritik agar kejadian serupa tidak dilakukan aparat yang lain," tutur Rhadite.
Harus Ditindak Tegas
Masalah arogansi aparat sudah lama menjadi sorotan. Bahkan, Laksamana TNI Yudo Margono saat menjalani uji kelayakan sebagai calon Panglima TNI sempat berjanji untuk menjamin tidak ada prajurit TNI bersikap arogan yang dapat merugikan rakyat.
Usai dilantik, Yudo bahkan secara spesifik memasukkan larangan bertindak arogan dalam tujuh perintah harian untuk seluruh prajurit. Pada poin terakhir disebutkan, anggota TNI dilarang bersifat atau bersikap arogan. Prajurit TNI harus tegas namun tetap humanis dan disegani.
Rhadite mendukung penuh pelaksanaan Tujuh Perintah Harian Panglima TNI. Ia pun mendesak agar arogansi aparat diberi tindakan tegas agar tidak terjadi keberulangan. Apalagi TNI terikat dengan Sapta Marga hingga sumpah prajurit.
“Ketika aparat tidak menjalankan peraturan yang ada, entah itu undang-undang ataupun kode etik, maka di sinilah arogansi terlihat. Kalau itu terjadi ya harus ditindak tegas," ucap Rhadite yang fokus mendalami isu reformasi sektor keamanan dan tindakan unfair trial aparat penegak hukum.
Selama ini aparat diberi keistimewaan seperti diperbolehkan menggunakan senjata, tetapi di sisi lain agar tudak disalahgunakan, tindakannya dibatasi aturan. Senjata boleh diangkat dalam kondisi tertentu, tidak boleh hanya karena masalah pribadi di jalan raya lantas seenaknya menodongkan senjata.
Di sisi lain, Rhadite menyoroti banyaknya kasus arogansi aparat yang berujung diselesaikan secara damai. Menurutnya, perlu adanya transparansi dalam setiap proses penanganan perkara.
“Publik perlu tahu apakah perdamaian muncul atas inisiasi masing-masing pihak atau ada intimidasi yang membuat salah satu pihak akhirnya terpaksa memilih damai," kritiknya.
Selain itu, kata Rhadite, terlepas dari adanya kesepakatan damai, tetapi apabila aparat bersikap arogan dan melanggar kode etik, maka tetap harus diberi sanksi sesuai dengan mekanisme yang ada.
Penulis: Baihaqi Annizar
Editor: Abdul Aziz