tirto.id - Pemerintah secara tegas melarang penjualan pakaian bekas impor secara ilegal. Hal ini karena berpotensi mengganggu industri tekstil dalam negeri yang sebagian besar mereka adalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki menegaskan, maraknya impor ilegal pakaian bekas bisa membunuh keberlangsungan bisnis sejumlah UMKM. Terlebih industri tekstil dan produk tekstil (TPT), pengolahan kulit dan alas kaki, saat ini didominasi oleh sektor mikro dan kecil, yaitu sebesar 99,64 persen.
“Jika sektor ini terganggu, akan ada banyak orang kehilangan pekerjaan. Karena pada 2022, proporsi tenaga kerja yang bekerja di industri TPT dan alas kaki pada industri besar dan sedang (IBS) menyumbang 3,45 persen dari total angkatan kerja. Pelaku UMKM yang menjalankan bisnis pakaian mencapai 591.390 dan menyerap 1,09 juta tenaga kerja," kata Teten dalam pernyataannya.
Teten menyebut aktivitas impor ilegal pakaian bekas saat ini masih marak di Indonesia. Terbukti, sejak 2019 sampai Desember 2022, kantor Bea Cukai melalui kantor penindak di Batam telah menindak 231 impor ilegal pakaian bekas.
Tak hanya itu saja, Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Entikong juga telah melakukan sebanyak 82 penindakan, KPPBC Tanjung Priok (78 penindakan), KPPBC Sintete (58 penindakan), KPPBC Tanjung Pinang (52 penindakan), KPPBC Teluk Nibung (33 penindakan), KPPBC Tanjung Balai Karimun (32 penindakan), KPPBC Ngurah Rai (25 penindakan) dan KPPBC Atambua (23 penindakan).
Maraknya aktivitas impor ilegal pakaian bekas di Indonesia bisa mengganggu pendapatan negara. Menurut Statistik Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022, sektor Industri Pengolahan menyumbang 18,34 persen dari Produk Domestik Bruto menurut Lapangan Usaha harga berlaku, di mana Industri Pengolahan TPT berkontribusi sangat besar, yaitu Rp201,46 triliun atau 5,61 persen PDB.
Sementara, sektor Industri Pengolahan dan Industri Pengolahan Barang dari Kulit dan Alas Kaki berkontribusi Rp48,125 triliun atau 1,34 persen PDB Industri Pengolahan.
Teten menegaskan, aktivitas tersebut juga bisa membuat Indonesia kebanjiran limbah tekstil. Pada 2022, berdasarkan data dari SIPSN (Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional) KLHK, tekstil menyumbang sekitar 2,54 persen dari total sampah nasional berdasarkan jenis sampahnya. Estimasinya mencapai 1,7 ribu ton per tahun.
Sumbangan sampah tekstil ini bisa semakin menggunung. Berkaca dari laporan Greenpeace berjudul “Poisoned Gifts,” sebanyak 59,000 ton sampah tekstil didatangkan ke Chile dari berbagai penjuru dunia. Ironisnya, sampah-sampah ini menumpuk hingga menjadi gunung di Atacama. Kebanyakan sampah-sampah tekstil ini juga berasal dari pakaian bekas impor yang tidak terjual lagi.
“Banyaknya ancaman yang datang dari impor ilegal pakaian bekas membuat pemerintah melarang aktivitas ini demi mendukung dan menjaga agar produk UMKM Indonesia tetap tumbuh dan tidak terhimpit produk impor ilegal," kata Teten.
Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan alias Zulhas menegaskan tidak menyalahkan pedagang thrifting atau pakaian impor bekas sepenuhnya. Dalam hal ini, kata Zulhas, pemerintah akan fokus mengatasi pihak-pihak yang melakukan impor ilegal pakaian bekas.
“Nah bagaimana pedagang-pedagangnya? Ini dulu nih yang ilegalnya, kalau ilegalnya gak ada, kan yang dagang, ya gak ada jualan kan," kata Zulhas kepada awak media dalam rapat dengan Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, Senin (27/3/2023).
Menurut Zulhas, para pedagang tersebut hanya berpikir sederhana dan sesuai dengan kesempatan yang ada. Seperti ketika musim rambutan, mereka akan menjual rambutan dan kemudian ketika musim durian akan menjual durian.
Pun halnya saat ini ketika musim thrifting tengah marak, maka para pedagang memutuskan ikut berjualan pakaian bekas. "Sederhananya begitu, tapi yang kita perangi ya (impor) ilegalnya ini," ucap Zulhas.
Pendiri Jakarta Clothing Expo (JakCloth), Achmad Ichsan Nasution tak menampik bahwa maraknya impor pakaian bekas yang menjadikan Indonesia sebagai 'tempat pembuangan akhir' telah mengambil potensi pasar para desainer, produsen, serta para pekerja industri pakaian dalam negeri. Kondisi ini, kata dia, jelas berdampak kepada industri dalam negeri dari hulu ke hilir.
“Kalau ditanya, impor pakaian bekas itu berdampak atau tidak, pasti akan berdampak bagi industri pakaian lokal. Karena industri pakaian lokal itu mempekerjakan dari hulu ke hilir, ya tukang jahit, tukang bahan, tukang washing, tukang plastik, tukang setrika, dan lain sebagainya,” kata pria yang akrab disapa Ucok.
Dalam polemik yang disebabkan impor pakaian bekas ini, Ucok pun bersikap menolak dan menegaskan bahwa impor pakaian bekas tidak mempekerjakan pekerja dalam negeri dari hulu ke hilir. Ini justru membesarkan persaingan dengan produk pakaian lokal.
“Kalau pakaian bekas ini tahu-tahu datengin barang tanpa cukai dan pajak, dan dijual dengan harga murah. Jadi berdampak dengan industri lokal, yang kalau dibandingkan pasti lebih tinggi harganya dari pakaian bekas impor,” ujar Ucok.
Tak Ideal Bagi UMKM
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet melihat kekhawatiran industri dalam negeri terhadap produk impor pakaian bekas mencakup dua hal. Pertama, kegiatan dari pembelian barang bekas itu sendiri. Kedua, impor yang dilakukan untuk memenuhi permintaan konsumen agar bisa membeli barang bekas tersebut.
Dia menuturkan alasan konsumen mencari barang bekas selain tentu ada preferensi tersendiri, tetapi juga untuk mencari produk yang relatif masih baik dengan harapan harga yang didapatkan relatif lebih murah. Hal ini terjadi karena beberapa konsumen merasa bahwa produk tertentu mereka bisa mendapatkan harga yang lebih murah jika dibandingkan dengan membeli produk baru dengan kualitas yang tidak jauh berbeda.
“Nah sayangnya kalau kita bicara konteks kondisi saat ini, konsumen merasa bahwa produk impor barang bekas yang dikirim ke Indonesia relatif lebih memenuhi kepuasan mereka. Terutama untuk melakukan konsumsi produk-produk barang bekas tertentu," kata Yusuf kepada reporter Tirto.
Kondisi ini, kaya Yusuf, yang kemudian tidak begitu ideal bagi UMKM dalam negeri. Karena mereka tidak bisa menjual produk yang sama dengan harga yang lebih murah akibat beragam hal. Termasuk di dalamnya masalah daya saing produk dan juga informasi yang didapatkan konsumen terkait produk tersebut yang tidak utuh.
Misalnya sebuah distro bisa menjual harga yang relatif sama atau mirip dengan harga barang bekas produk baju yang diimpor dari luar. Hanya karena informasi yang tidak tersampaikan ke konsumen, maka konsumen tidak tahu bahwa produk baju distro tersebut harganya ternyata sama dengan produk impor.
“Nah, ini yang saya sampaikan sebagai ilustrasi bahwa informasi juga menjadi penting terkait dengan keputusan konsumen dalam misalnya membeli produk barang bekas ataupun ketika memilih produk UMKM," tegasnya.
Korbankan Rakyat Kecil
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Suroto justru menilai, tindakan dramatis pemerintah soal larangan thrifting barang bekas impor terlihat hanya menjadikan rakyat kecil sebagai korban. Apalagi dukungan larangan ini sudah sempat disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo.
“Mereka yang jadi korban terutama adalah pengecer yang sudah gantungkan pendapatan dari penjualan barang bekas impor dan pelaku industri rumahan terutama produk tekstil," katanya kepada Tirto.
Dia mengaku tidak setuju dengan narasi yang dibangun pemerintah, di mana menyebutkan bahwa aktivitas thrifting barang impor terutama pakaian dinilai dapat merugikan industri tekstil dalam negeri, serta rugikan potensi pendapatan negara dan lain sebagainya.
Aktivitas thrifting di market place dan pasar tradisional memang diakui terlihat semakin menjadi tren akhir-akhir ini. Namun tidak ada statistik resmi yang mencatat karena perolehan barangnya paling banyak berasal dari barang yang diimpor secara ilegal dan tidak masuk jalur kepabeanan.
Menurut Suroto, data statistik resmi dari kepabeanan maupun BPS hanya menghitung barang dalam kategori pengecualian. Seperti pakaian dan barang barang bekas yang memang diperbolehkan, misalnya untuk tujuan perpindahan seseorang dari dalam atau luar negeri.
"Sehingga data ini tentu tak dapat dijadikan sebagai bahan rujukan untuk menilai masalah trend aktivitas bisnis thrifting yang sudah marak," katanya.
Aktivitas impor barang bekas yang dilarang menurut Permendag Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 memang hanya pakaian bekas. Namun sebagaimana diatur dalam Permendag terbaru Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan No 18/2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Impor menyangkut pakaian dan barang bekas lainya yang berarti meliputi seluruh barang bekas.
Menurutnya regulasi yang ada sangat lemah walaupun judulnya berbunyi larangan, namun tidak imperatif. Sanksi yang diterapkan juga hanya sanksi administratif, sehingga aktivitas impor barang bekas ini walaupun masuk jalur resmi tidak akan pernah membuat jera para importirnya.
“Bahkan lemahnya regulasi ini berpotensi terjadinya kongkalikong antara importir dengan pihak kepabeanan di lapangan dari barang-barang yang diselundupkan melalui jalur tikus," katanya.
Dukungan DPR
Anggota Komisi VI DPR, Intan Fauzi mendukung penuh kebijakan pemerintah terkait pelarangan jual beli pakaian bekas impor ilegal. Menurutnya, jual beli tidak hanya pakaian bekas, tetapi juga sepatu bekas dan barang bekas impor lainnya yang ilegal memang harus diberantas.
“Impor barang bekas (ilegal) jelas melanggar hukum karena sudah diatur dalam Permendag No. 40 Tahun 2022, perubahan dari Permendag No. 18 Tahun 2021. Oleh karena itu Menteri Perdagangan Pak Zulkifli Hasan memusnahkan barang-barang bekas tersebut, pakaian bekas, sepatu bekas dan lain-lain yang masuk ke Indonesia secara ilegal untuk dimusnahkan karena yaitu tadi artinya melanggar hukum," ucap Intan dalam pernyataanya.
Impor barang bekas yang dikenal dengan thrifting, saat ini memang sangat menjamur di kalangan masyarakat. Hal ini karena mudahnya akses masuk barang bekas tersebut di berbagai pelabuhan di Indonesia yang sangat luas. Untuk itu, Intan menegaskan perlunya penegakan hukum yang lebih tegas dari pemerintah.
“Pemerintah dalam hal ini Kemendag, Bea Cukai, kemudian Angkatan Laut, karena pintu masuknya dari berbagai laut yang ada di Indonesia, ini betul-betul harus bisa memberantas. Jadi memang tidak bisa hanya satu kementerian/lembaga, ini lintas kementerian/lembaga harus bisa secara berkoordinasi untuk penegakan hukum importir ilegal pakaian dan barang bekas," kata politikus dari Fraksi PAN tersebut.
Sebab, ia menilai, jika permintaan terhadap barang bekas masih tinggi, maka akan banyak importir nakal yang berusaha memasukkan barang-barang bekas tersebut ke Indonesia. Oleh sebab itu, Intan mengingatkan kepada masyarakat agar jangan membeli pakaian maupun sepatu bekas impor.
Intan bahkan merinci kerugian apa saja yang ada ketika pakaian bekas impor tersebut masuk ke Indonesia. Di antaranya adalah dari sisi kesehatan. Menurutnya, pakaian bekas impor berpotensi membawa penyakit dari luar ke Indonesia.
“Kemudian ini akan menghilangkan berbagai pendapatan negara karena industri tekstil kita akan juga terdampak, produsen-produsen Indonesia juga akan terdampak," jelasnya.
Selain itu, legislator dari Dapil Jawa Barat VI ini berharap, masyarakat Indonesia bisa lebih menghargai produk-produk dalam negeri yang secara kualitas juga tidak kalah dengan produk-produk lain.
“Kalau hari ini saya pakai batik, batik itu pakaian dengan bahan yang sangat nyaman dan kalau kita pakai bisa informal bisa formal tidak akan saltum (salah kostum) kalau istilah anak muda zaman sekarang," tutupnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz