tirto.id - Sejak akhir pekan lalu, sebuah keluarga yang tinggal di rumah petak sempit, di sebuah gang di Jakarta Selatan, menjadi bahan omongan media. Muasalnya, demikian menurut pemberitaan awal, jenazah bernama Hindun, usia 77 tahun, ditolak oleh seorang ustaz untuk disalatkan di sebuah musala. Alasannya, Hindun memilih Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama - Djarot Syaiful Hidayat dalam putaran perdana Pilkada Jakarta, 15 Februari silam. Ia seketika bikin ramai orang berkomentar di media sosial.
Tetapi bagaimana persisnya peristiwa tersebut?
Keluarga Hindun tinggal di salah satu gang di pinggir Jalan Karet Karya II. Rumahnya hanya seukuran 3x4 meter, berbatasan langsung dengan jalan kampung. Seluruh perkakas dijejalkan dalam kamar petak tersebut. Ada televisi menghadap pintu; ada sekat yang membikin ruang tidur di samping kiri pintu. Ada partisi dari tripleks membagi ruang tengah dan dapur dan kamar mandi di pojok kanan kamar.
Jumat sore (10/3), reporter Tirto mendatangi rumah keluarga almarhum Hindun. Ada lima orang tengah duduk di dalam rumah petak. Ada Sudarsih (60), Arnisah (57), Neneng (46)--ketiganya anak Hindun--dan Yeni (30), cucu Hindun. Mereka bercerita bagaimana akhirnya Hindun disalatkan di rumah.
Neneng mengisahkan, ia meminta ustaz Syafii, tokoh masyarakat dan pemuka agama di Karet, agar mengobati Hindun dengan cara mendoakan air minum untuk Hindun, sehari sebelum meninggal. Pada Selasa pagi (7/3), Hindun sempat bilang kepada Neneng agar tidak pergi bekerja ke penguburan umum Karet Bivak. Neneng bekerja sebagai tenaga lepas harian di sana.
Hindun juga meminta Neneng untuk memanggil semua anggota keluarga. Usai semua berkumpul, dan menyerahkan perawatan kepada Arnisah, Neneng tetap pergi bekerja.
Usai zuhur, Hindun berkata ia mengantuk. Itu momen terakhirnya. Ia meninggal sekitar pukul 13.30.
Mendengar ibunya tiada, Neneng segera ke rumah. Ada sedih dan murung. Tetapi ia mesti mengurus proses pemakaman. Ustad Syafii dan sejumlah warga ikut membantunya. Mereka menyiapkan keranda dan peralatan mandi jenazah. Warga memandikan Hindun. Surat kematian diproses oleh pengurus RT.
Apa yang disebut "menolak menyalatkan jenazah" muncul saat Neneng menginginkan jasad ibunya disalatkan di musala.
Sekitar pukul 17.30, Neneng berbicara dengan ustaz Syafii. Obrolannya, ia minta jenazah Hindun disalatkan di musala terdekat, musala Al Mu’minun. Syafii menolak permintaan tersebut. Alasannya, tidak ada jemaah di musala pada jam tersebut.
“Pak ustaz ini gimana? Bisa enggak disalatin di musala? Pak ustaz bilang, 'Enggak usah, Neng. Percuma. Enggak ada orang. Sudah di rumah saja,'” ujar Neneng. Jenazah Hindun akhirnya disalatkan di rumah.
Neneng membantah kabar kalau jenazah Hindun tidak disalatkan di musala karena cuaca hujan. Ini dikuatkan oleh Sudarsih, anak almarhum Hindun, yang mengatakan alasan karena hujan "tidaklah tepat."
“Hujan itu sesudah di tempat pemakaman,” tegas Sudarsih.
“Hujan itu posisinya sudah sampai makam,” sahut Yeni, cucu alamarhum Hindun.
Neneng juga membantah bila ia diminta buru-buru oleh pihak pemakaman. Ia diberitahu pihak TPU yang menunggu jenazah. Akan tetapi, kepala TPU Karet Bivak, tempat Neneng bekerja sebagai pekerja lepas di sana, sudah bilang kepada Neneng akan membantu pemakaman sang ibu apabila penguburan larut.
"Untuk cepat-cepat, enggak, ya. Kita dikasih waktu karena yang ngurusin dari Kepala TPU dari Bivak. Dia bilang, pokoknya jam 6 masih bisa. Si kepala TPU bilang, 'Kalau ada masalah, ngomong sama saya, Neng,'” ujar Neneng.
Kejanggalan yang dirasakan Neneng sesudah ia tidak mendapatkan mobil jenazah. Umumnya, keluarga jenazah dibantu ambulans dari pihak RT untuk mengantar ke lokasi pemakaman. Justru Neneng mendapatkan ambulans dari RW tetangga, yakni RW 07.
“RT enggak ngomong apa-apa. Ketua RW sebelah ngomong ke saya, menawarkan (bantuan),” katanya.
Ambulans tersebut dari kubu Anies-Sandi karena mobil jenazah lain tidak tersedia.
“Saya enggak tahu-menahu itu mobil punya siapa karena Pak RT Salman (RT 8/RW 7) nawarin mobil dari Golkar tapi katanya dari Golkar enggak ada,” kata Neneng.
Jenazah Hindun disalatkan di rumah petaknya. Ia menghadap televisi sebagai arah kiblat. Ustaz Syafii yang menjadi imam. Karena ukuran rumah kecil, hanya ada 11 jemaah yang ikut salat jenazah. Baris pertama dan kedua ada 4 orang; baris ketiga, dekat pintu, ada 3 orang.
Usai memandikan dan menyalati jenazah, para pelayat, dengan jenazah diantar oleh ambulans dari kubu Anies-Sandi, mengantar warga ke liang lahat di TPU Menteng Pulo. Proses pemakaman berjalan lancar. Neneng bahkan mendapat uang santunan dari para ketua RT sebesar Rp1,1 juta. Sampai reporter Tirto bertemu dengannya, Neneng tetap merasa kesal bahwa almarhum ibunya tidak disalatkan di musala Al Mu’minun, dengan alasan faktor cuaca dan waktu.
“Kenapa?” ujar Neneng.
Jawaban dari Ketua RT dan Ustaz Syafii
Ketua RT 09/RW 05 Abdurrahman membantah soal kabar penolakan menyalati almarhum Hindun lantaran pilihan politiknya mencoblos Ahok. Semua proses pemakaman berjalan normal sesuai ketentuan.
“Saya rasa mah enggak. Biasa saja. Enggak ada unsur-unsur politik,” katanya saat saya menemuinya di dekat pos warga, Jumat sore (10/3).
Ia mengatakan, setiap warga yang meninggal tetap diperlakukan sebagaimana mestinya dengan cara saling membantu sesama warga. Proses pemakaman Hindun terkesan dipercepat dengan menyalatinya di rumah karena waktu yang mepet, menjelang malam. Ia menegaskan, mereka memilih untuk tidak menyalati jenazah Hindun di musala karena tak banyak warga di sana.
Ustaz Syafii, mendengar kabar dari pemberitaan bahwa dirinya menolak menyalati jenazah Hindun, berkata kaget. Ia sedih dengan kabar tersebut. Apalagi omongan orang yang berkomentar di media sosial berpatokan pada poster penolakan jenazah "pembela dan pendukung penista agama", yang terpasang di musala Al Mu’minun.
Baginya, komentar tersebut, tanpa mengetahui duduk perkaranya, sudah tergolong sebagai fitnah. Pria yang tinggal di RT 08/RW 05 ini "agak menyesal" menangani jenazah Hindun bila ternyata kejadian berikutnya justru memojokkan dirinya.
“Gue kalau tahu begini mending enggak usah aja gue urusin,” tegas Syafii saat ditemui di musala Al Mu’minun, Jumat (10/3).
Syafii berkata, ia tetap menangani Hindun dan warga lain apabila ada yang meninggal tanpa melihat latar belakang. Apalagi Hindun ialah salah satu orangtua di kampungnya dan sudah dianggap ibu sendiri. Ia menangani Hindun sebaik mungkin termasuk kabar dirinya terpaksa menyalatkan di rumah.
Syafii menuturkan, Nenek Hindun sudah menjelang ajal pada Senin (6/3/). Neneng menemui dirinya untuk meminta air doa. Ia lantas mengambil segelas air dan membacakan surat Al-Fatihah. Ia menyarankan kepada Neneng agar diobati juga dengan daun kelor. Keluarga menyetujui. Sayang, kurang dari 24 jam, Hindun meninggal dunia.
“Saya juga yang digedor pintunya,” kata Syafii.
Syafii membawa semua perlengkapan memandikan jenazah begitu mendengar kabar Hindun meninggal. Warga sekitar juga segera membantu proses pemakaman. Beberapa warga ada yang membeli papan, bendera kuning, kamper dan kapas, dan memanggil Ketua RT Abdurrahman untuk mengurus surat pemakaman ke TPU Menteng Pulo. Syafii membeli kafan. Liang lahat juga sudah disiapkan.
Syafii tetap melakukan empat kewajiban umat lslam terhadap seorang muslim yang meninggal. Ia memandikan, mengafani, menyalati, dan menguburkan jenazah Nenek Hindun sesuai syariat. Ia membenarkan adanya proses penyalatan di rumah Hindun.
"Pas salat, gue jadi imam dan (memimpin doa) sampai kuburan. Istilahnya gue urus sampai selesai," kata Syafii.
Keputusan jenazah Hindun akhirnya disalatkan di rumah lantaran cuaca dan waktu menjelang malam.
“Langit sudah hitam banget. (Jenazah) jam 5 harus sudah sampai ke kuburan. Jam 5 masih dimandiin,” katanya.
Usai dimandikan, keluarga Hindun mendapatkan ambulans dari kelompok Anies-Sandi. Syafii berkata bahwa ambulans ini merupakan bantuan dari RW 07. Sekitar pukul 17.30, jenazah Hindun dibawa ke TPU Menteng Pulo. Ia berada di mobil jenazah bersama keluarga dan beberapa pelayat mengiringinya.
Perihal jenazah Hindun disalatkan di rumah, lantaran cuaca mendung dan waktu menjelang malam, dibenarkan oleh warga sekitar.
Sutedjo, 40 tahun, yang rumahnya di seberang rumah Nenek Hindun, mengatakan bahwa warga memutuskan untuk menyalatkan almarhum di rumah karena masalah waktu.
“Memang waktu itu sore, nguber waktu, mau hujan, sudah mau magrib,” katanya kepada saya.
Ia menuturkan, ustaz Syafii yang memandikan jenazah Hindun dan menjadi imam salat jenazah. Ia juga turut melayat. Menurutnya, keputusan Syafii "sudah tepat" mengingat hujan turun deras ketika pelayat tiba di pemakaman.
Pesan Pendek Bikin Keluarga Almarhum Kesal
Masalah tidak akan runyam, atau hanya jadi persoalan kampung biasa, bila tidak ada pesan singkat yang sampai ke ponsel Neneng, anak Hindun. Sehari setelah pemakaman, Rabu (8/3), Neneng menerima pesan tentang pernyataan menolak pendukung orang kafir.
"Satu hari ibu sudah selesai. Abai (anak Yeni) sekolahnya di PAUD. Setelah itu, malamnya kita dikirimin seperti ini," ujar Neneng sambil menunjukkan pesan singkat tersebut.
Pesan singkat itu memuat pernyataan bahwa para pemuka agama yang mewakili "umat muslim" (ditulis "segenap ulama, habib, kyai, ustaz, ustazah se-DKI") "menolak hadir di semua majelis/acara/maulid dan lain-lain di kampung yang warganya memenangkan Ahok (lihat daftar TPS yang memenangkan Ahok)."
"Tindakan ini," demikian isi pesan tersebut, "berlaku mulai hari ini hingga putaran kedua Pilkada, 19 April 2017."
"Bila dalam putaran kedua, kampung-kampung tersebut masih tetap memenangkan Ahok, kami akan MENOLAK HADIR selama 5 tahun ke depan.
Kami juga bersepakat untuk tidak akan mengurus kematian, menyalatkan, dan mendoakan warga yang nyata-nyata memilih Ahok. Hal ini berlaku di seluruh kampung di Jakarta."
Pernyataan "menolak menyalatkan pendukung dan pembela penista agama" disertai pula dengan penegasan surat Alquran, salah satunya Surat At-Taubah ayat 84.
Tendensi rasial meruncing dari pernyataan itu di bagian para pemilih cuma dibagi oleh basis agama, antara Kristen plus Tionghoa dan Islam, dengan menyebut bahwa "... Kampung-kampung berpenduduk muslim justru banyak yang munafik dan menjual akidahnya dengan murah" karena memilih Ahok-Djarot dalam putaran perdana Pilkada Jakarta.
Dengan mengutip ayat Alquran, penyeru dari pernyataan itu hendak membingkai pandangan bahwa Rasulullah melarang mereka, para pemuka umat Islam, "... untuk mengurus, menyalatkan, dan mendoakan orang-orang munafik (pemilih Ahok) saat meninggal."
Tulisan itu mengungkapkan agar para pemilih Ahok diminta "bertobat sebelum ajal menjemput."
Selain pesan singkat itu, Neneng juga menerima meme pocong, yang mengandung pesan bahwa jenazah tidak diterima di surga karena memilih "tidak mengikuti Al-Maidah ayat 51". Surat ini dipakai oleh para penyeru anti-Ahok memperkarakan gubernur petahana itu dalam kasus pidana penodaan agama.
"Dikirimin seperti ini panaslah saya semua," kata Neneng. "Kan berarti dia tambah enggak menghargai kita."
Muasal Pemberitaan tentang Jenazah Nenek Hindun
Usai berduka, menantu Arnisah bernama Sugiharto mendengar cerita saat melawat tentang kesulitan almarhum Hindun disalatkan di musala. Pembicaraan berawal saat Sugiharto menyinggung adanya gerakan anti-Ahok di lingkungan rumah Neneng. Akhirnya, satu keluarga bercerita kepada sang menantu. Menantunya bilang akan menolong.
Sugiharto, yang bekerja di Kementerian Kelautan dan Perikanan, berkata punya kenalan salah satu wartawan, dan punya kenalan di Rumah Lembang, salah satu basis kampanye pemenangan Ahok-Djarot.
Keluarga Neneng mengiyakan saja. Arnisah bercerita, si wartawan menelepon Neneng. Neneng mengisahkan bagaimana prosesi pemakaman almarhum ibundanya.
“Diceritainlah apa adanya,” kata Arnisah.
“Tahu-tahu malam ditelepon wartawan itu,” tutur Neneng.
Berita yang muncul kemudian bahwa jenazah Nenek Hindun ditolak karena ia memilih Ahok. Anggapan ini makin ditegaskan lewat spanduk di musala Al Mu’minun yang menolak menyalati "pembela dan pendukung penista agama."
Bagian paling akurat dari pemberitaan tersebut adalah Nenek Hindun mendukung Ahok-Djarot. Bagian yang kurang menangkap detail adalah konklusi bahwa pembenaran Nenek Hindun mendukung Ahok-Djarot dipakai sebagai basis utama jenazahnya tidak disalatkan di musala terdekat. Kenyataannya, sebagaimana detail yang dikisahkan Neneng dan ustaz Syafii sendiri, jenazah Nenek Hindun akhirnya disalatkan di rumah karena cuaca mendung dan waktu pemakaman menjelang malam.
"Kita kan bicara apa yang terjadi itu. Walaupun saya tahu (berita) itu simpang-siur enggak keruan," kata Neneng.
Almarhum Hindun Pendukung Ahok-Djarot
Keluarga almarhum Hindun membenarkan bahwa Hindun memilih Ahok-Djarot. Keluarga Hindun bahkan jadi pendukung loyal pasangan Ahok-Djarot. Beberapa anggota keluarga Hindun adalah relawan Ahok-Djarot. Suami Yeni, Susanto adalah relawan tim sukses Ahok-Djarot di Rumah Lembang.
Sudarsih, anak Hindun, juga berkata seorang keponakannya bekerja sebagai relawan setia Ahok-Djarot. Bahkan Hindun saat sakit pernah datang ke Rumah Lembang dan mendapat hadiah kursi roda dari Ahok.
Almarhum memilih pasangan Ahok-Djarot dalam putaran perdana Pilkada DKI Jakarta, 15 Februari silam. Pemilihan ini diketahui publik karena Hindun tidak menggunakan hak pilih di bilik TPS 14. Ia menyoblos di rumah karena sudah lumpuh. Panitia pelaksana pemilu TPS 14 membantu Hindun untuk menggunakan hak pilihnya dengan mendatangi rumah Hindun. Di saat tersebut, Ketua RT 9 RW 5 Abdurrahman dan saksi TPS mengetahui pilihan Hindun.
Di TPS 14 itu pasangan Ahok-Djarot kalah oleh pasangan Anies-Sandi, 141 suara berbanding 246 suara. Pasangan lain, Agus-Sylvi yang terlempar dari putaran kedua, meraup 119 suara.
Hasil itu tidak berdampak pada kehidupan keluarga Hindun di kampung tersebut. Sampai kemudian sentimen anti-Ahok makin terasa setelah ada spanduk di musala Al Mu’minun. Efeknya baru meruncing setelah Nenek Hindun meninggal.
Neneng berkata, keluarganya tidak perlu pindah. Pemilik kontrakan berkata kepada Neneng supaya tetap tinggal di rumah petak itu hingga ada penggusuran.
Namun, lantaran masalah penolakan jenazah pembela dan pendukung Ahok, sikap Neneng menjadi lebih tertutup. Anak-anak keluarga Hindun sebelumnya mengaji di musala. Kini, usai kejadian itu, Neneng menarik anaknya dari pengajian yang diasuh oleh ustaz Syafii.
"Lagian anak saya sudah enggak ngaji di tempat itu karena anak saya les," lanjut Neneng.
"Ya, saya emosi. Ada kiriman seperti itu (tulisan meme pocong)," tegas Neneng.
Ustaz Syafii mengatakan spanduk anti-Ahok di musala Al Mu’minun dipasang oleh pengurus masjid Al-Jihad, masjid di kawasan Karet. Dan spanduk itu tidak ada hubungannya dengan alasan dirinya tidak menyalatkan jenazah Hindun di musala, kata Syafii.
“Anak-anak remaja masjid yang nempelin,” kata Syafii.
Mengapa tidak dicopot spanduk tersebut?
Syafii berujar, spanduk itu dipasang karena "desakan warga." Ia justru mempersilakan spanduk dipasang hingga selesai gelaran Pilkada Jakarta. Ia berkata, bila ada keluhan soal spanduk, sebaiknya diarahkan ke masjid Al-Jihad.
Syafii menambahkan, masjid Al-Jihad berisi orang-orang Muhammadiyah dan ia sendiri adalah orang NU.
“Muhammadiyah di situ doang. Kita mah NU,” kata Syafii.
Mardani Ali Sera, ketua tim sukses Anies-Sandi, saat dikontak via telepon pada Minggu (12/3), mengatakan bahwa relawan Anies-Sandi tidak pernah menolak mendoakan Hindun. Mereka justru menolong.
"Sebetulnya memang enggak ada yang nolak. Teman-teman PKS di daerah Karet, belakang Setiabudi, yang menolong," katanya.
Ia berkata Anies tidak perlu membuat pernyataan khusus soal penolakan jenazah. Kubu kandidat Anies-Sandi juga tidak pernah menggunakan kampanye hitam berdasarkan agama, kata Mardani. Apabila ada yang menggunakan metode tersebut, ujar Mardani, bukan bagian dari Anies-Sandi.
"Kalau ada ya, bukan relawan kami," katanya.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Fahri Salam