tirto.id - Eks pejabat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo resmi menjadi tersangka dugaan kasus gratifikasi. Hal itu diumumkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai bentuk pengembangan penyelidikan "harta jumbo" Rafael yang dilakukan komisi antirasuah beberapa hari terakhir.
“Terkait dengan perkara yang sedang kami lakukan proses penyidikan terkait pajak, kami ingin sampaikan bahwa benar [Rafael tersangka]” kata Kabag Pemberitaan KPK, Ali Fikri dalam keterangannya pada Kamis, 30 Maret 2023.
Rafael diduga menerima gratifikasi selama menjabat sebagai pemeriksa pajak pada Ditjen Pajak Kementerian Keuangan dalam kurun waktu 2011-2023.
“Jadi ada dugaan pidana korupsinya telah kami temukan. Terkait dengan dugaan korupsi penerimaan sesuatu oleh pemeriksa pajak pada Ditjen Pajak Kemenkeu tahun 2011-2023,” kata Ali.
Penetapan tersangka ini tidak lepas dari upaya publik menelusuri harta Rafael Alun yang notabene ayah dari Mario Dandy, penganiaya anak berinisial D. Publik menilai harta Rafael janggal ketika dibandingkan dengan kapasitasnya sebagai pejabat Ditjen Pajak Kemenkeu.
KPK mengungkapkan harta pejabat Ditjen Pajak seperti Rafael Alun Trisambodo yang mencapai sekitar Rp56 miliar, tidak sesuai dengan profil kekayaannya.
Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan menegaskan, tidak ada larangan bagi pejabat untuk mempunyai aset atau harta kekayaan dalam jumlah besar, asalkan profilnya sesuai.
“Jumbo sih bukannya dilarang, kalau lihat di announcement banyak yang jumbo, yang jadi masalah, kan, profilnya enggak match. Jadi jangan jumbo ini kementerian, kalau profilnya match enggak apa-apa. Misalnya bapak-nya sultan, warisannya gede gitu, ada juga pejabat yang begitu," kata Pahala.
KPK Didorong Terapkan TPPU
Meski Rafael sudah ditetapkan sebagai tersangka dugaan gratifikasi, tapi Peneliti Transparency Internasional Indonesia (TII) Alvin Nicola mendorong agar KPK melakukan penyelidikan dan penyidikan dugaan pencucian uang. Ia menilai ketentuan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Tipikor sebagaimana Pasal 37A ayat 2 UU Tipikor.
"Sesuai UU Tipikor Pasal 37A ayat (2), kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaan bisa digunakan untuk kepentingan memperkuat alat bukti yang sudah ada. Peluangnya juga besar dilakukan untuk bisa masuk ke TPPU karena sudah jelas predicate crime-nya sehingga jerat tuntutannya juga akan maksimal,” kata Alvin kepada reporter Tirto.
Alvin menilai, penyelidikan dan penyidikan harus dilakukan lantaran penyelidikan Rafael Alun sudah menyinggung soal aset dan penemuan nominee. Dalam pandangan Alvin, wajar jika KPK menetapkan pasal TPPU dalam perkara Rafael.
Ia mengakui, penyidikan TPPU memang cukup sulit karena keterbatasan instrumen penyidikan TPPU, apalagi jika aset di luar negeri atau ada nominee berlapis lantaran tidak jelas beneficial owner-nya.
"Tapi itu [TPPU] krusial dilakukan mengingat posisi RAT sebagai ASN yang menggunakan perusahaan pajak lain kala itu yang sangat merugikan pemasukan negara," kata Alvin.
Ahli hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho mengatakan, penerapan pasal TPPU dalam kasus Rafel sangat dimungkinkan. Ia beralasan, TPPU bisa diterapkan selama asal muasal harta hasil gratifikasi berubah.
"Ya sangat mungkin sekali, kan, TPPU kan umum sekali sebetulnya. Uang dari mana pun bisa sepanjang tidak bisa dibuktikan. Kan TPPU bisa karena perpajakan, karena korupsi karena penggelapan,” kata Hibnu.
Hibnu mengatakan, tantangan KPK ada pada upaya pembuktian pidana asal. Meski upaya pembuktian TPPU kemungkinan cukup sulit.
“Memang kalau TPPU gratifikasi itu kan pemberian dengan maksud, memang dalam Undang-Undang KPK, Peraturan KPK, ketika disampaikan itu apa namanya dianggap sebagai penerima gratifikasi kan gitu. Sekarang pertanyaannya siapa pemberinya itu? Itu yang harus dibuktikan,” kata Hibnu.
“Harusnya (bisa menjerat dengan TPPU) tapi, kan, based on evidence, buktinya itu. Itu yang harus dikembangkan gitu loh. Kan sekelas Rafael Alun juga membuktikan bukti-buktinya ada dan sebagainya," kata Hibnu.
Hibnu menilai, KPK akan punya tantangan dalam rujukan untuk membuktikan pencucian uang. Penyidik pun harus hati-hati dan perlu waktu. Menurut Hibnu, penyidikan bisa lebih mudah jika ada Undang-Undang Perampasan Aset dan penyempurnaan regulasi lain.
"Jadi ya mudah-mudahan kita dukung semua. Itu tanggung jawab penegak hukum kan? Memang undang-undang sudah ada, ya kan. TPPU dikasih. Sekarang bagaimana membuktikannya. Ini bagian dari komitmen ke depan, negara harus membuktikan ada undang-undang tersendiri sehingga pengaturan jelas," kata Hibnu.
Sementara itu, ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Fadjar menilai, KPK sudah menyelidikan dan telah menemukan dugaan tipikor RAT lantaran diduga menerima gratifikasi 12 tahun tanpa melaporkan ke KPK. Penemuan dugaan pidana itu pun diperkuat dari pemeriksaan alat bukti berupa keterangan ahli dan surat sehingga tindak pidana terang atas dugaan gratifikasi maupun korupsi.
"KPK telah mendapatkan bukti bahwa hasil kejahatan korupsi/gratifikasi itu disamarkan dengan mendirikan PT di mana sahamnya dimiliki oleh beberapa pejabat pajak rekannya, itu artinya telah terjadi penyamaran aset hasil tindak pidana, karena itu juga dapat dituntut dengan TPPU," kata Fickar.
Dalam konteks ini, KPK mengungkap alasan pihaknya belum masuk dalam dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) Rafael Alun Trisambodo. KPK menyebut masih fokus mendalami perkara gratifikasi Rafael terlebih dahulu.
“Sejauh ini masih fokus pada pendalaman tindak pidana asalnya (gratifikasi) terlebih dahulu," kata Kabag Pemberitaan KPK, Ali Fikri dalam keterangannya Jumat, 31 Maret 2023.
Namun demikian, KPK tak menutup kemungkinan untuk membuka peyidikan terkait dugaan tindak pidana pencucian uang tersebut.
"Namun sangat memungkinkan akan dikembangkan ke arah sana," kata Ali.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz