Menuju konten utama

Pendapat Muhammadiyah dan Ansor soal Spanduk Tolak Jenazah

Usai putaran pertama Pilkada DKI Jakarta, spanduk menolak menyalati jenazah bertebaran di masjid-masjid Jakarta. Bagaimana pandangan Pemuda Muhammadiyah dan GP Ansor NU?

Pendapat Muhammadiyah dan Ansor soal Spanduk Tolak Jenazah
Spanduk menolak menyalatkan jenazah terpampang di samping Jl. Petamburan, Jakarta. Tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Menyebarnya spanduk di sejumlah masjid di Jakarta, yang memuat penolakan menyalati jenazah pendukung Ahok, menjadi perhatian tersendiri bagi pengurus Muhammdiyah. Pasalnya ada masjid di bawah pengelolaan kader Muhammadiyah yang turut memasang spanduk seperti itu. Sebut saja Masjid Al-Jihad di kawasan Karet, yang turut disebut-sebut dalam urusan memasang spanduk di sebuah musala tempat Nenek Hindun meninggal.

Gara-gara spanduk itu, dan cerita bahwa jenazah Hindun disalatkan di rumah, anggapan bahwa Nenek Hindun ditolak disalatkan di musala mendapatkan pembenaran. Padahal cerita utuhnya tidaklah seperti itu. (Baca: Sengkarut Pilkada DKI pada Jenazah Nenek Hindun)

Ketua Pemuda Muhammadiyah Jakarta Syahrul Hasan mengatakan pemasangan spanduk di sejumlah masjid Muhammadiyah adalah inisiatif warga pengurus masjid, bukan berdasarkan instruksi terpusat.

"Muhammadiyah secara organisatoris tidak pernah memerintahkan masjid Muhammadiyah untuk memasang spanduk tersebut karena setiap struktur di Muhammadiyah punya otoritas tertentu. Itu menjadi domain masjid atau cabang yang bersangkutan," ujar Syahrul saat dihubungi reporter Tirto, Minggu (12/3).

Syahrul menjelaskan, setiap masjid punya kewenangan masing-masing, termasuk mengatur dewan kerukunan masjid dan badan usahanya, yang dikelola secara mandiri. Pengurus Muhammadiyah tidak bisa menegur masjid-masjid yang memasang spanduk tersebut.

Namun, ujarnya, spanduk-spanduk itu juga mencerminkan "semangat warga dan pengurus masjid" untuk apa yang disebutnya "menegakkan Alquran sesuai Surat At-Taubah ayat 84." Isi surat ini secara khusus melarang salat jenazah bagi jasad orang fasik dan munafik. Dalam spanduk, pesannya mengarah kepada "pendukung dan pembela penista agama"--merujuk Ahok yang dipidanakan karena kasus penodaan agama.

Syahrul menilai "kegiatan umat Islam yang memilih pemimpin muslim tidak dianggap melanggar demokrasi." Menurutnya, umat Islam yang memilih pemimpin muslim karena mengikuti ketentuan agama. Ia meminta hal macam itu "tidak usah didramatisir" karena pasangan Ahok-Djatot juga dipilih oleh umat Islam.

Kepengurusan Muhammadiyah Jakarta sendiri, demikian Syahrul, akan mengambil sejumlah langkah untuk menangani masalah spanduk larangan penyalatan jenazah dalam waktu dekat. "Kami akan melakukan rapat dengan seluruh stakeholder Muhammadiyah Jakarta," ujarnya, menambahkan bahwa langkah menegakkan syariat seharusnya tidak perlu dengan membuat spanduk bernada provokatif.

"Jangan karena persoalan Pilkada, perbedaan-perbedaan menjerumuskan kita pada terpecahnya persaudaraan, menimbulkan konflik. Ini akan merugikan bagi siapa pun," ujar Syahrul.

INFOGRAFIK HL menolak sholat jenazah

Sikap dari GP Ansor NU

Gerakan Pemuda Ansor Jakarta merespons merebaknya spanduk tersebut dengan "bersiap diri" menyalatkan jenazah apabila ditolak oleh pengurus masjid tertentu di Jakarta. Langkah ini diawali oleh GP Ansor Jakarta Timur. Ketua Pimpinan Cabang GP Ansor Cipayung, Joemenar mengatakan gerakan ini berdasarkan keprihatinan para pemuda Nahdlatul Ulama atas mulai bermunculan spanduk melarang menyalati jenazah.

"Di beberapa situs media muncul spanduk menolak menyalatkan jenazah bagi pendukung penista agama," ujar Joemenar saat dihubungi reporter Tirto, Minggu (12/3).

Gerakan dari GP Ansor Jakarta Timur ini direspons positif oleh cabang-cabang lain di Jakarta Barat, Jakarta Pusat, dan Jakarta Selatan. Kini, mereka siap bergerak di bawah komando Dewan Pimpinan Wilayah GP Ansor DKI Jakarta.

"Satu instruksi. Kita konsolidasi dengan pimpinan kita dan pimpinan wilayah akhirnya mendukung," ujar Joemenar.

Sejauh ini memang belum ada yang meminta GP Ansor untuk terlibat menyalatkan jenazah dalam kasus ini. Tetapi mereka sudah siapkan mekanismenya: menelepon ke pimpinan GP Ansor di wilayah setempat, mengirim data dan alamat pelapor, lalu direspons dengan "langkah koordinasi dengan pemerintahan setempat, kelurahan, kecamatan, dan polsek sekitar."

"Harapan kami, pemerintah juga peduli dengan hal seperti ini,"‎ kata Joemenar.

Pemerintah memang segera responsif atas kasus yang bikin sulit jenazah disalatkan di masjid atau musala setempat. Dua kasus yang dialami keluarga Hindun dan Siti Rohbaniah (Pondok Pinang) segera ditangani oleh pihak kecamatan dan kepolisian.

Almarhum Hindun, 77 tahun, warga Karet, Setiabudi, dianggap ditolak oleh ustaz untuk disalatkan lantaran pilihan politiknya mendukung Ahok (padahal kurang tepat). Camat Dian Airlangga dan Lurah Joko Patmono menemui keluarga almarhum Hindun, Jumat (10/3) atau tiga hari setelah almarhum dikuburkan ketika ramai diberitakan.

Mereka mengklarifikasi informasi yang beredar di media sosial dan pemberitaan yang kurang akurat. “Yang paling terpenting saat ini keluarga juga almarhum sudah dimakamkan dan sudah disalatkan sesuai sunah Nabi,” kata Dian saat ditemui usai mengunjungi rumah keluarga Hindun.

Dian berkata, pihak pemerintah akan "menindaklanjuti beredarnya poster penolakan penyalatan di masjid maupun musala." Ia berjanji jajarannya akan "berusaha menurunkan poster-poster tersebut dalam waktu dekat" di wilayahnya.

Kasus kedua, yang menimpa jenazah Siti Rohbaniah, sudah ditangani oleh Kepolisian sektor Kebayoran Lama.

Bagi Dian, apa yang terpenting adalah situasi publik berjalan kondusif dan pemerintah berdiri di atas semua golongan.

“Mudah-mudahan ini bisa diambil oleh semua pihak dan tidak menjadi preseden buruk di masyarakat,” kata Dian.

Baca juga artikel terkait SHALAT JENAZAH atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Fahri Salam