Menuju konten utama
Jeirry Sumampow:

"Pilkada Jakarta Bukan Kontestasi Agama"

Doa di gereja dibolehkan, sebagaimana di masjid, untuk kandidat Pilkada selama bukan dipakai untuk menggalang dukungan politik.

foto Jerry Sumampaouw. Tirto/Sabit

tirto.id - Masjid bukan satu-satunya tempat ibadah yang menjadi sasaran kampanye untuk meraup suara di Pilkada DKI Jakarta. Kegaduhan politik Pilkada Jakarta juga terasa di dalam gereja. Para pendeta diseret-seret untuk mendoakan bahkan hingga memberikan dukungan kepada calon tertentu.

Agus Harimurti Yudhoyono dan Silviana Murni yang kalah di putaran pertama pernah didoakan oleh sejumlah pendeta. Foto Agus saat didoakan pendeta itu beredar di media sosial. Sebagian menanggapi foto itu untuk membangun opini bahwa ada dukungan gereja untuk Agus. Sebagian lain mencibirnya karena sejak awal ia menggaet massa dari umat Islam. Begitu juga Sandiaga Uno, yang foto dirinya saat didoakan oleh pendeta beredar di media sosial. Sementara Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama, sebagai kandidat Kristen, kerap didoakan oleh pendeta-pendeta saat memimpin ibadah.

Kepala Biro Humas Persatuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Jeirry Sumampow mengatakan, doa-mendoakan calon gubernur sebetulnya masih dalam taraf wajar. Sebab, sudah menjadi kewajiban pendeta untuk mendoakan siapa saja yang meminta didoakan, tidak memandang agamanya.

“Menjadi kewajiban pendeta untuk mendoakan. Tidak bisa menolak. Meskipun yang minta didoakan itu bukan Kristen,” kata Jeirry saat ditemui Kresna dari Tirto di kantor PGI, 24 Februari 2017.

Namun, pada praktiknya, doa itu menjadi masalah saat dipakai demi tujuan politik. Sengaja dipublikasikan melalui media sosial untuk menggaet dukungan politik. “Masalahnya doa sekarang itu diperdagangkan. Kalau ada motif material di sana, itu yang yang tidak benar. Karena itu bertentangan dengan prinsip dan nilai Kekristenan,” ujar Jeirry.

Untuk mencegah adanya politik praktis masuk ke gereja, PGI mengeluarkan pesan pastoral. Isinya berupa rambu peringatan agar gereja dan umat bersikap independen dalam Pilkada, tidak hanya di Jakarta, tapi juga di daerah lain.

Sejak awal, PGI menyadari gereja rawan dijadikan alat sekaligus arena politik praktis. Ini yang tidak diinginkan oleh PGI. Dampaknya bisa membawa perpecahan di dalam gereja, terlebih lagi jika sudah ada politik uang.

Bagaimana PGI bersikap dalam Pilkada 2017 di Indonesia? Apakah gereja anti terhadap politik? Berikut wawancaranya:

PGI mengeluarkan surat penggembalaan dalam Pilkada DKI Jakarta. Apa urgensi PGI mengeluarkan surat itu?

Setiap kali ada Pilkada, biasanya PGI mengeluarkan pesan pastoral, bukan pengembalaan, isinya tentang Pemilu atau Pilkada. Sebelumnya hanya saat Pemilu, karena Pilkada dulu itu tidak serentak seperti sekarang. Biasa, kalau Pilkada di daerah-daerah, PGI mendorong gereja-gereja di daerah untuk mengeluarkan sikap di tempat Pilkada berlangsung. Tapi karena Pilkada serentak ini, kita jadi bikin tiap tahun. Tahun 2015 kemarin ada. Tahun ini juga ada. Nanti juga akan ada tahun 2018.

Pesan pastoral ini dibuat, pertama untuk mengingatkan gereja-gereja tentang pentingnya berpartisipasi dalam Pilkada di daerah-daerah dan mendorong partisipasi warganya sebagai wujud tanggung jawab bernegara. Sekaligus mendorong warganya untuk berpartisipasi secara kritis dan menghindari hal-hal tertentu yang, menurut pengalaman kita, merusak proses Pilkada. Hampir tiap tahun kita ingatkan itu soal money politic.

Kedua, supaya gereja selalu menghindarkan diri dari politik uang. Apalagi sampai meminta dari pasangan calon. Bahkan PGI melakukan perlawanan terhadp money politic. Ketiga, agar gereja tidak terlibat dalam politik praktis karena godaannya sangat besar sekali. Kita mengingatkan gereja tidak terlibat, apalagi kemudian masuk dalam dukung-mendukung salah satu pasangan calon.

Keempat, gereja menjaga diri agar tidak digunakan untuk mempromosikan atau mengampanyekan pasangan calon. Apalagi kalau di gereja itu ada calon yang ikutan. Kalau ada orang Kristen ikut (Pilkada), jadi godaan besar bagi gereja untuk ikut mendukung. Itu menjadi masalah.

Di DKI ada Ahok. Apa godaan terbesarnya?

Sebetulnya, kalau ada pasangan calon orang gereja, ada kecenderungan politik praktis gereja jadi lebih besar. Kadang inisiatif datang dari gereja. Kita mengingatkan gereja harus mandiri dan lebih independen.

Di Jakarta sendiri, ada survei exit poll. Survei itu mengatakan, di atas 95 persen warga Kristen memilih Ahok. Saya kira itu terbukti dalam Pilkada 15 Februari kemarin. Ini ilmiah karena ini hasil survei. Tapi gereja tetap harus netral karena kemungkinan ada pendukung pasangan calon lain selain Ahok. Karena kita mau gereja tetap netral. Apalagi kalau melaksanakan kegiatan dengan calon, jangan sampai menimbulkan perpecahan di jemaat.

Kalau berdialog dengan pasangan diperbolehkan?

Bisa. Tapi tidak dalam rangka mengusung salah satu calon, ya. Saya mendorong semuanya harus hadir supaya informasi bisa diterima oleh warga jemaat secara berimbang. Jadi, warga bisa tahu semua calon. Meskipun tidak selalu mulus. Karena ada sebagian besar gereja di daerah itu memilih calon tertentu, seolah sah-sah saja yang diajak ke gereja hanya satu calon itu saja. Itu tidak boleh karena akan menimbulkan perpecahan.

Ada satu kasus. PGI Wilayah DKI Jakarta. Mereka didatangi oleh Anies dan Sandi dalam satu diskusi. Klarifikasi mereka, diskusi itu tidak mengundang Anies dan Sandi tapi Hashim Djojohadikusumo (adik Prabowo, pengusung Anies-Sandi). Hashim yang membawa Anies-Sandi. Kami tegur karena hanya satu pasangan calon yang dihadirkan.

Hal seperti itu bisa terjadi. Padahal kita ingin gereja menjadi lembaga untuk mengedukasi warga jemaat dalam demokrasi, khususnya dalam Pilkada, agar berpikir kritis termasuk dalam menentukan pilihan. Kita tegaskan bahwa Pilkada ini bukan kontestasi agama, tapi untuk memilih pemimpin. Jadi, tidak pas kalau memilih semata-mata karena agama. Tapi tidak salah juga kalau orang gereja memilih berdasarkan agama yang sama, begitu juga agama lain, tapi jangan pilihan itu semata-mata karena agama. Itu yang tidak tepat. Karena itu memperkuat fanatisme. Dia harus berpikir untuk kepentingan masyarakat secara umum.

Bagi PGI, Pilkada bagian dari upaya memperkuat NKRI, bukan ajang memperkuat fanatisme agama dan membuat pemisahan. Bukan berdasarkan agama, etnis, atau apa pun. Harus jadi momentum untuk memperkuat NKRI. Faktor agama, karena itu, harus dihilangkan. Fakta survei itu dalam konteks DKI: isu suku, rasa, dan agama sebenarnya punya efek terhadap psikologi orang Kristen dalam memilih di Jakarta.

Maksudnya Gereja tidak perlu menyebut tapi warga sudah tahu sendiri?

Exit poll yang dilakukan kemarin sudah terlihat: orang Kristen dan Cina itu lebih dari 90 persen mendukung Ahok.

Ahok beberapa kali terlihat didoakan oleh gereja, bagaimana untuk calon lain?

AHY sempat didoakan dan jadi viral di media sosial. Sebetulnya tidak ada masalah kalau berdoa. Masalahnya, doa sekarang itu diperdagangkan. Kalau ada motif material di sana, itu yang yang tidak benar. Karena itu bertentangan dengan prinsip dan nilai Kekristenan.

Memang (posisi) pendeta itu sulit. Kalau orang datang untuk didoakan, menjadi kewajiban pendeta untuk mendoakan. Tidak bisa menolak. Meskipun yang minta didoakan itu bukan Kristen. Kalau dia datang meminta didoakan untuk maju sebagai kepala daerah, suka tidak suka, harus dilakukan. Tentu doanya memperkuat dia, tapi bukan dukungan politik. Sekarang ini masalahnya doa itu seringkali dijadikan dukungan politik. Makanya diviralkan, dipublikasikan ke mana-mana.

Termasuk Ahok?

Ahok juga termasuk. Kalau di Alkitab itu jelas: kunci pintu, kunci jendela, baru berdoa. Itu artinya, semestinya, doa tidak perlu dipublikasikan ke mana-mana. Supaya tetap fungsinya, doa ya doa, bukan untuk menggalang dukungan politik. Ini jadi soal kita sekarang. Itu yang terjadi kemarin. Jadi semua pasangan calon di DKI ini didoakan oleh gereja. Praktik itu terjadi. Ahok didoakan berkali-kali, suka atau tidak suka.

Ahok di mana saja didoakan?

Saya enggak tahu di mana saja. Tapi wajar sajalah. Ahok ini kan tiap minggu masuk gereja. Kemudian didoakan secara khusus. Gereja itu kan begitu. Kalau dalam ibadah, ada orang yang mereka kagumi, mereka hormati, dipanggil maju spontan, lalu didoakan. Sambil berdoa, ada juga yang ambil foto-foto. Setelah itu foto beredar di media sosial.

Dalam konteks kampanye, tidak mungkin juga kita melarang Ahok ke gereja atau calon lain ke masjid. Karena itu adalah ibadahnya. Enggak bisa kita larang yang lain Jumatan di masjid. Ya itu boleh saja. Ini kan hak asasi. Tapi seharusnya tim sukses tidak boleh aktif.

Misalnya kita lihat sekarang Anies didukung partai Islam. Apakah ada kemungkinan gereja memberikan dukungan pada Ahok?

Itu bisa jadi terjadi. Tapi harus ada alasan kuat. Harus ada analisis mendalam di gereja. Misalnya, kalau ada calon mengatakan secara terang-terangan dia setuju dengan korupsi, atau melindungi koruptor, bisa saja gereja mengatakan jangan memilih calon seperti ini. Tapi harus dilihat: yang gereja lawan itu bukan orangnya, tapi program-program yang punya implikasi akan merugikan atau meresahkan masyarakat. Itu boleh saja. Tapi dalam Pilkada kita, hampir tidak ada yang seperti itu.

Kalau ada calon secara terang-terangan kalau dia terpilih, semua gereja akan dia tutup, saya kira bisa saja gereja mengatakan jangan pilih calon ini. Karena dia terang-terangan mengatakan sesuatu yang punya implikasi dalam masa depan yang tidak sesuai konstitusi kita. Pilkada ini upaya memperkuat NKRI, bukan melemahkan.

Kalau bangsa ini sedang diarahkan pada perpecahan; ini keliru. Gereja harus mengatakan bahwa orang itu tidak cocok menjadi pemimpin. Karena bertentangan dengan platform kebangsaan. Tapi di kita itu belum pernah ada.

Di Amerika Latin, ada gereja terang-terangan melawan penguasa. Kalau tarik ke belakang ada teolog yang melawan Hitler pada masa itu. Dia kemudian dibunuh karena melawan. Jadi dia memang terang-terangan melawan rezim, melakukan mobilisasi, karena dia yakin Hitler membawa kehancuran bagi kemanusiaan. Yang begitu bisa dilakukan oleh gereja.

Untuk Jakarta belum segenting itu?

Di DKI tidak ada seperti itu. Meskipun gosipnya itu ada di mana-mana. Ini kan hanya politik para calon untuk memenangkan Pilkada. Itu saja. Kalau dilihat di Gerindra juga ada orang Kristen. Pendukungnya Anies bukan hanya PKS. Jadi itu enggak bisa hitam-putih memetakan. Justru karena itu, di tim Anies, banyak juga orang Kristen jadi tim sukses. Artinya, situasinya belum sampai harus mengatakan mendukung salah satu pasangan calon.

Baca juga artikel terkait PILKADA DKI JAKARTA 2017 atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Politik
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam