tirto.id - Di Kantor DPP PAN, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto mengungkapkan wacana penggabungan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang beranggotakan Golkar, PAN, dan PPP dengan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) gabungan Partai Gerindra dan PKB.
Airlangga meyakini koalisi besar yang diikuti oleh lima partai pendukung Kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin dapat mengatasi masalah geopolitik hingga polarisasi akibat politik identitas.
"Ini butuh kebersamaan. Kebersamaan itu koalisi besar. Koalisi besar itu mempunyai ideologi yang sama," kata Airlangga, Minggu (2/4/2023).
Airlangga menjamin bahwa koalisi gabungan ini adalah penerus seluruh program Jokowi. Oleh karenanya, bila koalisi yang diwacanakan Airlangga ini terwujud, maka rencana jangka panjang Jokowi yang sudah dimulai ini akan selesai dengan cepat.
"Oleh karena itu, gerbong inilah yang siap untuk melanjutkan program secara lebih cepat,” kata Airlangga yang juga Menteri Koordinator bidang Perekonomian ini.
Agar wacana koalisi besar dapat dilangsungkan, Airlangga merencanakan sejumlah pertemuan dengan partai dari KIB dan KKIR. Baginya, semakin banyak pertemuan, maka semakin cair pula komunikasi antarpihak. Menurut Airlangga, belum ada kata final soal koalisi hingga kelak pendaftaran peserta Pilpres 2024 di KPU.
“Kalau pertemuan akan selalu ada. Namanya partai politik, kita cair. Bertemu dengan ketua umum partai seluruhnya yang ada di pemerintahan," tuturnya.
Gayung bersambut, Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Prabowo Subianto mengamini pernyataan Airlangga. Dia merasa memiliki chemistry dan frekuensi yang sama dengan Airlangga dan sejumlah pengurus partai dari PAN dan PPP. Prabowo juga menekankan, mereka semua memiliki kesamaan sebagai "timnya Pak Jokowi.”
"Jadi kita melihat ada frekuensi yang sama. Ada kecocokan dan kalau dilihat pimpinan partai kita sudah masuk ke dalam timnya Pak Jokowi," kata Prabowo.
Serupa dengan Airlangga, Prabowo belum menjawab apakah kesamaan frekuensinya akan menjadi kesatuan koalisi besar dari gabungan partai. Nantinya, dia menjanjikan akan ada pertemuan susulan dan komunikasi yang lebih intensif dari masing-masing partai.
"Kita lihat nanti prosesnya. Tapi yang pasti kita akan lebih intens," ujarnya.
Pro Kontra Koalisi Besar Gabungan KIB dan KKIR
Meski demikian, tidak semua pihak setuju dengan wacana penggabungan koalisi besar antara KIB dan KKIR. Seperti PDIP –salah satu parpol pemerintah-- yang absen dalam acara Silaturahmi Ramadan di Kantor DPP PAN tersebut. Sejumlah pihak menyebut pertemuan lima ketua umum partai ini sebagai pertanda bahwa PDIP ditinggal sendirian.
Namun PDIP menampik hal itu. Ketua DPP PDIP, Said Abdullah menjelaskan, pihaknya saat ini sedang sibuk di luar negeri. Hal itu yang menjadi alasan mengapa tidak ada satu pun kader PDIP yang menggantikan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. Padahal, dalam acara lain, Megawati selalu diwakili oleh Sekjen Hasto Kristiyanto atau Ketua DPP Bidang Politik dan Keamanan Puan Maharani.
"Tidak ada yang meninggalkan PDIP. Karena faktanya PDIP diundang kok. Kami akui pertemuan itu positif. Kami tidak hadir karena memang itu harus ditempati oleh ketua umum," kata Said.
Selain itu, Said meragukan potensi kemenangan koalisi besar gabungan banyak partai dalam proses Pemilu 2024. Menurutnya, pemenangan dalam kontestasi pemilu bukan ditentukan oleh jumlah partai, tapi ideologi yang diusung dan soliditas dalam pemenangan.
"Yang menentukan kemenangan itu pertama tentunya figur kemudian soliditas partai," ungkapnya.
Kritik juga datang dari Wakil Ketua Umum DPP PKB, Jazilul Fawaid. Dia mengaku terkejut atas wacana yang dilontarkan Airlangga dalam acara pertemuan ketua umum tersebut. Sebab, kata dia, tidak pernah ada pembicaraan atau pembahasan sebelumnya soal penggabungan KIB dan KKIR dengan PKB.
"Saya secara pribadi membaca koalisi besar baru di tingkat elite. Karena kami juga belum mengonfirmasi kepada cabang kami, DPW kami dan juga para kiai dan ulama. Apakah setuju dengan format seperti itu?" kata Jazilul.
Jazilul menyebut, koalisi yang diikuti terlampau banyak partai hanya akan mempersulit proses penentuan siapa bakal capres dan cawapres yang akan diusung. Jazilul memberi contoh KKIR yang hingga saat ini belum bisa menentukan nama kandidat karena masing-masing ketua umum saling menginginkan posisi capres.
