tirto.id - Di ujung Jalan Haji Muhi, Pondok Pinang, ada spanduk besar. Isinya, ajakan membela Islam, ulama, Alquran, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di kedua sisinya terpampang wajah pendiri Front Pembela Islam Rizieq Shihab dan Ketua Majelis Ulama Indonesia M'aruf Amin. Hanya sekitar 10 meter dari spanduk itu, di mulut gang selebar satu meter, terdapat rumah Firmansyah, sekretaris Masjid Darussalam. Rumahnya seukuran 4x7 meter.
Saat saya datang, Firmansyah tak ada di rumah. Istrinya enggan memberikan nomor ponsel suaminya. Namun, anak perempuannya justru dengan riang dan ramah memberikannya kepada saya. Saat dihubungi, Firmansyah meminta saya mendatangi sebuah posko, berjarak 200-an meter, dekat Masjid Ni'matul Ittihad..
Posko itu bernama Pengawalan Proses Hukum Penista Alquran dan NKRI. Posko yang ramai dengan spanduk ini bekas tempat pangkas rambut. Posko ini pernah dipakai sebagai tempat pendaftaran "Aksi Bela Islam" pada pengujung tahun, kerjasama Forum Pondok Pinang Bersatu dan Laskar Pembela Islam Pondok Pinang. Di dalamnya, ada spanduk bertuliskan: "Segera Adili Ahok atau Kami yang Mengadili". Ada juga spanduk terbalik bekas penghitungan pemungutan suara Pilkada Jakarta putaran pertama di lebih 10 TPS.
Firmansyah dan tiga rekannya tengah menunggu saya. Ia baru datang dari Polsek Kebayoran Lama. Ia mengatakan, pengurus Masjid Darussalam telah mengirimkan surat kepada Pembina Masjid Darussalam, Rasyidin Nawi. Surat bertanggal 4 Februari 2017 ini berisi keputusan pengurus masjid untuk memecat Rasyidin.
Setelah pemecatan, Rasyidin—yang sebelumnya disapa warga sebagai "Haji Rasyid"—kini dipandang berbeda oleh Firmansyah dan rekan-rekannya.
“Kalau saya manggilnya bukan Haji Rasyidin. Itu dulu," kata Firmansyah, Kamis (16/3). "Kalau sekarang panggilnya John Rasyidin. Kalau John itu (nama) orang Kristen.”
Alasan pemecatan, Rasyidin enggan mematuhi hasil keputusan pengurus masjid yang sepakat memilih calon gubernur beragama Islam. Rasyidin dianggap membangkang karena menjadi tim sukses Ahok-Djarot di wilayah Kelurahan Pondok Pinang dan Pondok Indah.
“Kita keputusannya, kalau tidak ke nomor 3 atau nomor 1. Kita pokoknya memilih gubernur muslim. Karena (Rasyidin) memilih tidak sesuai dengan visi dan misi pengurus periode ini,” ujarnya.
Firmansyah menuturkan, di awal Pilkada, meski tak memaksakan pilihan politik pada orang lain, Rasyidin terlalu bersikeras memilih pasangan Ahok-Djarot. Sedangkan Ahok dianggap oleh para pengurus masjid sebagai calon pemimpin non-muslim yang tidak layak dipilih.
Rasyidin diajak berunding untuk mengubah sikap politiknya. Tapi Rasyidin tak kunjung mau. Ketua Umum Pengurus Masjid Darussalam Abdul Ghafur lantas mendatangi rumah Rasyidin. Ghafur meminta Rasyidin mengundurkan diri sebagai pembina pengurus masjid.
“Kalau memang beda, bapak silakan mengundurkan diri, kita tawarkan seperti itu," cerita Firmansyah. "Kita nunggu surat pengunduran diri dari dia. Karena itu lebih terhormat.”
Tiga hari kemudian, Rasyidin malah mengirim pesan pendek ke gawai Ghafur. Isinya, Rasyidin memilih dipecat ketimbang mengundurkan diri.
“Akhirnya kita bergerak secara organisasi. Ya sudah, akhirnya dipecat saja. Itu sah karena sesuai visi dan misi organisasi,” ucapnya.
Selain memutuskan untuk memilih pemimpin muslim, Firmansyah dan para pengurus masjid sepakat tidak akan menyalatkan jenazah warga yang diketahui memilih Ahok-Djarot. Ini terjadi pada almarhum Siti Rohbaniah, usia 80 tahun, warga RT5/RW02, yang meninggal pada Rabu (8/3) malam sekitar pukul 19.00.
Saat itu, Firmansyah dan para pengurus masjid menganggap Rohbaniah memilih pasangan Ahok-Djarot. Beberapa jam kemudian, Firmansyah baru tahu jika Rohbaniah tak punya hak pilih karena tak memiliki KTP Jakarta. Seketika Firmansyah dan para pengurus masjid cekatan membantu keluarga Rohbaniah. Hal ini disebut Firmansyah sebagai "kesalahan komunikasi" meski tetap saja keluarga Rohbaniah harus teken pernyataan bersedia memilih pemimpin muslim agar jenazah bisa disalatkan di masjid. (Baca laporan Tirto: Rohbaniah Tak Ikut Nyoblos tapi Jenazahnya Ditolak Disalati)
“Kita kasih kain kafan, ambulans, uang kerahiman. Kalau yang meninggal itu sudah kelihatan dia pendukung penista agama, ya lain soal,” ungkapnya.
Dua keputusan pihak masjid tersebut, menurut Firmansyah, telah dirumuskan melalui rapat kerja. Rapat kerja sekali selama setahun ini digelar di daerah Bogor. Beberapa warga dari seluruh RT di RW 2 menghadiri rapat tersebut. Firmansyah berkelakar, jumlahnya lebih dari 200 orang. Dalam kegiatan itu mereka sepakat mengikuti pada apa yang mereka sebut "pandangan politik para ulama".
“Kita mengikuti ulama yang tidak ada hubungan sama pejabat. MUI jauh dari pejabat,” tegasnya.
Firmansyah berkata, dampak dari surat pemecatan itu Rasyidin jadi tak mau salat di Masjid Darussalam. Hubungan mereka jadi renggang.
Ia juga tak bisa memastikan: Apakah setelah Pilkada berakhir, masyarakat yang berbeda pilihan politik bisa akur kembali.
“Setelah Pilkada, hubungan sosial ya biasalah. Tapi hubungan agama, cap seseorang itu berada di barisan mana, sudah jadi hukum,” ucapnya.
Akumulasi dari pelbagai masalah itu yang membuat Ghafur dan Firmansyah diperiksa Panwaslu Kota Jakarta Selatan pada Rabu, 15 Maret 2017. Sebelumnya, mereka sempat mangkir dua kali dari panggilan Panwaslu.
Ghafur adalah pengajar di sekolah As-Syafi'iyyah, Pondok Gede, dan Firmansyah ialah guru dan wakil kepala sekolah di sebuah madrasah ibtidaiyah (setara SD) di Pondok Pinang. Adapun Rasyidin adalah ketua yayasan tempat mengajar Firmansyah.
Di akhir perbincangan dengan Firmansyah, salah satu dari ketiga rekannya mengulurkan tangan kanan ke arah saya sembari minta saya bersumpah untuk "memberitakan yang baik-baik saja". Saat bersumpah, saya difoto dan divideokan dan diancam: Jika berita yang saya bikin tak sesuai keinginan mereka, mereka berjanji akan mencari keberadaan saya.
Selain itu mereka memastikan saya beragama Islam dengan memeriksa KTP dan meminta kartu nama saya. Saat wawancara berlangsung pun ketiga rekan Firmansyah secara bergantian memotret, memvideokan, dan secara serentak menganggap pertanyaan saya tak relevan dan menganggap saya pendukung Ahok.
Mendepak Ahli Waris Masjid
“Masjid itu bukan dari bapaknya (Rasyidin). Enggak ada ceritanya itu dia ahli waris. Itu ngaku-ngaku,” kata Firmansyah. Ia bersikukuh Masjid Darussalam tak dimiliki keluarga Rasyidin secara turun-temurun.
Di ruang tamu yang dihiasi 6 bingkai foto pertemuan antara Rasyidin dan Ahok plus kakak angkat Ahok, Andi Analta Baso Amier, Rasyidin menuturkan secara perlahan silsilah keluarga besarnya. Sejak abad 19, keluarganya bernama Ki Tua Rasman pindah ke Jakarta dari Kediri, Jawa Timur. Rasman lantas membangun Masjid Darussalam bercorak arsitektur khas Jawa Timur. Masjid ini kemudian diurus oleh anaknya, Bihan, yang seterusnya diwariskan kepada Rasyidin Nawi.
“Saya keturunan keenam. Saya ahli waris masjid itu, tapi yang memecat bukan ahli waris. Saya ketawa saja. Saya ahli waris tulen,” tutur Rasyidin di rumahnya. Ia menambahkan, sentimen Firmansyah terhadap dirinya karena ia, sebagai ketua yayasan sekolah, tidak memilih Firmansyah sebagai kepala sekolah.
Rasyidin mengatakan Firmansyah dan Ghafur tak berhubungan dengan garis darah pendiri Masjid Darussalam. Namun ia berkata jika Firmansyah masih memiliki hubungan darah dengannya. “Waktu nenek saya jadi janda menikah dengan kakeknya dia yang jadi duda. Firmansyah itu cicitnya,” ungkapnya.
Rasyidin mengisahkan, Masjid Darussalam direnovasi berkat sumbangan Rp100 juta dari Fauzi Bowo saat menjabat sekretaris daerah Jakarta. Rasyidin saat itu menjadi bendahara pengurus masjid. Awalnya Rasyidin tinggal di RT5/RW02 selama sekitar 60 tahun. Pada pertengahan 2009 ia pindah ke Jalan Haji Muhi VIII.
Sebagai pembina Masjid Darussalam, ia tak pernah luput untuk diundang ketika ada rapat. Pertama kali ia tak diundang saat pengurus masjid mengadakan rapat kerja di Bogor. "Tahu-tahu," katanya, "warga yang bukan pengurus masjid mengirimkan surat pemecatan ke rumah saya."
“Dipecat karena saya koordinator kelurahan pemenangan Tim Ahok. Itu kelurahan Pondok Pinang dan Pondok Indah, ada 90 TPS. Jangan lihat Cina-nya, kita Pilkada, bukan lagi pilih pemimpin agama. Kalaupun gubernur orang Islam, harus berkualitas, ilmunya bagus. Orang Masjid Darussalam benci banget sama Ahok,” ujarnya.
Rasyidin mengistilahkan hubungan saudaranya dengan Ahok sebagai "cubit daging kena tulang." Ia menjadi bagian dari keluarga besar sejak kakak angkat Ahok, Andi Baso Amier, menjadi keluarga dari menantunya. Selain itu, yang membuatnya semakin mantap memilih Ahok berkat saudaranya, Ruslan Amsyari, yang jadi anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Hanura dari Dapil Kebayoran Lama, Kebayoran Baru, Pesanggrahan, Cilandak, dan Setiabudi. Ruslan sendiri tinggal di Jalan Pondok Setia, RT7/RW06, Pondok Pinang.
“Saya sudah dijauhi pemilih Anies sejak Pilkada. Ini Pilkada, saya tidak mau ribut. Saya malu kalau ribut. Saya tidak sakit hati. Ya sudahlah, jalannya seperti ini memang untuk menangkan Ahok. Banyak orang luar kayak Cilandak yang datang, mereka kasih support. Saya jadi kuat. Setelah Pilkada, harus selesai ini masalah,” kata mantan ketua RW 02 sejak 1992 hingga 2009 ini.
Selain Firmansyah, ada anggota saudaranya yang menjauhi Rasyidin. Ini terjadi ketika adik dari istrinya menikahi seorang petinggi MUI tingkat kecamatan di Pondok Pinang, Hasanuddin Alwi, di tengah momen Pilkada yang masih panas.
“Dia ngawinin tapi saya tidak diundang. Dianggapnya uang saya haram. Itu lagi Pilkada berjalan. Biasanya satu minggu bisa 7 kali undangan. Sekarang sudah jarang yang undang saya,” ujarnya.
Kini jabatan Rasyidin sebagai pembina Masjid Darussalam sudah digantikan dengan Danu. Di masa luang, Rasyidin sempat diminta seorang pengurus masjid untuk kembali masuk Islam. Dengan memilih Ahok, Rasyidin dianggap telah pindah agama.
“Saya disuruh syahadat lagi sama orang Masjid Darussalam itu. Itu ulama bukan, kyai juga bukan,” tutupnya.
(Rasyidin Nawi menunjukkan pemecatan dirinya sebagai pengurus masjid. Dieqy Hasbi Widhana ©2017)
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam