Menuju konten utama
Kebutuhan Hidup Layak di DIY

Ironi Harga Rumah & Kontrakan di Jogja saat UMP Jauh dari KHL

Pekerja di Jogja sulit bisa beli rumah disebabkan UMP tak sesuai KHL serta pengembang tak mau fasilitasi pekerja dengan pendapatan UMP.

Ironi Harga Rumah & Kontrakan di Jogja saat UMP Jauh dari KHL
Ilustrasi membeli rumah baru. FOTO/Istockphoto

tirto.id - Yunus, pekerja lajang yang kini tinggal di indekos berukuran sembilan meter persegi, punya harapan. Ia ingin mencicil rumah di Jogja untuk ditinggali bersama pasangannya kelak. Ia pun berpikir keras. Sebab, harga rumah di Jogja kerap tak masuk akal untuk pekerja berupah minimum seperti Yunus.

Kendatipun demikian, ia tetap memiliki keinginan untuk bisa punya tempat tinggal sendiri. Salah satunya, Yunus perlu menambah pemasukannya. Itu mutlak. Bekerja sebagai pegawai start-up di bilangan Sleman, Yunus hanya dapat gaji sebesar UMK lebih sedikit: “Sekitar dua jutaan lah,” kata Yunus kepada Tirto.

Maka dari itu, Yunus kerap mengambil pekerjaan sampingan untuk menambah pemasukannya. Pekerjaan sampingan itu biasa Yunus dapatkan dari proyek-proyek kantor di luar pekerjaan hariannya. Atau ia juga biasa mengambil pekerjaan dari luar kantor seperti menulis konten, menyunting tulisan, dan lain sebagainya.

“Kalau sampingan ini lagi banyak, bisa dapat tambahan Rp1,5 juta per bulan lah,” jelas Yunus.

Tentu saja ada ongkos yang harus dibayar untuk melakoni dua pekerjaan sekaligus. Misalnya, waktu. Yunus mengatakan, jika pekerjaannya padat, maka ia bisa bekerja hingga 11 jam per hari.

Yunus mafhum bahwa jam kerja tersebut sudah terhitung berlebih. Namun, kesempatan itu saja jarang datang, ia tak akan pikir panjang untuk mengambilnya. Bagi Yunus, hanya itu satu-satunya cara jika ia hendak memiliki rumah dengan skema KPR.

“Bayanganku, seandainya bisa nabung Rp1,5 juta per bulan, aku bisa DP rumah tiga tahun ke depan. Tapi itu pun seandainya aku bisa dapat freelance banyak,” jelas Yunus. “Atau mungkin bisa lebih mudah kalau pacarku kerja juga sih, tapi sekarang lagi nggak. Jadinya lebih sulit lagi buat nabung.”

Yunus menambahkan, menyisihkan uang segitu “banyak” hanya bisa ia lakukan jika ia tetap tinggal di indekos berukuran sembilan meter persegi yang ia tempati sekarang. Biaya indekos itu hanya Rp300.000 per bulan. Sebuah indekos murah yang menurut Yunus tidak layak-layak amat karena kerap bocor bila hujan deras mengguyur.

Yunus pernah berpikir untuk mengontrak rumah. Hanya saja, mengontrak rumah bagi Yunus sama saja tinggal jauh dari tempat kerjanya sekarang. Pasalnya, rumah kontrak yang murah biasanya terletak jauh di pinggir provinsi.

“Pertimbangannya sih transportasi, keamanan, tenaga, apalagi sekarang harga bensin makin gak masuk akal. Aku gak ada pikiran kerja di luar area kota soalnya,” jelas Yunus.

Patra Jatmika, anggota Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY menyatakan, Upah Minimum Provinsi (UMP) DIY saat ini memang sangat tidak memungkinkan pekerja membeli rumah, hanya sebesar Rp1.981.782,39.

“Problemnya, pertama, harga tanah dan harga perumahan tidak berbanding lurus dengan daya beli masyarakat Jogja yang upah minimum. Kedua, pengembang rumah, ketika bangun perumahan di Jogja, itu nggak mau memfasilitasi pekerja dengan pendapatan upah minimum” jelas Patra saat ditemui Tirto pada Rabu (22/3/2023).

“Ya itu makanya isu buruh Jogja terancam tunawisma ya gak ada salahnya,” kata Patra.

Patra sendiri kini menyewa kamar seukuran 3x3 meter di bilangan Bantul seharga Rp500.000. Dengan nominal itu, ia juga mendapatkan ruang tambahan seluas 3x2 meter yang cukup untuk kamar mandi, dapur dan gudang kecil. “Aku capek juga ngontrak itu. Aku, kan, per enam bulan bayar Rp3 juta, tapi tetap bukan hak kita,” keluh Patra.

Maka dari itu, Patra pernah coba-coba mensurvei harga rumah. Hasilnya, ia mendapatkan informasi perihal rumah dengan harga yang menurutnya cukup bersahabat dari seorang developer: Rp240.000.000.

Pekerja lajang itu lantas mencari tahu seputar skema pinjaman di bank untuk membeli rumah. Berbekal surat kerjanya yang sudah berumur lima tahun, Patra mendapatkan pinjaman sebesar Rp150.000.000. Mengetahui nominal pinjaman yang didapatkan tak mencukupi, Patra pun tak jadi membeli rumah itu.

“Lah, 90 juta nyari duit dari mana?” tanya Patra sambil tertawa.

Butuh Upah Berapa untuk Hunian di Jogja?

Sementara harga hunian terus melambung, upah minimum DIY tetap rendah. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan nominal upah minimum dan kebutuhan hidup layak (KHL) yang sangat jomplang.

Berdasarkan hasil survei Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) —kini MPBI DIY— KHL Jogja, naik dari Rp1.300.000 menjadi Rp2.911.516 dari tahun 2012 hingga 2019. Sementara itu, upah minimum di tempat yang sama hanya naik dari Rp892.660 di 2012 menjadi Rp1.570.923 pada 2019. Percepatan pertumbuhan KHL yang tinggi itu terjadi karena harga hunian, sebagai salah satu item “termahal” terus melejit.

Kebutuhan hidup layak sendiri diatur oleh beberapa item. Berdasarkan Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012, KHL terdiri dari 60 item, termasuk hunian di dalamnya. Adapun kriteria hunian yang dijelaskan dalam Permen tersebut adalah tempat tinggal yang dapat menampung seluruh item KHL.

Hanya saja, kriteria tersebut kerap menjadi perdebatan. Patra menjelaskan, ada pihak yang menafsirkan kriteria hunian tersebut sebagai sebidang kamar indekos belaka. Alasannya, dalam Permen tersebut menuliskan hunian sebagai, “Sewa kamar dalam kondisi kosong sederhana …”

Namun, menurut MPBI, sebidang kamar indekos tak akan cukup untuk menampung seluruh item KHL. Patra lantas bercerita tentang demonstrasi buruh yang pernah terjadi sekira tahun 2012-2013 di Jogja.

Dalam demonstrasi itu, para buruh membuat garis yang membentuk persegi di area aksi sebagai ilustrasi indekos berukuran 4x4 meter. Mereka lantas memasukkan seluruh item KHL ke dalam garis tersebut.

“Waktu itu kita masukkan kasur, kompor, galon, segala macam lah. Hasilnya ya nggak cukup,” kata Patra.

Maka dari itu, menurut Patra, hunian ideal yang dapat menampung seluruh item KHL mestinya lebih luas dari sebidang kamar saja. Sementara itu, hunian lebih luas juga berarti lebih mahal. “Paling nggak tiga kamar lah, kan logis toh?”

