Menuju konten utama

Rohbaniah Tak Ikut Nyoblos tapi Jenazahnya Ditolak Disalati

Keluarga Rohbaniah diminta oleh pengurus masjid untuk meneken surat pernyataan sehingga jenazah bisa disalatkan di masjid.

Rohbaniah Tak Ikut Nyoblos tapi Jenazahnya Ditolak Disalati
Spanduk menolak menyalatkan jenazah pemilih pemimpin non-muslim dipasang di depan Masjid Darussalam, Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Sebuah tenda dari terpal, susunan kursi, dan karpet tergelar di pelataran rumah almarhum Siti Rohbaniah. Yoyo Sudaryo, menantu Rohbaniah, menemui beberapa pelayat. Tetapi ia enggan berkomentar kepada wartawan yang ingin mengetahui cerita bagaimana almarhum Rohbaniah ditolak disalatkan di masjid setempat.

“Ini sudah ditangani polisi. Saya tidak bisa memberi keterangan lagi. Kalau mau tanya soal lain saja. Lagian ini masih berduka. Saya jadinya enggak bisa ngelayanin tamu,” katanya, Sabtu (11/3).

Keesokan harinya, saat reporter Tirto mendatanginya, rumah itu tampak sepi. Seorang penjual toko kelontong di sebelah rumah berkata bahwa keluarga Yoyo tengah pergi. Hingga pukul 4 sore, keadaan rumah tetap sama.

Siti Rohbaniah, 80 tahun, meninggal pada Rabu (8/3) malam sekitar pukul 19.00. Ketua RT 5/RW 02 Kelurahan Pondok Pinang, Kebayoran Lama, Ma’mun Achyar mengurus jenazahnya.

Sesampai di rumah duka, Ma’mun membantu Yoyo Sudaryo dan warga untuk membantu mengurusi jenazah Rohbaniah. Ia segera mengurus keperluan jenazah seperti kafan, kapas, keranda, dan ambulans untuk membawa jenazah ke pemakaman. Ma’mun menghubungi pengurus masjid Darussalam di wilayah setempat yang menyediakan keperluan pemakaman termasuk ambulans untuk mengantar jenazah.

Ma’mun menemui ketua RW setempat dan mengontak pengurus masjid. Semua lancar. Keperluan untuk mengurus jenazah teratasi. Semuanya sudah siap.

Namun, karena waktu meninggal Rohbaniah malam hari, dan mengikuti kebiasaan warga setempat, jenazah akan dikuburkan esok paginya.

Maka, selagi jenazah Rohbaniah disemayamkan di rumah duka, Ma’mun menyiapkan segala keperluan administratif untuk memproses surat kematian untuk pemakaman.

“Saya mengurus surat-surat untuk keperluan pemakaman sampai pagi,” katanya.

“Ya saya lihat sendiri semua itu,” kata Pardi, keponakan Ma’mun.

Masalah muncul saat jenazah hendak dikuburkan. Pihak keluarga, menurutnya, meminta jenazah disalatkan di masjid Darussalam seperti halnya banyak warga setempat yang lain.

Namun, keinginan itu tak bisa dilaksanakan begitu saja. Warga setempat dan pengurus masjid, menurut Ma’mun, berdesas-desus bila keluarga almarhum ialah pemilih pasangan Ahok-Djarot.

“Kesepakatan pengurus masjid, pemilih calon non-muslim tidak boleh disalatkan di masjid,” kata Ma’mun.

Menurut Ma’mun, mayoritas warga memang pemilih Anies-Sandiaga. Dari data hasil pemilihan umum di TPS 13, dalam putaran perdana Pilkada Jakarta lalu, Anies-Sandiaga memperoleh 245 suara, Ahok-Djarot 135 suara, dan Agus-Sylvi 56 suara.

Maryoto, warga RT 4/ RW 2 yang bekerja sebagai tukang parkir dekat rumah Rohbaniah, berkata bahwa penolakan jenazah lantaran warga sekitar kerap mendengar Yoyo gembar-gembor mendukung Ahok-Djarot.

“Ya warga kesal. Di masjid kan juga sudah dipampang spanduk untuk milih yang muslim,” katanya.

Namun, Maryoto sendiri tak benar-benar setuju dengan adanya spanduk itu, yang menurutnya "mengganggu kerukunan umat beragama."

“Sudah kesepakatan, gimana lagi?” katanya.

Disuruh Teken Surat Pernyataan

Apa yang dianggap masalah warga anti-Ahok terhadap Yoyo yang disebut "gembar-gembor" mendukung Ahok-Djarot, sesungguhnya, tidak selalu relevan dengan almarhum Rohbaniah, yang tidak memiliki kartu identitas penduduk Jakarta.

Dengan mengantongi fakta itu Ma’mun mencoba melobi warga dan pengurus masjid.

“Ibu Rohbaniah itu asli Lampung. Sudah tua juga. Tidak nyoblos. Saya bilang ke warga, 'Kasihan kalau harus kena soal politik begini,'” kata Ma’mun.

Setelah melobi warga, Ma’mun melobi pengurus masjid. Ia mengontak Firmansyah, sekretaris pengurus masjid Darussalam, lewat WhatsApp. “Saya disuruh Firman bikinkan surat pernyataan kalau keluarga almarhumah harus bersedia memilih pemimpin muslim,” kata Ma’mun.

Demi mempercepat proses pemakaman, Ma’mun akhirnya membuat surat pernyataan yang diisyaratkan oleh Firmansyah melalui pesan WhatsApp.

“Suratnya saya buat dengan tulisan tangan. Memang ada kalimat memilih pemimpin muslim,” ujar Ma’mun.

Surat itulah yang akhirnya ditandatangani oleh Yoyo, menantu almarhum. Berbekal surat itu, jenazah Rohbaniah bisa disalatkan di masjid Darussalam sekitar pukul 10.00 sebelum dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan.

“Saya tidak memaksa. Pak Yoyo justru terimakasih kepada saya karena sudah membantu. Saya dikasih amplop. Sempat saya tolak, ‘Untuk ustaz saja, saya tidak usah,’ kata saya. Eh malah dimasukin ke kantong saya. Saya juga enggak nyangka bisa jadi seperti ini,” kata Ma’mun dengan nada menyesal. “Alhamdulillah yang nyalatin juga banyak.”

Ma’mun dipanggil oleh Polsek Kebayoran Lama, dua hari setelah pemakaman Rohbaniah, pada Sabtu (11/3). “Saya tadi dari kantor polisi. Saya ceritakan semuanya. Tapi, saya enggak tahu siapa yang melaporkan ini. Soalnya tadi ketemu Pak Yoyo di sana, beliau malah minta maaf ke saya dan enggak tahu juga siapa yang melaporkan ke polisi. Soalnya, semua sudah clear dengan pihak Pak Yoyo. Suratnya juga sudah dibatalkan,” kata Ma’mun.

“Om saya ini padahal sudah rela tidak dagang sehari demi mengurus pemakaman Bu Rohbaniah. Tapi kok malah jadi begini,” kata Pardi, keponakan Ma’mun. “Keluarga sini kan jadi tersudut,” imbuhnya.

INFOGRAFIK HL menolak sholat jenazah

Spanduk Menolak Menyalatkan Jenazah

Syarif Hidayatullah, ketua RW 2, baru saja pulang kerja saat ditemui oleh Ma’mun Achyar di malam Siti Rohbaniah meninggal. Syarif berkata ia tak terlibat banyak dalam pengurusan jenazah.

“Pak RT yang mengurus semuanya,” katanya.

Namun, Syarif berkata bahwa pihak RW memberi bantuan untuk seluruh keperluan pengurusan jenazah, bahkan ia sempat menawarkan kepada keluarga almarhum agar jenazah dimakamkan di pemakaman milik RW, di Sawangan, Depok, Jawa Barat.

“Tapi keluarga enggak mau,” ujar Syarif.

Esokan harinya, karena harus berangkat kerja, Syarif hanya datang sejenak sebelum jenazah disalatkan dan dimakamkan. Ia mengira segala urusan jenazah Rohbaniah beres.

siang hari, ia mendapat telepon dari lurah Pondok Pinang, juga dari kepolisian sektor Kebayoran Lama. Keduanya menanyakan mengenai kabar adanya surat pernyataan dari keluarga Rohbaniah. “Saya kaget. Saya sama sekali enggak tahu itu. Semua kan urusannya bawah(an),” katanya.

Syarif segera mengontak Ma’mun dan kabar itu dibenarkan. Surat itu sudah diberikan ke Pak Lurah, kata Ma’mun.

Baik Ma'mun maupun Syarif enggan memberikan nomor kontak dan alamat Lurah Pondok Pinang kepada saya. “Kalau mau datang ke kantornya saja, Senin. Lagian ini sudah clear, kok. Besok spanduk di masjid juga saya suruh nyopot,” katanya.

Spanduk yang dimaksud Syarif adalah dua spanduk di masjid Darussalam, bersebelahan dengan rumahnya. Isinya adalah penolakan menyalatkan jenazah "pendukung dan pembela penista agama"--merujuk sentimen anti-Ahok dalam Pilkada Jakarta 2017.

Menurut Syarif, yang juga pengurus masjid, spanduk itu adalah hasil kesepakatan dari seluruh pengurus masjid dan masyarakat sekitar. Namun, ia mengklaim bukan pengambil keputusan. “Tanya Haji Ghafur saja nanti. Dia ketua pengurus masjid. Itu baru semingguan dipasang,” katanya, sambil pamit karena harus segera menemui pengurus masjid untuk "mengkoordinasikan penurunan spanduk."

Saya mendatangi rumah Abdul Ghafur di RT 4/RW 2. Namun, ia tak ada di rumah. Enni, istri Ghafur, berkata suaminya tengah menghadiri acara di masjid At-Tin di kompleks Taman Mini Indonesia Indah. “Ada tablig akbar Ustaz Arifin Ilham,” ujarnya.

Keesokan harinya, Minggu (12/3), saya bertemu dengan Abdul Ghafur di rumahnya. Ghafur menjelaskan bila spanduk itu memang kesepakatan pengurus masjid dan warga.

“Itu untuk warning saja. Muslim ya memang harus pilih muslim. Kalau ada yang meninggal ya tetap disalatkan. Kan kita enggak tahu siapa milih siapa,” katanya.

Menurutnya, spanduk itu juga tidak jadi masalah sampai ada kasus Rohbaniah. “Sekarang sudah clear, kok. Enggak usah di-blow-up lagilah. Semua sudah selesai secara kekeluargaan,” ujarnya.

Soal surat pernyataan, Ghafur bilang tak pernah menyuruh untuk membuat hal demikian. Termasuk dugaan surat itu atas inisiatif Firmansyah selaku sekretarisnya, Ghafur enggan memastikan dan menyuruh saya langsung bertanya kepada Firmansyah. “Datang saja ke rumah Firman, di Gang Haji Muhi,” katanya. “Sudah ya, semua sudah selesai,” katanya.

Rumah Firmansyah tampak sepi saat didatangi. Di depan rumahnya tertempel spanduk Anies-Sandiaga. Menurut Sukri, paman Firman yang tinggal di depan rumah, Firman pergi sejak pagi bersama anaknya. “Semalam juga ke Condet. Katanya ada rapat akbar,” ujar Sukri, menambahkan bahwa Firmansyah adalah tim sukses pasangan Anies-Sandiaga. Sampai sore rumah Firmansyah tetap sepi.

AKP Maryanto, kepala humas Polsek Kebayoran Lama, berkata bahwa "kasus surat pernyataan" mengenai jenazah Rohbaniah sudah ditangani oleh kepolisian. "Laporan sudah diproses dan masyarakat diredam. Semoga aman semua secara kekeluargaan,” ujarnya. Ia menolak merinci pelaporan atas kasus tersebut. "Hubungi Kanit Reskrim saja."

Ma’mun Achyar, saat berbincang dengan saya, tak pernah menyangka setelah 13 tahun menjadi ketua RT di Kelurahan Pondok Pinang akan berurusan dengan polisi.

“Baru kali ini ada kasus macam begini,” tuturnya. “Padahal kemarin saya sudah tidak mau lagi jadi ketua RT.”

Baca juga artikel terkait SHALAT JENAZAH atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Fahri Salam