Menuju konten utama

Cerita Petugas Pantarlih Keluhkan Honor Tak Cair & Tanggapan KPU

Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih) di Jawa Timur, Annisa Maulida mengeluhkan honor yang tak kunjung cair.

Cerita Petugas Pantarlih Keluhkan Honor Tak Cair & Tanggapan KPU
Ilustrasi petugas Panitia Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih) melakukan pencocokan dan penelitian (Coklit) data pemilih 2019 perdana, Selasa (17/4/2018). ANTARA FOTO/Rahmad.

tirto.id - Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih), Annisa Maulida tak kuasa menahan kekesalannya lantaran honor kerjanya tak kunjung turun.

Anisa yang berasal dari Tulungagung, Jawa Timur itu mengaku dilantik menjadi Pantarlih pada 12 Februari 2023 lalu.

Ia mengaku hingga kini belum mendapatkan honor sebagai petugas Pantarlih hingga sekarang. Annisa mengaku Jumat pekan lalu dijanjikan bahwa honornya akan turun. Nyatanya, pencairan honornya itu tak sesuai harapan.

"Dijanjikan minggu ke empat, Maret terakhir Jumat kemarin cair cuma sampai sekarang masih belum cair," kata Annisa saat dihubungi Tirto, Selasa (28/3/2023).

Ia mengaku tidak ada kejelasan untuk pencairan honornya dan tidak dijelaskan dari awal sejak dilantik. Hanya mekanisme pencairannya, kata dia, ada yang cash dan transfer.

"Kebetulan informasi dari PPK untuk daerah saya memang cash. Hanya saja ada kabar kalau pencairan honornya satu bulan pertama di Maret ini," ucap Annisa.

Ia mengatakan selama ini dirinya cukup merogoh kocek pribadi saat bertugas.

"Untuk paket data juga tidak ada subsidi. Bahkan bikin surat pernyataan keamanan data saja beli meterai Rp10 ribu sendiri-sendiri," kata Annisa.

Selain itu, Annisa harus mengeluarkan uang Rp50 ribu untuk membeli paket untuk menyinkronkan e-coklit.

"Bensin kurang lebih Rp50. Anggap saja buat sebulan wara-wiri ke baldes buat rapat evaluasi 10 harian sekaligus dari rumah ke rumah. Total Rp110 ribu," tutur Annisa.

Di sisi lain, Annisa menyayangkan kerja mereka yang harus dilakukan dengan cepat agar pekerjaan lekas beres, bahkan sampai sekarang jika diminta data, harus langsung disediakan.

"Misal ada pemilih ganda nasional diminta langsung carikan bukti, ya berangkat, tetapi untuk honor masih adem," tukas Annisa.

Ia berharap apa yang menjadi hak mereka segera dipenuhi. Sebab, kata dia, mereka telah bekerja cepat, giliran menuntut hak disuruh menunggu.

"Enggak fair, ya, menurut saya. Dan lebih lagi masalah honor ini cukup sensitif bagi sebagian orang yang punya job seperti saya (pantarlih)," kata Annisa.

Ia mengatakan mereka telah bekerja tidak mengenal waktu. Annisa mengatakan mereka juga bekerja dengan target, khususnya pencocokan dan penelitian (coklit).

"Datang rumah ke rumah itu belum tentu kadang orangnya ada terus kalau enggak ada, ya kita balik lagi keesokan harinya. Di target sehari minimal harus dapat 20 orang yang dicoklit misalnya, tetapi hak kami tidak dipenuhi. Cukup dipenuhi saja gajinya dulu," pungkas Annisa.

Terpisah, Komisioner KPU RI, August Mellaz mengatakan perihal keterlambatan gaji Pantarlih dan PPS bukan kewenangan KPU RI.

"Problemnya bukan di KPU RI. Itu memang enggak bisa pakai cash, harus pakai rekening," kata August saat dihubungi Tirto, Selasa.

Namun, KPU bakal menelusuri kabupaten mana saja, sehingga pencairan honor Pantarlih hingga PPS tak kunjung turun.

"Nanti urusannya di sekretaris kabupaten/kota itu. Dana dari KPU RI, kan, langsung di Satker Kabupaten/Kota," ucap dia.

Ia mengatakan dana yang diterima Satker baru akan dikirimkan ke rekening masing-masing Pantarlih hingga PPS.

"Yang terima honor itu tentu yang ada di SK sebagai pantarlih, terus dia punya rekening bank apa enggak. Itu juga pasti pengaruh," kata August.

Ia mengatakan perihal keterlambatan gaji merupakan ranahnya sekretaris kabupaten/kota.

"Kalau 514 satker itu dana untuk badan adhoc ke sana ke 514 kabupaten/kota. Nah, dari 514 kabupaten/kota baru dikirim lewat bank ke rekening masing-masing badan adhoc apakah dia PPS, pantarlih," tutur August.

Baca juga artikel terkait GAJI PANTARLIH atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Politik
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Maya Saputri