tirto.id - Minggu, 15 Januari dini hari atau sebulan sebelum Pilkada serentak, rombongan orang memadati ruang utama, pelataran, dan halaman parkir Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Mereka datang tak sekadar hendak menjalankan salat subuh, melainkan mengikuti sebuah diskusi politik yang diinisiasi oleh perkumpulan bernama Tabligh Akbar Politik Islam.
Tema diskusinya panjang tapi menjelaskan arah dan perkembangan Pilkada DKI Jakarta: “Berbeda dalam Mazhab. Bersatu dalam Politik. Sholat Shubuh Berjamaah Spirit 212. Memilih Pemimpin Muslim”.
Subuh itu ada delapan pembicara yang dijadwalkan hadir. Mereka adalah Anies Baswedan, Amien Rais, Bachtiar Nasir, Hamdan Zoelva, Teuku Zulkarnain, Al Khaththath, Prabowo Subianto, dan Agus Harimurti Yudhoyono. Dua nama terakhir berhalangan datang.
Anies mengawali pidatonya dengan candaan: saat ini masjid-masjid mengetes bunyi mikrofon dengan ucapan, “Tes … tes … satu … tiga … satu … tiga...”
Hadirin seketika tertawa dan bertepuk tangan. Mereka memahami arah pembicaraan Anies, kandidat gubernur berpasangan dengan pengusaha Sandiaga Uno, yang menjadi lawan kuat pasangan Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama – Djarot Syaiful Hidayat.
Dalam putaran perdana Pilkada Jakarta, berdasarkan penghitungan KPU, Ahok-Djarot meraup 42,99 persen suara dan Anies-Sandi mendulang 39,95 persen suara, dari total 5.564.313 elektorat yang menggunakan hak pilih.
Apa yang dilakukan Anies dan apa yang terjadi di Masjid Al-Azhar sesungguhnya bukan fenomena baru. Rumah-rumah ibadah termasuk gereja, dalam pertarungan Pilkada Jakarta, dipakai atau turut serta menggiring jemaahnya memilih kandidat gubernur dan wakil gubernur. Sentimen agama menjadi ciri menonjol dalam Pilkada Jakarta.
Redaksi Tirto sebelumnya pernah merilis sejumlah laporan tentang bagaimana gerakan-gerakan Islam, yang mencerminkan spektrum politik Islam pasca-Orde Baru, menyatu dalam isu tuduhan penodaan agama yang dilakukan Ahok. Mereka menggalang demonstrasi damai apa yang disebut Aksi Bela Islam secara berseri di pengujung tahun. Masjid tak terkecuali dipakai sebagai titik simpul dari massa aksi dan menjadi arena suara politik.
Tokoh politik dan agama yang hadir di Masjid Al-Azhar itu berpartisipasi dalam aksi besar di Jakarta. Amien Rais, mantan ketua MPR dan Muhammadiyah, hadir dalam demo 411; Teuku Zulkarnain dari Majelis Ulama Indonesia berperan dalam aksi 212; Bachtiar Nasir adalah ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI, salah satu organisasi penggerak mobilisasi anti-Ahok; Hamdan Zoelva, mantan ketua Mahkamah Konstitusi, menjadi ketua pengurus Pengajian Politik Islam yang menggelar acara tersebut; dan Al Khaththath dari Forum Umat Islam adalah penggerak aksi 112 menjelang masa tenang Pilkada Jakarta.
Meski ada motivasi politik yang kuat dalam kegiatan itu, yang memberi panggung bagi Anies mengumbar janji jika ia terpilih sebagai gubernur, takmir masjid Al-Azhar Shobahussurur menolak jika diskusi itu adalah kampanye politik dalam rumah ibadah.
“Kami tidak kampanye. Pengajian saja. Jadi lebih pada pemahaman kepada kaum muslimin bagaimana posisi kita (di Pilkada). Itu pencerahan dalam bentuk pengajian,” kata Shobah.
Shobah mengatakan, pengurus Masjid Al-Azhar menerapkan prosedur ketat bagi siapa saja yang ingin menggunakan fasilitas masjid. Di antaranya pihak masjid mesti tahu susunan acara lengkap dan siapa saja pembicara yang hadir.
Saat aksi 212, Masjid Al-Azhar turut memfasilitasi massa menuju kawasan Monas. Pengurus masjid menyediakan penginapan, makan, hingga transportasi. Saking banyak jumlahnya, demikian Shobah, perlu tiga kali diangkut. “Sekali berangkat 500 orang,” katanya.