Jika satu kamar indekos di Jogja saat ini, pada 2023, berdasarkan asumsi Patra seharga Rp500.000, maka hunian yang layak bisa mencapai tiga kali lipatnya. “1 juta sampai 1,5 juta per bulan lah,” ujar Patra. “Nah itu, hunian yang bikin angka KHL gede.”

Karena itu, rata-rata KHL yang disurvei MPBI, kata Patra, sekira Rp3,9 juta rupiah per bulan.

Itu jika kriteria hunian didasarkan pada Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012. Pada 2020, Permenaker Nomor 18 Tahun 2020 terbit. Dalam Permen tersebut, kriteria huniannya berupa sewa kamar berukuran 4x4 meter.

Alhasil berdasarkan Permenaker itu, hasil survei KHL 2023—yang juga dilakukan MPBI—sebesar Rp2,9 sampai Rp3 juta per bulan.

“Waktu survei terakhir aku bandingin, bagusan Permen 2020 sama 2012. Ternyata lebih bagus yang 2012 karena yang 2020 kualitasnya turun,” tutur Patra.

Menyoal Kenaikan Upah Minimum dan Harga Hunian yang Jomplang

Direktur Central of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyatakan, hampir tak mungkin bagi pekerja berupah minimum Jogja untuk membeli rumah. Pasalnya, kenaikan upah minimum tak sebanding dengan kenaikan harga hunian di DIY.

Sementara, UMP DIY hanya naik 7,93%, Bhima menyatakan, “kenaikan harga tanah dan bangunan yang bisa 30% setahun.”

Hal itu terjadi, menurut Bhima, karena dasar penentuan upah tak berdasarkan KHL. “Basis penentuan upah yang omnibus law itu berdasarkan pertumbuhan ekonomi atau inflasi dengan memperhitungkan produktivitas kerja,” jelas Bhima.

Selain itu, Bhima juga menyatakan ada faktor selain ekonomi yang menentukan nominal upah minimum, yaitu konsolidasi pekerja. Bhima mencontohkan, buruh di Karawang yang mendapatkan upah minimum relatif tinggi dibanding daerah lainnya. Hal tersebut disebabkan Karawang, sebagai basis industri, memiliki solidaritas di kalangan pekerjanya.

“Nah, di Jogja ini kan bukan basis industri, jadi dari segi perjuangan kelas pekerja menuntut upah lebih tinggi akan selalu lebih susah, dan juga political will dari kepala daerah,” terang Bhima.

Alhasil, agar pekerja Jogja mampu membeli rumah, Bhima berkata, ada dua masalah yang perlu diselesaikan. Pertama, upah minimum Jogja mesti dinaikkan. Kedua, mengerem spekulan tanah yang membikin kenaikan harga properti di Jogja terus melejit.

Perihal terakhir merupakan persoalan yang tak bisa ditampik. Menurut Bhima, ada beberapa sebab yang membuat harga hunian di Jogja terus meninggi setiap tahun. Salah satunya ialah banyak investor dari luar yang memilih membeli tanah di Jogja, baik sebagai hunian ataupun pembangunan komersil. Ia didorong oleh citra Jogja sebagai kota pariwisata sekaligus pembangunan infrastruktur yang semakin masif.

“Itu semua meningkatkan persepsi bahwa infrastruktur di Jogja bisa mendukung pengembangan wilayah,” terang Bhima.

“Akhirnya yang akan terjadi adalah gentrifikasi, orang asli Jogja dengan upah minimum menyingkir jauh ke pinggiran atau daerah yang belum terlalu berkembang. Sementara dia juga harus mengeluarkan biaya transportasi lebih mahal untuk menuju tempat kerja,” kata Bhima.

Baca juga artikel terkait HARGA TANAH MAHAL atau tulisan lainnya dari Muhammad Sidratul Muntaha Idham

tirto.id - Ekonomi
Kontributor: Muhammad Sidratul Muntaha Idham
Penulis: Muhammad Sidratul Muntaha Idham
Editor: Abdul Aziz