Menuju konten utama
Newsplus

Pelecehan Merajalela, Di Mana Ruang Aman untuk Anak?

Kasus-kasus kekerasan dan pelecehan terhadap anak mengingatkan kembali betapa krusialnya ruang aman bagi anak.

Pelecehan Merajalela, Di Mana Ruang Aman untuk Anak?
Ilustrasi Bersedih. foto/istockphoto

tirto.id - Kekerasan seksual terhadap anak masih terus terjadi di ruang-ruang yang seharusnya mereka dilindungi. Di lingkungan institusi pendidikan non-formal, saat anak-anak hendak memperkaya pengetahuan, beberapa justru mendapat pengalaman traumatis.

Baru-baru ini, kekerasan seksual terhadap anak dilaporkan terjadi di Ciledug, Tangerang, di mana pelaku merupakan seorang guru ngaji. Ia memanfaatkan gelar keagamaan dan otoritasnya sebagai pendidik untuk melakukan pelecehan terhadap sejumlah murid-muridnya.

Menurut informasi dari Polda Metro Jaya, pelaku menggunakan modus berpura-pura mendapatkan mimpi bahwa tangan pelaku sakit dan yang bisa menyembuhkan adalah air mani dari korban.

Kejadian di luar nalar itu menambah deret panjang kasus kekerasan seksual terhadap anak.

Mundur ke tahun 2022, kasus serupa juga terjadi di Pondok Pesantren Majma'al Bahroin Hubbul Wathon Minal Iman Shiddiqiyyah, Kecamatan Ploso, Jombang, Jawa Timur. Pelaku merupakan anak pemilik pondok pesantren bernama Moch Subchi Azal Tsani alias Bechi.

Salah seorang korban, saat itu, berujar bahwa ia mengalami pelecehan sejak 2012. Kala itu, usianya masih 15 tahun atau masih berstatus anak di bawah umur. Modus yang digunakan pelaku yakni mengajak korban pacaran dan berjanji akan menikahi korban. Namun, janji itu tidak ditepati. Empat tahun kemudian, korban justru mendapat intimidasi.

Masih ada lagi, pada 2021, seorang guru ngaji juga diketahui melakukan pelecehan terhadap beberapa muridnya saat mengaji dan latihan salat. Pelaku malah berdalih tindakannya semata bertujuan untuk mengarahkan gerakan salat para santriwatinya. Di sisi lain, pelaku juga mengaku menyentuh pantat dan paha korban.

Jumlah kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak memang bisa dibilang masih tinggi. Pada 2023, Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan menunjukkan jumlah aduan kekerasan dengan korban anak (di bawah 18 tahun) mencapai 282 aduan. Angka itu menyumbang sekira 8,54 persen dari total aduan korban sebanyak 3.303 aduan.

Ibarat gunung es, kasus-kasus yang dilaporkan diduga hanya sebagian dari jumlah kasus yang realitanya lebih banyak dari itu. Ada beragam faktor yang melatarbelakangi korban atau keluarga korban untuk tidak melaporkan kasus kekerasan, apalagi jika pelaku merupakan pendidik atau tokoh agama.

Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati, menyebut bahwa selain persepsi masyarakat yang positif terhadap pemimpin agama atau guru agama, masih ada anggapan yang melekat di kalangan masyarakat kalau kekerasan seksual itu aib.

“Masyarakat kita masih punya proses yang panjang untuk itu tadi, menyadari bahwa ternyata ini pelakunya adalah guru ngaji anak saya loh, pelakunya adalah tokoh agama loh. Lalu setelah itu kaget, itu tuh membutuhkan waktu yang tidak sebentar ya. Masyarakat kita juga takut, dan satu lagi, masyarakat kita takut bertemu dengan aparat penegak hukum, apalagi polisi,” kata Mike saat berbincang dengan Tirto, Jumat (31/1/2025).

Menurut Mike, publik masih punya skeptisisme terhadap polisi lantaran tabiatnya yang selama ini tebang pilih dalam memproses aduan. Belum lagi proses yang lama dan berlarut-larut pun turut menambah keengganan masyarakat untuk melapor.

“Bagaimana merobohkan persoalan cara pandang masyarakat kita yang masih menganggap kekerasan seksual ini adalah delik privat ya, satu itu bukan urusan kita, padahal kalau menyangkut anak itu sudah bukan urusan siapa-siapa, itu urusan kita semua,” tegas Mike.

Sosialisasi Harus Meluas ke Lembaga Pendidikan Non-Formal

Menyoal kasus-kasus kekerasan terhadap anak yang juga banyak terjadi di lingkungan pendidikan non-formal, Mike mendorong pemerintah untuk memperluas sosialisasi ke ranah-ranah yang berbeda dengan lembaga pendidikan formal.

"Misal ada upaya baik yang dikeluarkan oleh Kemenag, kalau tidak salah. Itu termasuk peraturan menteri nomor 73, saya lupa ini. Itu tentang bagaimana penanganan kekerasan di sekolah-sekolah agama. Ini baik ya, ini bagaimana jangan hanya sekedar kebijakan yang dikeluarkan, tetapi ini harus turun dalam langkah-langkah konkret juga, bagaimana sosialisasi itu dikuatkan," kata Mike.

Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama sudah memuat bagaimana pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dilakukan terhadap peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan pendidikan, penyelenggara satuan pendidikan, dan pemangku kepentingan terkait.

Satuan pendidikan yang dimaksud merupakan kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan di kementerian agama.

Masalahnya, dalam kasus seperti ini, lembaga pendidikan tak jarang cuci tangan dan lepas tanggung jawab. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dian Sasmita, mengungkap, beberapa kasus yang ditemui justru lembaga tidak pendukung upaya penegakan hukum.

“Bentuknya macam-macam, dengan misalnya mengancam siswa, nanti dikeluarkan dari sekolah, kemudian menekan siswa supaya lebih menghargai pada guru, karena guru sudah memberikan pengajaran, dan lain-lain,” ujar Dian kepada Tirto, Sabtu (1/2/2025).

Dian bilang, karakter kasus kekerasan seksual yang terjadi di ruang-ruang belajar dan ruang berkumpul anak biasanya membawa korban yang cukup banyak.

Dengan begitu, perlu adanya langkah khusus untuk merespons. Sebab, dengan banyaknya korban, maka artinya dampak terhadap korban pun sangat besar. Tak hanya korban, ada juga dampak tidak langsung yang dialami oleh para saksi anak.

“Ini yang tidak boleh diabaikan. Jadi dukungan pemulihan tidak hanya pada korban, tapi juga pada saksi-saksi ini. Saksi oke, mungkin bisa dikatakan tidak melihat secara langsung. Tapi misal saksi tersebut pernah mendengar cerita dari teman yang menjadi korban, ini juga perlu mendapat intervensi,” kata Dian.

Ruang Aman Bisa Dimulai dari Cara Berpikir

Kasus-kasus kekerasan dan pelecehan terhadap anak mengingatkan kembali betapa krusialnya ruang aman bagi anak. Menurut Mike, menciptakan ruang aman harus dimulai dari cara pandang terhadap kekerasan berbasis gender atau seksual. Hal ini bisa dimulai dari ranah keluarga hingga komunitas.

“Lalu juga sektor-sektor yang selama ini berkaitan dengan kerentanan korban. Apakah itu anak, perempuan atau kelompok-kelompok minoritas lainnya. Nah ini yang menurut saya tidak boleh dilihat sebagai sesuatu yang hanya maap kata ya mbak, anget-anget tai ayam, jadi mumpung kemarin lagi booming, maka banyak dibicarakan,” ujar Mike.

Bukan saja dilanjutkan implementasinya dalam penanganan dan pencegahan kekerasan, tapi juga perlu adanya evaluasi. Misalnya, memastikan kasus-kasus kekerasan diproses dengan menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual/UU TPKS.

Mike mendorong pemerintah untuk melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan secara berkelanjutan. Dengan begitu, tercipta budaya atau norma dalam masyarakat yang betul-betul meninggikan martabat manusia, dengan kata lain, tak ada toleransi terhadap kekerasan berbasis gender atau seksual.

“Jangan stop hanya karena untuk mencapai SDGs [Sustainable Development Goals] lah, untuk mengejar target, enggak. Ini bicara soal bagaimana pada tataran tertentu kekerasan berbasis gender itu pada titik zero gitu lho,” tegas Mike.

Dian dari KPAI juga menekankan pentingnya upaya pencegahan dan pengurangan risiko. Keduanya juga harus dilakukan secara serius. Dengan demikian, kasus-kasus serupa yang terjadi di berbagai wilayah tidak akan terulang.

“Tidak hanya dilakukan setahun sekali atau tidak hanya dilakukan dengan membuat peraturan saja. Tapi peraturan itu juga harus dipastikan ditegakkan, dan diawasi penegakannya. Ini yang penting sekali,” kata Dian.

Kata Dian, masyarakat, semua lembaga, dan semua institusi mesti paham bahwa kekerasan adalah kekerasan. Kekerasan tidak ada “tapinya” dan kekerasan tidak boleh dinormalisasi.

“Perlu juga peran serta masyarakat untuk tahu bahwa tindakan ini adalah kekerasan dan harus dihentikan, dan pelaku harus mempertanggung jawabkan perbuatannya karena sudah menyebabkan penderitaan kepada anak. Nah itu perlu sekali dipahamkan,” tegas Dian.

Baca juga artikel terkait ANAK atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty