tirto.id - Menjelang akhir tahun, awan kelabu makin pekat menyelimuti industri ritel Tanah Air usai dua pemain besarnya, yaitu PT Matahari Department Store Tbk dan PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (Alfamart) menutup beberapa gerainya. Matahari, melalui keterangan resminya pada Oktober lalu mengungkapkan, saat ini tengah memantau 20 gerai dan berencana menutup 13 gerai pada tahun ini.
Adapun gerai-gerai yang akan ditutup adalah gerai yang memiliki kinerja rendah. Sementara alasan pengurangan gerai ialah agar jaringan gerai yang tersisa bisa lebih kuat.
“Saat ini Matahari sedang memantau kinerja 20 gerai yang ada dalam watchlist dan berencana menutup 13 gerai tahun ini. Selain itu, rencana renovasi untuk gerai-gerai strategis juga sedang berjalan, dengan diikuti kriteria metrik kinerja yang telah disempurnakan,” tulis manajemen, dikutip Tirto, Kamis (19/12/2024).
Hanya dalam hitungan bulan, Alfamart juga mengumumkan penutupan sekitar 400 gerainya yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Corporate Affairs Director Alfamart, Solihin, mengatakan, langkah ini harus diambil manajemen lantaran saat biaya sewa terus mengalami penaikan, penjualan justru kian lesu. Selain itu, banyak pula pemegang waralaba atau franchise Alfamart yang beralih membuka gerai lainnya.
Namun terlepas dari itu, penutupan 400 gerai Alfamart di sepanjang tahun 2024 ini merupakan strategi bisnis yang ditempuh perusahaan dengan sandi AMRT itu, untuk terus mendorong kinerja bisnis perusahaan.
“Sekitar 300-400 toko tahun ini tutup. Karena apa? Kalau biaya sewa naiknya tinggi dan enggak wajar, ya harus ditutup. Terus, kalau untung pasti kami buka terus,” kata dia, saat dihubungi Tirto, Rabu (18/12/2024).
Di sisi lain, di balik tutupnya ratusan gerai, Solihin mengaku, perseroan juga telah membuka lebih banyak gerai di tahun ini. Karena itu, seiring dengan kenaikan pendapatan perusahaan yang mencapai Rp88,21 triliun per Kuartal III 2024 atau naik 10,23 persen dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya, Alfamart optimistis dapat mencapai target operasional 800 gerai di 2025.
“Kami terus melakukan ekspansi. Bahkan, untuk mendukung kinerja Alfamart, kami telah membuka distribution center baru untuk melayani jaringan toko,” imbuh dia.
Selain penutupan gerai oleh Matahari dan Alfamart, lesunya industri ritel juga nampak dari keputusan PT Plaza Indonesia Realty Tbk alias PLIN yang tak berencana membuka mal baru pada 2025.
“Kami belum ada proyek pembangunan mal baru di 2025,” ujar Corporate Secretary PLIN, dalam pesannya kepada Tirto, tanpa memberitahukan alasan keputusan tersebut, dikutip Kamis (19/12/2024).
Meski begitu, jika menilik laporan keuangan interim PLIN, pemilik mal Plaza Indonesia itu mencatatkan pendapatan sebesar Rp1,01 triliun pada kuartal III 2024. Sementara laba periode perusahaan perusahaan tercatat sebesar Rp401,22 miliar, turun 2,88 persen dari yang sebelumnya mencapai Rp412,14 miliar.
Jika dirinci, pendapatan PLIN disumbang oleh sewa pusat perbelanjaan, perkantoran dan hotel dengan total Rp452,27 miliar, naik 5,67 persen dari periode sebelumnya yang senilai Rp472,06 miliar. Kemudian ada pula pendapatan dari lini bisnis hotel sebesar Rp358,38 dan service charge Rp152,45 miliar.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, menjelaskan, menutup gerai atau menahan ekspansi menjadi strategi yang masih akan banyak ditempuh oleh para pengusaha ritel sampai tahun depan. Ini tak lain dilakukan sebagai antisipasi potensi penurunan daya beli masyarakat imbas kebijakan fiscal, utamanya penaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang resmi ditetapkan pemerintah, Senin (16/12/2024).
Keputusan ini pun jelas diperkirakannya akan membuat kinerja industri ritel di 2025 masih akan terus berada dalam tekanan.
Sebagai informasi, pada Kuartal III 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat konsumsi rumah tangga ada di level 4,91 persen, sedikit melambat dibanding kuartal sebelumnya yang sebesar 4,93 persen. Pun, angka ini lebih rendah dibanding periode yang sama di 2023 yang mencapai 5,05 persen.
Ini sejalan dengan pertumbuhan Indeks Penjualan Riil (IPR) Oktober 2024 yang sebesar 1,5 persen menjadi 210,6. Padahal, pada September 2024, IPR tumbuh 4,8 persen ke level 210,5. Kemudian, pada Oktober 2024, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) sebesar 121,1 yang dicatat Bank Indonesia (BI) juga lebih rendah dari posisi September 2024 yakni 123,5.
Jika dirinci, maka IKK Oktober 2024 tercatat turun untuk kelompok pengeluaran Rp2,1-3 juta, Rp3,1-4 juta, Rp4,1-5 juta, dan lebih dari Rp5 juta. Sedangkan IKK Oktober 2024 mengalami kenaikan hanya pada kelompok pengeluaran Rp1-2 juta, yakni dari 114,3 di September 2024 menjadi di posisi 115,9. Pun dengan IKK kelompok usia yang juga hanya tumbuh untuk usia 20-30 tahun dengan posisi IKK Oktober ada di angka 126,4, dari bulan sebelumnya yang sebesar 125,9.
Sementara itu, tetap terjaganya keyakinan konsumen pada Oktober 2024 ini ditopang oleh Indeks Kondisi Ekonomi (IKE) saat ini yang tetap terjaga di level 109,9 dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang masih berada di posisi 132,4. Meski begitu, sama halnya dengan IKK, posisi IKE dan IEK Oktober juga melambat dibanding bulan sebelumnya yang masing-masing ada di level 113,9 dan 133,1.
“Pada tahun depan, kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen, melemahnya nilai tukar rupiah, perang dagang Amerika-Tiongkok serta faktor global lainnya diperkirakan akan mendorong peningkatan barang impor baik yang legal maupun ilegal yang akan berakibat semakin tertekannya industri dalam negeri,” imbuh Alphonzus.
Di sisi lain, momen puncak pertama pertumbuhan industri ritel yang biasa terjadi saat Ramadan hingga Idulfitri usai juga dinilai tak akan cukup kuat untuk memulihkan kondisi industri yang saat ini tengah terpuruk. Pasalnya, tak seperti tahun-tahun sebelumnya, di 2025, Idulfitri akan datang lebih awal, yakni pada 30-31 Maret 2025.
Sedangkan puncak kedua yang baru akan terjadi pada Liburan Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 (Nataru) yang jatuh di Desember, baru akan datang delapan bulan setelah Idulfitri. Pada rentang waktu inilah industri ritel akan memasuki low season alias sepi pengunjung.
Sementara itu, bantuan sosial (bansos) yang diberikan untuk masyarakat, utamanya dari kalangan kelas menengah yang digelontorkan pemerintah pada Januari-Februari 2025, diperkirakan hanya akan memberikan dampak untuk jangka pendek. Berbagai bantuan itu, lanjut Alphonzus, jelas tak akan cukup untuk menopang daya beli masyarakat di sepanjang tahun depan.
Karenanya, agar tetap bisa bernapas, para pelaku usaha ritel juga diperkirakan akan mencari sumber pertumbuhan di luar Pulau Jawa, yang memiliki pertumbuhan ekonomi lebih stabil ketimbang Jawa.
“Diperkirakan pula bahwa para pelaku usaha ritel akan banyak berfokus untuk mengembangkan usaha di luar Pulau Jawa yang mana kondisi daya beli masyarakat kelas menengah bawah di sana relatif lebih stabil dibandingkan dengan Pulau Jawa,” kata Chief Operation Officer (COO) Agung Sedayu Group itu.
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Solihin, mengatakan, selain anjloknya daya beli masyarakat, awan mendung industri ritel juga disebabkan oleh pola konsumsi masyarakat yang saat ini lebih banyak bergeser ke belanja online.
Meski begitu, ia menilai masih akan ada sebagian industri ritel yang tetap tumbuh di tengah ketidakpastian di tahun depan. Ritel tersebut adalah usaha yang bergerak di bidang penjualan barang kebutuhan sehari-hari alias fast moving consumer goods (FMCG).
Hal ini tak lain karena kebutuhan masyarakat akan produk FMCG tak akan mandeg meski ekonomi negara sulit.
“Kalau belanja baju berapa lama sih? 6 bulan sekali, 3 bulan sekali atau 1 bulan sekali, itu pasti beii, kan. Tapi kalau makan gimana? Pasti setiap hari. Artinya, ada dalam konteks bisnis ke depan, untuk saat ini ada format ritel yang stabil dibandingkan dengan format yang lain,” ujar Solihin.
Sementara format lain yang dimaksud Corporate Affairs Director Alfamart itu adalah ritel yang bergerak di bidang penjualan produk fesyen atau elektronik. Pun dengan retail dengan format department store atau supermarket yang biasanya didatangi masyarakat sepekan atau sebulan sekali.
“Orang yang belanja ke sana mungkin untuk keperluan satu minggu. Ada juga orang belanja di Supermarket, Hypermarket, orang sekali belanja itu mungkin untuk 2-3 hari. Tapia da juga orang yang setiap hari belanja ke minimarket. Apa maknanya? Setiap yang dia beli hari ini, dikonsumsi hari ini,” jelas dia.
Di sisi lain, masih kuatnya ritel yang menjual FMCG juga didorong oleh populasi masyarakat yang juga terus bertumbuh. Sehingga, kebutuhan hidup pun tak akan pernah putus. Hanya saja, ketidakpastian di tahun depan usai pemerintah memberlakukan tarif PPN 12 persen dan juga menaikkan Upah Minimun Provinsi (UMP) menjadi 6,5 persen, diakui Solihin, akan membuat geliat industri ritel semakin terbatas. Meski begitu, dia mengaku harus tetap optimistis menyambut datangnya 2025
“Kalau ditanya prospek, kita harus optimis. Kalau kagak, bagaimana kita mau gaji karyawan? Gaji karyawan udah naik yang minimal nanti 6,5 persen. Masak enggak mau naikin? Kalau enggak naikin, masalah nanti kita ke karyawan,” kata dia.
Semestinya Konsumsi Masyarakat Mulai Menggeliat usai Pemilu
Pakar Manajemen sekaligus Managing Partner Inventure, Yuswohady, mengatakan, seharusnya konsumsi masyarakat mulai menggeliat kembali usai pemilu atau setelah Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka diumumkan sebagai presiden dan wakil presiden periode 2024-2029. Apalagi, ada momen libur panjang yang bertepatan dengan Nataru di akhir tahun.
Namun, alih-alih tumbuh, konsumsi masyarakat semakin melambat menjelang 2025. Karena itu, di tahun depan dia menilai, pemerintah harus bisa membuat kebijakan yang efektif mendongkrak daya beli masyarakat. Sebab, inilah satu-satunya cara untuk membuat industri ritel tetap tumbuh dan tak akan melakukan efisiensi.
“Berkaca dari Jokowi (Presiden Indonesia ke-7), di tahun pertama akan membentuk citra positif. Kemudian di tahun ke-2, ke-3 mulai enggak fokus dan kendor di belakang-belakang. Tapi saya optimis, di tahun pertama ini Prabowo akan mengambil kebijakan-kebijakan yang populer, kan, sudah terlihat seperti PPN 12 persen yang untuk barang mewah,” ujar dia, kepada Tirto, Rabu (18/12/2024).
Tidak hanya itu, Prabowo juga dinilai bakal menghapus atau menganulir kebijakan-kebijakan era Presiden Jokowi yang sekiranya akan menimbulkan dampak negatif. Dalam hal ini, Prabowo tidak akan lagi ‘memeras’ masyarakat kelas menengah seperti rezim pemerintahan sebelumnya.
“Saya kira kok pemerintah baru akan mencoba mengoreksinya untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Untuk memperbaiki kelas menengah ini supaya daya beli masyarakat kelas menengah naik,” imbuh dia.
Sementara itu, Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menegaskan, untuk menjaga kinerja industri ritel, pemerintah harus terlebih dulu memperbaiki konsumsi masyarakat yang saat ini semakin merosot. Adapun, salah satu yang bisa dilakukan adalah membatalkan kebijakan tarif PPN 12 persen dengan menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) atau menundanya sampai konsumsi masyarakat tumbuh stabil.
“Sudah pasti yang kita harapkan adalah ada tadi ya, pemerintah juga gencar untuk memberikan stimulus-stimulus ekonomi yang jangan jangka pendek, tapi jangka panjang bagi masyarakat gitu kan. Kalau kita lihat stimulus yang kemarin diberikan dan disampaikan oleh pemerintah, itu stimulus jangka pendek semuanya,” kata dia, melalui pesan singkatnya kepada Tirto, Kamis (19/12/2024).
Wakil Menteri Perindustrian, Faisol Riza, mengakui, beberapa kebijakan di 2025 seperti PPN 12 persen memang dapat mengancam kinerja industri ritel. Karena itu, dia sedang menyiapkan stimulus yang nantinya akan khusus diberikan untuk para pelaku usaha ritel.
Meski begitu, tutupnya gerai-gerai ritel di 2024, kata dia, juga disebabkan oleh kondisi geopolitik dunia yang membuat rantai pasok tersendat.
“Ya tentu kami pada awal-awal ini sedang mengkaji semua sektor dan subsektor yang kemungkinan punya kontribusi untuk pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan sektor manufaktur. Dari semua itu tentu kami juga mengkaji situasi perekonomian secara global dan nasional yang memungkinkan untuk kami nilai mana sektor yang bisa kita harapkan tumbuh atau tidak,” kata dia, saat ditemui di Kantor Kementerian Perindustrian, Selasa (17/12/2024).
Meski begitu, untuk menyiapkan stimulus untuk industri ritel, pihaknya harus berkoordinasi terlebih dulu dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan juga Kementerian Keuangan. Sebab, bagaimanapun segala yang berhubungan dengan kebijakan fiskal dibahas dan ditentukan oleh dua kementerian itu.
“Namun, kami percaya bahwa ini masih bisa tumbuh besar, makanya kami juga sedang mengkaji apakah bisa diberikan insentif tambahan kepada sektor-sektor seperti ini supaya bisa tumbuh di tahun depan dan beberapa tahun ke depan lagi. Namun, tentu kami harus mengajak Kementerian Perekonomian dan Kementerian Keuangan untuk membahas lebih serius,” tutup Faisol.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Abdul Aziz