tirto.id - Hasil survei sejumlah lembaga survei menunjukkan elektabilitas partai berbasis Islam “terjun bebas” menjelang Pemilu 2024. Tiga partai tersebut, antara lain: Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sebaliknya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) justru mengalami peningkatan elektabilitas.
Misal saja, survei LSI Denny JA menyebutkan, elektabilitas PAN hanya pada angka 1,9 persen dan PPP di angka 2,1 persen. Sedangkan PKB dengan angka 8 persen dan PKS 4,9 persen. Survei itu dilakukan selama periode 4 hingga 15 Januari 2023 di 34 provinsi seluruh Indonesia.
Data yang dirilis Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) juga menunjukkan hal yang sama. Dalam survei SMRC, elektabilitas PPP mengalami penurunan dari 4,5% menjadi 2,4 persen. Sementara itu, elektabilitas PAN anjlok lebih parah, dari 6,8% turun menjadi 1,9 persen.
Kedua partai berbasis massa Islam itu terancam terdepak dari DPR RI karena tidak lolos ambang batas parlemen atau parliamentary threshold 4 persen. Adapun PKB berdasarkan data SMRC mengalami kenaikan elektabilitas, yakni dari 9,7 persen (suara di parlemen) menjadi 10,3% dalam survei.
Namun Ketua DPP PPP, Achmad Baidowi alias Awiek tak sependapat dengan hasil survei di atas. Menurutnya sejak sejarah lembaga survei berdiri, hampir setiap hasil survei menyebut PPP tidak pernah lolos ambang batas parlemen. Faktanya, kata dia, hasil pemilu berkata lain: PPP selalu lolos ke Senayan.
“PPP selalu lolos ke parlemen. Karena PPP mau ikut pemilu, tidak mau ikut survei," kata Awiek saat dihubungi reporter Tirto, Senin (20/3/2023).
Menurut Awiek, hasil survei selalu dijadikan sebagai semangat untuk bekerja maksimal setiap menuju pemilu. Ia mengatakan, mesin politik PPP hari ini bergerak masif, mulai pendekatan struktur, kultur, dan figur agar suara partai berlambang ka’bah itu pada pemilu mendatang lebih maksimal.
Dalam kesempatan terpisah, Wakil Ketua Umum DPP PAN, Viva Yoga Mauladi mengatakan, survei SMRC selalu sama sejak 2004, yang menyebut elektabilitas PAN kerap menurun. “Biasa sih kalau itu surveinya SMRC," kata Viva Yoga saat dihubungi Tirto.
Viva Yoga menyebut, sejak 2004 sampai 2022, SMRC kerap merilis hasil survei bahwa PAN adalah partai nasakom. “Partai yang nasibnya satu koma. Bahkan merilis hasil elektabilitas PAN kalah dengan partai politik yang tidak lolos parliamentary threshold," ucap Viva Yoga.
Ia mengatakan, jika hasil dari lembaga survei itu akurat dan valid, maka seharusnya sejak Pemilu 2004, PAN tidak lolos parlimentary threshold. Namun, kata dia, sebaliknya hasil surveinya selalu tidak terbukti.
“Sampai Pemilu 2019, PAN masih memperoleh kursi DPR RI," kata Viva Yoga.
Ia mengatakan, dari data resmi KPU RI pada Pemilu 2004, PAN memeroleh suara nasional sebesar 6,44 persen. Lalu, Pemilu 2009 sebesar 6,01 persen, Pemilu 2014 sebesar 7,59 persen, dan Pemilu 2019 sebesar 6,84 persen.
“Jadi, ada perbedaan hasil super signifikan antara prediksi melalui hasil survei oleh SMRC itu dengan hasil resmi pemilu yang ditetapkan oleh KPU," kata Viva Yoga.
Sementara itu, Ketua DPP PKB, Daniel Johan menyambut baik survei yang dirilis SMRC itu. Menurut Daniel, elektabilitas PKB yang makin naik itu berkat kerja keras kader dari ranting hingga pusat.
Daniel memastikan, seluruh kader bakal terus bekerja agar elektabilitas terus menanjak. “Kami akan terus bergerak hingga mencapai minimal posisi kedua,” tutur Daniel saat dihubungi reporter Tirto.
Daniel mengklaim elektabilitas PKB terus konsisten karena kuatnya hubungan idoelogis dan kultural dengan Nahdlatul Ulama atau NU.
“Keterbukaan PKB yang merangkul semua kekuatan sebagai kekuatan bersama," kata Daniel.
Direktur Riset SMRC, Deni Irvani mengatakan, berdasarkan survei yang dirilis lembaganya, ada tiga partai yang mengalami peningkatan perolehan suara dari proses Pemilu 2019. Pertama, PDIP yang meningkat dari 19,3 persen (Pemilu 2019) menjadi 23,4 persen dalam survei SMRC.
Kedua, Partai Gerindra di parlemen memiliki 12,6 persen suara, naik menjadi 14,1 persen dalam survei SMRC ini. Lalu, diikuti PKB yang memiliki 9,7 persen di parlemen dan dalam survei ini sebesar 10,3 persen.
Deni menjelaskan, peningkatan elektabilitas masih dinikmati oleh tiga partai tersebut. Sementara partai-partai lain mendapatkan dukungan lebih rendah dari perolehan Pemilu 2019. Seperti Golkar dari 12,3 persen menjadi 9,1 persen, Nasdem dari 9,1 menjadi 7,0 persen, Partai Demokrat dari 7,8 menjadi 5,9 persen, PKS dari 8,2 menjadi 5,7 persen.
Mengapa Elektabilitas PAN dan PPP Turun?
Pengamat politik dari Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga mengatakan, wajar jika elektabilitas PAN menurun. Sebab, kata dia, PAN sebetulnya basis awalnya adalah massa dari ormas Muhammdiyah.
Bila sekarang elektabilitas PAN cenderung menurun dikarenakan adanya kompetitor, yaitu Partai Ummat, partai yang juga berbasis Islam. Partai Ummat sendiri didirikan oleh politikus senior, Amien Rais yang notabene adalah mantan ketum PP Muhammadiyah dan pendiri PAN.
“Partai Ummat ini juga basisnya Muhammdiyah. Karena itu suara Muhammadiyah akan terpecah, sebagian ke PAN, sebagian ke Partai Ummat," kata Jamiluddin kepada Tirto, Senin (20/3/2023).
Oleh karena itu, Jamiluddin menganggap menjadi logis kalau suara PAN melorot dengan hasil survei-survei belakangan ini.
Di sisi lain, ia menganggap, PPP memang partai yang relatif jelas. Hanya saja, PPP lupa pada regenerasi kader.
“Mereka sama mendidik umat Islam, tetapi yang mereka didik itu kebanyakan yang sudah berusia lanjut dan mereka tidak memperluas basis pada umat Islam yang segemen relatif muda," ucap Jamiluddin.
Ia mengatakan, basis suara PPP rata-rata adalah umat Islam yang berusia tua. Padahal, dari hari ke hari berkurang jumlahnya. Ia sebut, berkurangnya suara ke PPP terjadi secara alamiah karena mereka tidak memperbesar segmen yang mereka garap.
Karena itu, Jamiluddin mendorong, PAN harus memperluas segemen, tidak hanya menggarap pemilih yang juga menjadi ceruk Partai Ummat. “Sebaiknya tidak lagi terlalu fokus pada umat Islam. Harus memperluas segmen di luar muslim, baik agama Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha," kata dia.
Ia mengatakan, hal itu bisa dilakukan PAN kalau bisa menunjukkan perubahan warna. “Lebih baik mengikuti Partai Demokrat yang mengarah pada nasionalis, tetapi religius,” kata Jamiluddin.
Ia mengatakan, dengan memperluas segmentasi, PAN bisa mendongkrak elektabilitasnya. Sebab, suka tidak suka, pemilih nasionalis cenderung membesar dari tahun ke tahun.
Sementara untuk PPP, ia mendorong agar partai berlambang ka’bah itu bisa bersaing dengan PKB dengan cepat mengubah segmentasinya. Artinya, PPP tidak hanya terpaku kepada segmen yang berusia lanjut.
“Mereka [PPP] harus memperluas kepada segemen yang relatif lebih muda," kata Jamiluddin.
Merujuk survei yang dirilis Centre for Strategic and International Studies (CSIS), proporsi pemilih muda dalam kelompok usia 17-39 tahun mencapai 60 persen atau setara dengan 114 juta pemilih yang ikut berpartisipasi dalam perhelatan ajang memilih pemimpin lima tahun sekali itu.
“Karena seperti survei terkahir yang menyatakan, kalau kalangan muda itu 60 persen. Itu juga terjadi pada pemilih-pemilih yang beragama Islam," kata dia.
Ia berharap agar PPP membidik warga NU yang segmenya relatif muda yaitu di usia 18-40 tahun. “Kalau itu dilakukan dengan cepat, itu bisa mendongkrak elektabilitas mereka,” tutur Jamiluddin.
Selain itu, kata dia, PPP didorong mencalonkan caleg-caleg yang berasal dari kalangan muda. Pasalnya, jika PPP tetap mempertahankan dengan caleg yang sudah relatif tua, upaya memperbesar segementasi dinilai sangat sulit dicapai.
Partai Berbasis Islam Belum Melakukan Kerja Politik?
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno mengatakan, hasil sejumlah survei itu dilakukan dalam waktu dekat di mana kondisi partai-partai Islam belum melakukan kerja-kerja politik dan sosialisasi politik.
Ia menilai wajar jika elektabilitas PAN, PKS, dan PPP cenderung menurun. Selain itu, partai Islam belum melakukan penetrasi dan pengetahuan publik terkait partai-partai Islam belum muncul signifikan.
“Beda dengan partai lain yang sudah lama melakukan sosialisasi dan kerja-kerja politik," kata Adi kepada Tirto.
Adi menyebut, PAN dan PPP yang belum kelihatan atribut-atribut politiknya. Atribut yang dimaksud adalah medium rakyat mengenal partai. Padahal, PAN dan PPP sudah mulai melakukan kerja politik dan tergabung dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) bersama Golkar. Dalam koalisi ini, yang menonjol sebagai figur bakal capres justru Ketum Golkar, Airlangga Hartarto.
“Jadi, kalau survei dilakukan saat ini di mana atribut partai belum muncul, ya wajar, kalau kemudian hasil surveinya rendah," ucap Adi.
Adi mengatakan, salah satu kekuatan partai berbasis Islam itu adalah kerja-kerja politik kader dan calonnya. “Beda ceritanya nanti kalau partai Islam ini, PPP atau PAN sudah melakukan kerja politik. Mesin politiknya bergerak, caleg-calegnya bergerak, tim suksesnya bergerak, sukarelawannya bergerak, saya kira mereka akan muncul secara signifikan," ucap Adi.
Di sisi lain, Adi menilai partai Islam belum ada satu pun figur sentral yang cukup menonjol untuk maju dalam perhelatan Pemilu 2024. Biasannya, kata dia, kalau ada figur sentral muncul akan melekat pada tempat di mana sang figur itu berlabuh.
“Kita memang belum melihat itu. Mungkin ke depan menjelang Pemilu 2024, karena banyak figur partai Islam yang memiliki figur sentral akan memberikan dampak secara elektoral terhadap partai Islam,” kata Adi.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Abdul Aziz