Shobah menjelaskan fasilitasi semacam itu merupakan peran masjid di bidang gerakan Islam. “Kami lebih kepada kepentingan umat dan bangsa secara menyeluruh,” ujarnya.
Ahmad Ahidin, sekjen Tabligh Akbar Politik Islam, mengutarakan alasan bagaimana acara pengajian itu digelar. Menurutnya, "banyak sekali umat Islam yang apatis terhadap politik” sehingga bikin mereka golput lantaran “banyak politikus yang terlibat berbagai kasus korupsi.”
“Umat Islam sebagai penduduk mayoritas di Indonesia mesti melek politik,” kata Ahidin. “Kita, ulama, memikirkan ini. Kita harus terlibat dalam politik.”
Itu yang mendorong organisasinya menggelar diskusi “Memilih Pemimpin Muslim” di Masjid Al-Azhar. Menurutnya, umat Islam di Jakarta perlu disadarkan memilih pemimpin Muslim, dan dari ide itulah Agus dan Anies diundang sebagai “contoh figur politikus Islam yang mumpuni.”
Ia juga menolak bahwa kegiatan tersebut dinilai sebagai kampanye politik. “Kami intinya pengajian. Tidak ada ajakan memilih. Kami hanya mengedukasi umat. Kampanye, kan, ada alat atribut. Misalkan spanduk, kaos, dan simbol-simbol,” ujarnya.
Masjid Al-Azhar bukan satu-satunya masjid di Jakarta yang mendukung gerakan memilih pemimpin muslim dalam arena Pilkada Jakarta. Sejumlah masjid di Jakarta, termasuk Masjid Al Ihsan di Kebon Sirih, memfasilitasi umat Islam yang terlibat dalam Aksi Bela Islam.
Ahmad Maulana Solihin, pengurus masjid, mengatakan pihaknya menampung jemaah dari pelbagai daerah saat aksi-aksi tersebut. Dari sejumlah aksi yang pernah digelar, massa terbanyak datang saat aksi 212. “Jumlahnya mencapai 800 sampai 1.000 orang,” ujarnya. Saking banyaknya, massa akhirnya dibagi ke kedua masjid terdekat. “Masjid Al Ihsan hanya bisa menampung 500 orang. Sisanya ke Masjid Al Huda dan Al Musyawarah,” katanya.
Solihin menegaskan, pengurus Masjid Al Ihsan tidak memiliki kaitan dengan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI. Ia bilang fasilitas oleh pengurus “bersifat spontan” karena solidaritas sesama muslim yang ingin membela agama. Pengurus masjid menyediakan makan malam dan sarapan. Biayanya, kata Solihin, dari bantuan para jemaah dan warga sekitar berupa uang, air mineral, dan makanan. “Enggak ada bantuan dari parpol atau calon gubernur,” katanya.
Solihin mengatakan Masjid Al Ihsan ikut menganjurkan memilih pemimpin muslim di Pilkada Jakarta. Anjuran itu biasanya disampaikan dalam forum-forum pengajian yang mereka gelar.
“Kami satu suara. Semua tergantung ulama. Tugas kami hanya menyampaikan. Kalau masih tambeng (bandel), ya udeh,” katanya.
Khotbah Dukung "Cagub Muslim"
Tiga ribuan jemaah Jumat memenuhi Masjid Raya Al-Ittihad, Tebet, Jakarta Selatan, akhir Februari 2017. Menjelang khotbah, Roestam Amiruddin, seorang pengurus masjid, mengumumkan kas masjid dan penerimaan murid baru TK Islam Terpadu Al-Ittihad. Selanjutnya, ia membahas Pilkada Jakarta. Ia mengatakan, pihaknya membutuhkan relawan yang mau mendata untuk putaran kedua Pilkada demi kemenangan "gubernur muslim". Relawan ini harus dari Tebet Barat sebanyak 44 orang dan Menteng Dalam 54-59 orang.
“Bagi jemaah yang ingin bergabung menjadi relawan, selesai salat Jumat, bertemu dengan panitia, mengisi nama, nomor HP dan alamat,” imbaunya.
“Pekerjaannya sangat singkat dan gampang,” tambahnya, “hanya menuliskan perolehan suara yang sudah selesai dihitung di tempat pemungutan suara, lalu dikirim langsung ke pusat data gubernur muslim DKI Jakarta.”
“Jika kemenangan itu ada di tangan umat muslim,” ujar Roestam, “Insyaallah, menuju 100 hari salat tarawih bersama gubernur muslim DKI Jakarta.”
Ia mengistilahkan "jihad" untuk pekerjaan sukarela itu. Dan bila berhasil memenangkan "gubernur muslim," ujarnya, "(kita) bisa menceritakan kepada anak dan cucu kita soal pertarungan antara (kandidat) muslim dan non-muslim dan (kita) menjadi bagian yang memperjuangkan itu."
"Sekarang," sambung Roestam, "ada dua kemenangan: kebenaran atau kebatilan."
Roestam meyakinkan para jemaah bahwa pada 19 April mendatang, putaran kedua Pilkada Jakarta, kubu "gubernur muslim" bisa menang.
"Persoalan menang-kalah nomor dua, yang penting tugas sebagai hamba Allah sudah dilaksanakan demi pemimpin muslim,” tegasnya.
"Takbir," pekik Roestam, yang disambut "Allahu Akbar" (Allah yang Mahabesar) sebanyak dua kali oleh jemaah Jumat.
Usai Roestam, giliran khatib Jumat berceramah. Penceramahnya Ahmad Shabri Lubis, ketua umum Front Pembela Islam (FPI). Selama 22 menit Lubis membahas tentang peran umat Islam menjaga Alquran, menjelaskan ciri-ciri orang munafik dan pemimpin muslim.
"Siapa pun orang yang mencela dan menghina Alquran," demikian Lubis, "Allah akan mengirimkan hamba-hambanya yang setia, penuh keimanan untuk siap membela Alquran, kitab suci umat muslim."
“Jadi seandainya ada orang Islam memilih orang kafir sebagai pemimpin, Islamnya diragukan, bahkan mental munafik sudah ada pada dirinya. Kalau mati dalam keadaan munafik,” katanya bersuara lantang.
Lubis menegaskan bahwa "kunci keselamatan warga Jakarta dan Indonesia berada di kaum muslimin."
Selama Lubis berkhotbah, ada jemaah yang menyimak tekun, ada juga yang tertidur pulas dan bermain ponsel dan berbincang.
Di masjid yang sama, pada Rabu siang saat bakda zuhur, akhir Februari lalu, Zaki Umar berceramah di hadapan 100-an jemaah. Isinya menyinggung putaran pertama Pilkada Jakarta, 15 Februari. Zaki mengisahkan ada warga yang mencoblos pasangan Ahok-Djarot karena melihat Djarot sebagai orang Islam.
“Kagak coblos Ahok, kita coblos halalnya, wakilnya (Djarot). Gitu loh ustaz. Bukan yang haramnya,” kata Zaki meniru ucapan warga.
Di kegiatan ceramah itu saya bertemu dengan Fachriqi Fataillah, pria 50-an tahun asal Bekasi, yang singgah di Masjid Al-Ittihad untuk ibadah zuhur. Ia bilang "sangat mendukung" ceramah yang mengingatkan umat Islam memilih pemimpin muslim. “Ceramah tadi bagus," katanya, "(Kita) jangan sibuk dengan masalah duniawi saja.”
Menurut Budiono, seorang pengurus masjid, Al-Ittihad memang rutin menggelar majelis taklim dalam sepekan, minus hari Sabtu. Ia berkata bahwa pengurus menganjurkan jemaahnya memilih pemimpin muslim. "Untuk kasus Ahok, kita berpedoman pada ayat Alquran," ujarnya.
Budiono menyebutkan, sejak kasus dugaan penistaan agama, tokoh-tokoh yang mengisi ceramah di Masjid Al-Ittihad adalah Muhammad Nasir Zein, imam salat Jumat dalam Aksi 212, Haikal Hasan dan Bachtiar Nasir dari Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI, dan Shabri Lubis, yang khotbahnya ikut saya dengarkan.
Selain di Masjid Al-azhar dan Al-Ittihad, khotbah mendukung "calon gubernur muslim" juga menyebar ke sejumlah masjid di Jakarta termasuk di Masjid Al Makmur, Tanah Abang. “Isi khotbah saling mengingatkan, bukan membuat masyarakat jadi benci. Intinya, mengajak umat dalam kebaikan dan menyadarkan umat,” kata Rudi, pengurus Masjid Al Makmur.
Penulis: Jay Akbar & Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam