tirto.id - Selama tujuh tahun, Roslina saban pagi mesti bolak-balik mengangkut jerigen 25 liter untuk membeli air di jamban umum. Jarak yang ia tempuh sekitar 2 kilometer dari rumah. Dia merasa tak punya pilihan lain setelah kebanyakan sumur di tempat tinggalnya mengering atau harus terus digali lebih dalam bila tak ingin airnya bau atau berwarna kuning.
Sementara air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) tak lagi mengalir. Warga permukiman padat penduduk Gang Budi Darma, Kelurahan Ciroyom, Kota Bandung, tidak pernah tahu kenapa air itu tak lagi sampai ke kamar mandi mereka.
Sejak 2012 itulah, Roslina akhirnya terpaksa membeli air ke jamban. Pada akhir 2019, kampungnya mendapat bantuan sumur bor lewat Program Kotaku (Kota Tanpa Kumuh), diklaim pemerintah sebagai dukungan untuk rakyat kecil dengan rumus 100-0-100. Maksudnya, 100 persen akses air minum layak, 0 persen permukiman kumuh dan 100 persen akses sanitasi layak.
Sejak itu, Roslina memang berhenti membeli air ke jamban umum. Ia termasuk beruntung dapat kucuran air walau seadanya, agak keruh, baunya samar karat besi, serta diam-diam memendam perasaan tidak enak, sebab Roslina tahu ada warga di kampungnya yang tak kebagian kucuran itu.
“Pas wudu suka kecium bau. Tapi, ya, dicukup-cukupin aja,” kata Roslina kepada kontributor Tirto bertandang ke rumahnya pada Senin, 6 Maret 2023.
Sulitnya air bersih juga diakui Arie Nugraha di daerah Bandung Timur, Kelurahan Pasir Endah, Kecamatan Ujung Berung. Ia dan keluarga kini menyelang air gunung hasil swakelola warga. Mereka menutup sumur karena airnya kotor, sementara air PDAM pampat seperti di tempat Roslina.
“Sempat pakai sumur bor, tapi caina awon (airnya jelek), koneng aya kerakna (kuning ada endapan), teu tiasa dieueut (tidak bisa diminum), jadi kedah meser deui (jadi harus beli lagi)," kata Arie.
PDAM Tirtawening Kota Bandung mengakui belum bisa memenuhi kebutuhan air secara menyeluruh. Kebutuhan air penduduk Kota Bandung disebut sekitar 6.000 liter perdetik, sementara PDAM Tirtawening baru bisa mengolah air sekitar 2.200-2.400 liter/detik.
Mengutip laman resminya, perusahaan air pelat merah ini disebut memiliki sejumlah sumber air. Di samping air sungai, dan beberapa mata air, perusahaan juga memiliki 20 sumur air tanah dalam. Pemanfaatannya diklaim untuk membantu daerah yang tidak terjangkau oleh pelayanan dari instalasi induk.
Penurunan Muka Air Tanah
Demi mendapatkan air sumur yang bersih, bukan hanya dompet yang mesti dirogoh lebih dalam, tapi juga lapisan tanah. Wargo yang sudah bekerja di bidang gali sumur lebih dari 16 tahun hafal betul soal itu. Pengeboran sumur harus dalam, apalagi dibuat di daerah kawasan industri atau wilayah komersil, semisal hotel, pusat perbelanjaan, atau perumahan elite.
“Harus dalam, minimal 60 meter atau 80 meter. Kalau asal ada air, ya, dangkal juga bisa, tapi kuning, kotor. Di daerah Ciroyom memang lumayan harus agak dalam, minimal 80 meter," akunya kepada kontributor Tirto saat bertemu di daerah Citepus, Senin (6/3/2023).
Amatan Wargo, tampak senada dengan penyelidikan Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan (PATGTL) Badan Geologi Kementerian ESDM pada 2010. Studi mereka menunjukan adanya penurunan muka air tanah secara signifikan di Cekungan Bandung, bahkan masuk kategori kritis dan rusak.
Kategori kritis itu berarti penurunan muka air tanah lebih dari 60 persen dari kondisi semula dan kategori rusak lebih dari 80 persen dari kondisi semula. Di beberapa zona konservasi penurunannya dikabarkan hingga 100 meter. Dalam 13 tahun terakhir ini, ditengarai kondisinya terus memburuk.
“Tahun ini kami tengah mempersiapkan kajian lanjutan terkait kondisi air tanah di CAT Bandung-Soreang," kata Kepala PATGTL Badan Geologi, Rita Susilawati saat dihubungi kontributor Tirto di Bandung pada 28 Februari 2023.
Penurunan muka air tanah dinilai terjadi lantaran ekstraksi air tanah yang berlebihan, melampaui daya dukung lingkungannya. Pengeboran sumur air tanah dalam umumnya dilakukan pihak pemegang izin pengusahaan air tanah seperti untuk pabrik atau hotel.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021 menyebut, jumlah perusahaan industri besar dan sedang di Kota Bandung mencapai 1.432 perusahaan, 218 perusahaan di antaranya bergerak di industri tekstil. Sementara ada sebanyak 310 hotel dan penginapan di Kota Bandung, dengan jumlah kamar mencapai 18.381 unit.
Sektor lain yang juga membengkak adalah restoran. Dari 782 restoran pada 2018 menjadi 1.234 restoran pada 2021. Pertumbuhan pembangunan di Kota Bandung akan meningkatkan kebutuhan akan air.
Disinyalir, penurunan muka air tanah turut diperburuk adanya sumur-sumur dalam yang ilegal, tak berizin. Sementara itu, Rita mengatakan, "masyarakat atau penduduk umumnya hanya mengambil air tanah dangkal atau air tanah bebas secara terbatas, relatif tidak berpengaruh atas rusaknya air tanah artesis.”
Penurunan Muka Tanah
Pengambilan air tanah yang berlebihan ikut berakibat terjadinya penurunan muka tanah atau land subsidence. Penurunan muka tanah ini bisa berdampak pada kerusakan bangunan rumah, infrastruktur, bisa menjadi bahaya untuk konstruksi jalan atau jembatan, serta memperluas area genangan banjir.
Kelompok peneliti geodesi dari ITB, pernah melakukan studi pemantauan penurunan muka tanah di Cekungan Bandung selama periode 2000-2009, memakai metode survei GPS (Global Positioning System) dan InSAR (Interferometri Syntetic Aperture Radar).
Tim peneliti terdiri dari Irwan Gumilar, Hasanuddin Z. Abidin, LM Hutasoit, DM Hakim, Dina A. Sarsito, Andreas, dan Teguh Sidiq.
Penelitian mereka menunjukan bahwa beberapa lokasi di Cekungan Bandung telah mengalami penurunan muka tanah yang cukup signifikan. Misalnya, di Cimahi, khususnya wilayah Leuwigajah, penurunan muka tanah sekitar 14 sentimeter/tahun, Dayeuhkolot dan Majalaya sekitar 4-7 sentimeter/tahun, sedangkan wilayah Gedebage dan sekitarnya mengalami penurunan muka tanah sekitar 9-14 sentimeter/tahun.
Mereka menegaskan jika penurunan muka tanah tersebut akibat pengambilan air tanah yang berlebihan oleh pabrik-pabrik di wilayah Cekungan Bandung.
“Perlu dicatat, semua wilayah tersebut (yang terjadi penurunan tanah) merupakan kawasan industri yang diduga mengambil banyak air tanah (artesis)," tulis tim peneliti dalam jurnal “Studi Pemantauan Penurunan Muka Tanah di Cekungan Bandung dengan Metode Survei GPS dan InSAR,” diterbitkan Indonesian Journal of Geospatial, ITB.
Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung, belum lama ini juga mempublikasikan penelitian serupa, berjudul “Deteksi Penurunan Muka Tanah Menggunakan Metode DinSAR dengan Data Sentinel 1-A,” disusun Aditya Firdaus Nusantara dan Dewi Kania Sari.
Penurunan muka tanah tertinggi di Cekungan Bandung terhitung mencapai -21,3 sentimeter dalam kurun waktu 2020-2021. Sebagian daerah yang mengalami penurunan tanah itu yakni wilayah kecamatan Rancaekek, Cileunyi, Bojongsoang, Rancasari, Margacinta, Dayeuh Kolot, Margahayu, Margaasih, Bandung Kulon hingga Babakan Ciparay, atau area tengah Cekungan Bandung.
“Nilai PMT (penurunan muka tanah) tertinggi adalah sebesar -21,3 cm yang berada di wilayah Kecamatan Cileunyi," tulis tim peneliti.
Rusaknya Air Tanah Dalam, Tercemarnya Air Tanah Dangkal
Rusaknya air tanah adalah ancaman serius bagi Kota Bandung: bisa memicu krisis air berkepanjangan yang tidak hanya menyulitkan warga kini, tapi jadi “dosa” yang akan turut ditanggung generasi mendatang. Kerusakan air tanah artesis dinilai sulit diatasi, sekalipun dengan membiakkan kawasan resapan air di wilayah perkotaan.
Ahli Geodesi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Heri Andreas menjelaskan, air yang meresap lewat kawasan-kawasan resapan di perkotaan biasanya hanya sampai pada cadangan air tanah dangkal.
“Tak tembus ke akuifer dalam, karena ada lapisan penutup,” kata Heri kepada kontributor Tirto pada 7 Maret 2023.
Butuh waktu puluhan, bahkan ratusan tahun agar cadangan air tanah dalam kembali terisi. Heri mengatakan, "proses perkolasi atau pengisian kembali air tanah ke akuifer tertekan itu sangat lama. Bahkan, dari wilayah Lembang, dari hulu, (air) butuh ratusan tahun untuk bisa sampai ke cekungan Bandung.”
“Ketika dieksploitasi besar-besaran, perkolasi belum selesai, (cadangan) yang diakuifer sudah habis. Itu bisa memicu kompaksi (pemadatan). Kalau sudah begitu, akuifer dalam sulit terisi lagi sebab porisitasnya mengecil," imbuhnya.
Pemanfaatan air tanah sebaiknya jadi alternatif paling ujung setelah air permukaan dan air perpipaan. Tapi, "sekarang PDAM sendiri malah pakai sumur air tanah dalam. Ini harusnya jadi warning. Harusnya menghindari air tanah, ini malah punya banyak sumur bor," kata Heri.
Eksploitasi air artesis pun dianggap buntut dari buruknya pengelolaan dan pemeliharaan air tanah dangkal atau air permukaan. Ketika air tanah dangkal tercemar, mata bor sumur-sumur itu butuh menghujam tanah semakin dalam untuk menembus simpanan air yang lebih bersih.
Upaya krusial untuk menahan laju kerusakan air tanah dalam adalah melakukan pemulihan air permukaan, di antaranya mengurangi pencemaran air karena pembuangan limbah dan sanitasi yang tak terkelola, mengetatkan pemberian izin dan meningkatkan pengawasan pengusahaan air tanah.
Pengolahan air limbah harus bisa lebih masif, ditambah dengan pemanfaatan air hujan dan air sungai, serta sumber air permukaan lainnya.
“Pemulihan air dangkal bisa jadi salah satu kunci. Sekarang ini air dangkalnya tercemar limbah industri dan domestik. Sementara, air dalamnya habis disedot. Ini masalah ganda air tanah di Kota Bandung yang berkaitan," imbuh Heri.
Untuk melihat gambaran pencemaran air permukaan, Tirto.id secara terbatas merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Bandung Dalam Angka 2023 tentang kualitas air sungai.
Data menunjukan, semua sungai di Kota Bandung dalam keadaan tercemar. Dari jumlah keseluruhan sebanyak 24 sungai, 19 sungai dinyatakan cemar ringan dan 5 sungai lainnya cemar sedang yakni Sungai Curug Dogdog, Sungai Cigondewah, Sungai Cipamokolan, Sungai Cikendal, dan Sungai Cisaranten.
Pemulihan air permukaan diperkirakan paling cepat butuh waktu sekitar 10 tahun, seperti di Shanghai, Tokyo, bahkan Bangkok dan Manila disebut butuh waktu lebih lama, sekitar 15 tahun. Namun, meski kerja pemulihan air ini jadi langkah panjang dan berbiaya, Heri Andreas menegaskan, pemerintah harus menempuhnya demi keberlanjutan lingkungan hidup.
“Kita setidaknya punya waktu 15 tahun atau bisa lebih. Artinya, 10 tahun ke depan mungkin kita masih bermasalah, maka mesti mulai memperbaikinya. Kebayang kalau tidak diperbaiki saat ini, akan terus memburuk selama 20 tahun ke depan. Tahun 2050, diprediksi akan terjadi krisis air bersih di Bandung. Ini problem besar dan (eksploitasi air tanah secara berlebihan) itu adalah silent killer," kata dia.
Air Mahal jadi Beban Hidup Warga Miskin
Ketika kerusakan lingkungan perkotaan semakin parah, masyarakat miskin kerap jadi yang paling sulit. Fakta di lapangan, perusahaan penyedia air bersih milik pemerintah tidak mampu melayani masyarakat secara menyeluruh. Warga dipaksa bersusah payah mengakses air bersih dengan kemampuannya sendiri.
Peneliti Perkumpulan Prakarsa, Dwi Rahayu Ningrum mengatakan, masih banyak penduduk yang belum dapat mengakses sanitasi, air minum layak, dan bahan bakar memasak layak. Hal ini sesuai dengan indikator kemiskinan multidimensi (IKM).
Data Perkumpulan Prakarsa menunjukkan, sekitar 83 persen penduduk miskin nasional diketahui tidak memiliki sanitasi yang layak. Sementara itu, sekitar 81 persen penduduk miskin tidak memiliki akses air minum yang layak. Lalu, 76 persen penduduk miskin juga didapati tak memiliki bahan bakar memasak yang layak.
“Karakteristiknya ternyata yang paling banyak menyumbang kemiskinan paling tinggi sanitasi, air minum layak, dan bahan bakar memasak,” kata Dwi sebagaimana diberitakan Tirto, Kamis (11/4/2019).
Cadangan air tanah di Bandung semakin menipis direguk sumur-sumur bor industri. Direktur Walhi Jawa Barat, Meiki Paendong menyebutkan, dalam catatannya ada sekitar 170 izin pemakaian air tanah besar-besaran di Kota Bandung.
Meiki sepakat dengan Heri Andreas, pemulihan air dangkal atau permukaan harus dilakukan. Jangan sampai, air tanah dalam semakin menipis, semetara air di atas tanah hanya sebatas mengalir sebagai banjir, dan berakhir tercemar di sungai.
Krisis air dianggap sudah di depan mata. Saat ini pun, kelangkaan air bukan isapan jempol, antrean warga untuk air bersih kerap mengular walaupun bukan di musim kemarau, seperti yang belum lama ini terjadi di wilayah Bandung Barat.
Kondisi makin runyam ketika harga air bersih semakin mahal, sampai-sampai disebut turut menyebabkan inflasi di Kota Bandung, dan tentunya semakin meniban hidup warga miskin kota yang sejak awal pun sebetulnya sudah terlampau berat.
Air diakui bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) seperti ditegaskan dalam Resolusi Nomor 64/292 pada Sidang Umum PBB tahun 2010. Setiap orang seharusnya berhak atas air yang layak dan mudah didapatkan.
Tapi Roslina di Gang Budi Darma, Arie di Bandung Timur, serta warga miskin lainnya yang tersebar di kampung-kampung kota ini akan paham bahwa tidak semua orang mudah mendapatkan air bersih.
Penulis: Dikdik Ripaldi
Editor: Abdul Aziz