"Orang kami berdua saja kesulitan dalam memutuskan siapa nama capres dan cawapres. Apalagi kalau lebih dari dua," ujarnya.
Jazilul menyiapkan syarat yang cukup berat bagi koalisi gabungan KIB dan KKIR apabila menghendaki kehadiran PKB. Syaratnya adalah Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar menjadi bakal capres yang diusung oleh koalisi besar.
"Saya setuju dengan koalisi besar, asal Pak Muhaimin capresnya," tegasnya.
Sementara itu, Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera menuturkan, koalisi besar membuat masyarakat menjadi bingung dan memperbesar celah polarisasi karena potensi capres dan cawapres yang diusung hanya dua pasang.
Selain itu, dia berharap koalisi partai yang sudah ada saat ini seperti Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), KIB, KKIR, dan PDIP cukup berjuang masing-masing tanpa harus melebur menjadi satu.
"Menurut saya masing-masing partai dengan koalisi yang saat ini sudah cukup. Karena kita harus belajar dari Pemilu 2014 dan 2019 bahwa polarisasi muncul karena sedikitnya calon yang diusung. Kita berharap setidaknya ada tiga calon nanti di Pemilu 2024," ungkapnya.
Mardani menambahkan, setiap partai tidak semuanya bisa disatukan menjadi koalisi. Karena antara satu partai dengan lainnya memiliki ideologi yang berbeda dan arah perjuangan yang berbeda. Apabila disatukan nantinya dikhawatirkan menjadi tidak solid.
"Kalau dipaksakan supaya pokoknya yang besar, tapi masing-masing punya arah perjuangan yang berbeda, orientasi yang berbeda, nanti tidak solid dan tidak satu platform dalam proses pembangunan," terangnya.
Meski menuai kritik dari internal parpol pendukung pemerintah, Wakil Ketua Umum DPP PAN, Viva Yoga menyebut akan menguntungkan seluruh partai memperluas jaringan konstituen. Dengan meluasnya jaringan pemilih, maka kemungkinan untuk menang di Pemilu 2024 semakin besar.
"Akan semakin memperluas basis konstituen karena masing-masing partai memiliki basis sosial yang berbeda. Jika digabungkan akan menambah potensi kemenangan paslon yang akan diusung," kata Viva Yoga.
Ia tak menampik bahwa soal nama bakal capres bukan hanya sekadar penyerapan inspirasi dari masyarakat atau konstituen dari masing-masing partai. Menurutnya, kompromi ketua umum partai akan menjadi penentu utama dan koalisi besar akan memudahkan proses diskusi pengambilan keputusan.
"Figur yang menjadi pasangan calon adalah hasil keputusan dan kompromi dari ketua umum seluruh partai politik dengan perhitungan akseptabilitas, popularitas, dan elektabilitas yang terukur. Serta memiliki peluang menang di Pilpres," jelasnya.
Koalisi Besar Apa Untungnya untuk Rakyat?
Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, Arifki Chaniago menilai, ada peran Jokowi di balik terbentuknya wacana koalisi besar yang digaungkan Airlangga. Menurutnya, Jokowi saat ini mulai semakin serius mencari penggantinya dengan merapatkan sebagian besar partai yang berkoalisi dengannya di kabinet.
"Jokowi serius terhadap calon penggantinya sebagai presiden. Pertemuan ini bisa saja menjadi agenda penggabungan dua koalisi, yaitu KIB dan KKIR," kata Arifki.
Di sisi lain, menurut pengamatan Peneliti Pusat Riset Politik - Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP-BRIN), Wasisto Raharjo Jati, hanya ada sedikit hal yang menguntungkan bagi rakyat terkait koalisi besar. Ia justru mengkhawatirkan terbentuknya polarisasi politik, karena semakin sedikitnya jumlah capres dalam Pilpres 2024.
"Untungnya adalah preferensi politik publik menjadi lebih terarah dan partisan, ruginya adalah potensi polarisasi itu ada apalagi kalau dua figur yang diusung mewakili dua warna yang kontras satu sama lain," kata Wasisto.
Selain itu, Wasisto menyebut, elite politik akan semakin diuntungkan bila koalisi partai semakin mengerucut. Alasannya, modal politik yang dikeluarkan semakin efisien karena proses nominasi kandidasi semakin mengunci pada figur tertentu.
"Untungnya adalah upaya untuk segera mengakselerasi atau mempercepat proses nominasi kandidat dengan mengunci pada figur tertentu,” kata dia.
Meski demikian, para elite patut berhati-hati bila memaksakan proses terbentuknya koalisi besar. Walau ongkos politiknya lebih murah daripada koalisi kecil, tapi koalisi besar rentan bubar di tengah jalan. Terlebih belum ada nama bakal capres atau cawapres yang disepakati.
"Ruginya adalah koalisi besar itu rentan bubar apalagi kalau satu dua parpol besar inti dipinang masuk ke koalisi pemerintahan," ujarnya.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz