tirto.id - Prof. KH. Abdul Malik Karim Amrullah, yang lebih dikenal sebagai Buya Hamka, pernah dituduh telah menggadaikan prinsip dan menjual keimanannya hanya karena ia bersedia menyalati jenazah lawan politik yang semasa hidup kerap menzaliminya. Si lawan politik itu bahkan pernah memenjarakannya selama dua tahun.
Menariknya, sebelum wafat, orang itu berwasiat bahwa ia hanya berkenan jenazahnya disalati oleh Hamka. Dan Hamka menyambut baik wasiat itu. “Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa,” ujarnya sebagaimana dikutip oleh Irfan Hamka, putranya, dalam buku Ayah...: Kisah Buya Hamka (2013).
Kabar meninggalnya si lawan sebetulnya tidak mengejutkan Hamka. Irfan menyatakan bahwa ayahnya menangis saat mengetahui orang itu dilanda sakit parah hingga taraf kritis. Maka sewaktu Alamsyah, Sekretaris Negara pada waktu itu, menyampaikan kabar duka dan wasiat tersebut, Hamka segera berangkat ke Wisma Yaso, Jakarta Selatan, buat memimpin salat jenazah, mengantarkan sekaligus menghormati ruh manusia yang pernah membikin hidupnya pahit.
Jasad yang terbaring di Wisma Yaso itu adalah jenazah Ir. Sukarno, Bung Besar, Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia.
Beberapa waktu silam, di media sosial, banyak orang Indonesia membicarakan foto surat pengumuman atas nama Pengurus Masjid Al Waqfiyah, Salemba, Jakarta Pusat. Isi pengumuman itu adalah ancaman: Pengurus masjid melepaskan diri dari kewajiban menyalati jenazah sebagian orang, yaitu muslim yang memilih Ahok dalam pilkada Jakarta 2017, kecuali mereka bertobat di hadapan sejumlah pengurus masjid tersebut. Atau, dalam bahasa religius surat itu, “Muslim yang mengingkari Surat An-Nisa ayat 138-139.”
Ketua Pengurus Masjid Al-Waqfiyah, Muhammad Shodiqin, menyatakan bahwa surat itu palsu. Mereka tidak pernah membuat dan mengumumkannya.
Salat jenazah adalah ibadah yang bersifat sosial, maka hukum menjalankannya fardhu kifayah. Artinya, gugur kewajiban seorang muslim di satu daerah jika sudah ada orang lain yang melakukannya. Namun, apabila tidak ada seorang pun yang menjalankannya, semua muslim di daerah tersebut akan ditimpakan dosa dari atas sana.
Sekalipun begitu, tak jarang masyarakat muslim di Indonesia menolak melakukan salat jenazah. Pada Januari 2016, kasus itu terjadi di Indramayu dan Subang, Jawa Barat. Dua jenazah yang ditolak itu adalah terduga pelaku teror di Jalan Thamrin, Jakarta. Hal yang sama juga menimpa jenazah Zainal Abidin, seorang terpidana mati kasus narkoba di Palembang, pada April 2015. Juga Febri Andriansyah di Bandar Lampung pada Oktober 2014. Sebabnya? Ia seorang transgender.
Umumnya penolakan itu didasari dua jenis arogansi. Pertama, anggapan bahwa kehadiran si jenazah bakal mencoreng “nama baik” daerah mereka. Kedua, arogansi religius. Yang menyakitkan, karena alasan kedua, tak jarang warga suatu daerah tidak mengizinkan jenazah yang mereka anggap bermasalah dibawa ke wilayah mereka. Dan dengan demikian, persoalan lain pun teratasi: Mereka takkan terkena hukum fardhu kifayah.
Padahal, ulama besar Buya Hamka telah memberi contoh bagaimana semestinya seorang muslim yang baik bersikap. Sukarno, yang jasadnya ia salati, sekali lagi, tak sekadar berbeda darinya dalam pandangan politik, tetapi juga telah menyengsarakan dia.
Bahkan menurut pengakuan Yusran Rusyidi dalam Buya Hamka: Pribadi dan Martabat, dalam lingkup privat sekalipun Buya Hamka tak pernah mencela pribadi dan kehidupan Sukarno. Terlepas dari perbedaan yang memisahkan mereka, kata Yusran, Hamka memandang Sukarno sebagai orang yang punya jasa besar bagi bangsa Indonesia.
Dari manakah Buya Hamka mempelajari sikap demikian? Nabi Muhammad, tentu.
Literatur-literatur sejarah Islam mencatat Abdullah bin Ubay sebagai gembong kaum munafik Madinah pada era Kenabian. Tetapi ketika ia mati, Nabi Muhammad menyalati jenazahnya, memperlakukan Abdullah sebagai muslim seutuhnya.
“Mereka telah menyaingi dan mengungguli jumlah kita di negeri kita sendiri. Demi Allah, di antara kita (Anshar) dan orang-orang Quraisy ini (Muhajirin) tak ubahnya seperti peribahasa 'Gemukkan anjingmu dan ia bakal menerkammu,'” ujar Abdullah di hadapan pengikutnya suatu kali.
Cendikiawan Islam Ibnu Hisyam, dalam Sirah Nabawiyah, juz 4, menyatakan bahwa Abdullah bin Ubay ialah pengusung sentimen kesukuan. Dan sebagaimana orang-orang lain yang demikian, pada masa apa pun, narasi favoritnya ialah “ancaman kaum pendatang terhadap kehidupan penduduk asli.”
Zaid bin Arqam, sahabat Nabi yang kebetulan mendengar kata-kata itu segera melapor. Saat itu, di samping Nabi ada Umar bin Khattab, sahabat yang terkenal sebagai pemberang. “Wahai Rasulullah, perintahkan saja kepada Abbad bin Bisyr untuk membunuhnya!” ujar Umar.
Dan Nabi menolak. Ia bahkan menyebut Abdullah bin Ubay sebagai “sahabat”.
Sampai kemudian Abdullah meninggal dunia mendahului Nabi. Di masjid, Umar sampai menyentak baju Nabi supaya beliau mengurungkan niatnya menyalati jenazah Abdullah. Tetapi Nabi bergeming, salat, dan menerima wahyu Allah (Surat At-taubah ayat 80). Firman itu melarang Nabi memohonkan ampun bagi orang fasik dan munafik, yaitu orang-orang beriman yang tetap melakukan kerusakan dan kemaksiatan.
Saat prosesi pemakaman Abdullah bin Ubay telah rampung, Nabi Muhammad kembali mendapat wahyu (Surat At-taubah ayat 84). Firman itu secara khusus melarang salat jenazah bagi jasad orang-orang fasik dan munafik.
Dalam buku Satu Islam: Sebuah Dunia (peny. Haidar Bagir, 1986), cendekiawan Islam Indonesia Nurcholis Majid menceritakan ulang kata-kata Buya Hamka kepadanya, terkait keputusan Hamka menyalati Sukarno yang dikritik banyak orang: “Apa saya harus menunggu wahyu Tuhan yang menerangkan munafik atau tidaknya Sukarno?”
Bagi Hamka, manusia semestinya membiarkan cap fasik, munafik, dan kafir menjadi urusan antara tiap-tiap manusia dan Tuhannya. Orang-orang di luar itu tak pantas campur tangan, kecuali jika mereka merasa setingkat dengan Nabi Muhammad, yang sanggup mendapatkan bocoran dari langit bahwa si anu atau si itu munafik sehingga jasadnya tak perlu disalati.
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Nabi pernah begitu marah kepada salah satu cucu angkatnya, Usamah bin Zaid, karena persoalan demikian. Dalam sebuah pertempuran, Usamah dan salah seorang sahabatnya berhasil memojokkan seorang tentara lawan. Tiba-tiba, dari mulut si musuh keluar ucapan syahadat.
Mendengar itu rekan Usamah menahan diri, sedangkan Usamah enteng saja menusukkan tombaknya ke badan lawannya. Mendengar kabar itu, Nabi memanggil Usamah.
“Apakah engkau tetap membunuhnya setelah ia mengucapkan Laa Illaha Illa Allah?”
Usamah menjelaskan anggapannya bahwa si lawan hanya mengucapkan syahadat karena takut dibunuh, bahwa ia berpura-pura demi keselamatan, bahwa imannya palsu.
“Apakah engkau tetap membunuhnya setelah ia mengucapkan Laa Illaha Illa Allah?”
Kemudian, dengan lemah-lembut, Nabi berkata kepada Usamah yang gemetaran dan mulutnya terkunci: “Kenapa engkau tidak membelah dadanya, sehingga engkau mengetahui apakah hatinya mengucapkan La Illaha Illa Allah secara ikhlas atau karena alasan-alasan lain?”
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS